Oleh : Noviyah Trinandani*

Ku jawab “iya dan terima kasih”
Karena dengan inilah kelak aku bisa
bertanggung jawab sebagai manusia.
Bisa menerima hitam dan putihnya dalam kehidupan
seperti yang kau bilang “pabejheng ajher” (yang rajin belajar).

Ketika embun mulai menyapa, ia beranjak meninggalkan tapak kaki di altar kehidupan yang penuh corak keramaiaan, tak luput ia membawa bekal keabadian. Namun,,, pada malam itu ada yang tertinggal yaitu sebongkah kata tentang “sahabat”. Ku pejamkan mata dan mencoba merasakan dan mengingat semua yang ia tinggalkan Tapi hasilnya nihil karena tak dapat menghasilkan sebuah coretan. Tak tahu mengapa fikiran ini tiba-tiba tumpul begitu saja. Biasanya keadaan seperti ini akan menghasilkan rangkaian kata walau hanya sebatas puisi.

Aku coba mencari kesibukan di dunia khayalku tetapi tetap saja fikiran ini tak mau berimajinasi. Baiklah. Dirasa tak ada yang perlu di fikirin dan mungkin waktunya untuk beristirahat tanpa ada seorangpun yang mengganggu, termasuk aku dan keinginannku.
Aku mulai hilang menikmati alam lain. Tapi alam ini antara nyata dan tidak, mimpikah? Atau sebatas khayalku? Entahlah. Ponselku berdering. Aku lihat siapa sang pengirim pesan, ternyata… ah menganggu saja. Aku lanjutkan acara tidurku.

“Mbak Rotuuuuuuus.. “, sontak aku terbangun mendengar lengkingan suara diluar rumah,

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Ya tunggu!”, ku jawab sambil berjalan sempoyongan membuka pintu,

“Perempuan itu tidak boleh teriak-teriak” nasehatku pada saudaraku yang baru saja bersama rombongan perlombaan kesenian Islam.

“Abis.. nggak dibukain pintu toh sudah tahu aku balik sekarang, noh malu sama teman-temanku diluar”, muka masamnya kambuh.

“Ma’af, Mas,,Mbak,, saya ketiduran Mari masuk!”, ku persilahkan mereka dengan wajah tak bersalah.

Selintas aku tertegun ketika aku menangkap sosok yang duduk di teras sedang memasukkan sisa-sisa sembako perlombaan ke dalam plastik. Guru? bukan. Karena para guru masih berbincang-bincang di dekat mobil. Namun perasaan aku tak asing dengan orang itu? Lantas siapa? Alah.. mungkin juga teman saudaraku.

“Jangan masuk dulu!” suara itu menghentikan langkahku. Sepertinya aku mengenalnya. Tapi tak mungkin, orang itu kan seharusnya sudah pulang kampung. Ah tidak mungkin. Ku berbalik badan. Siapa tahu ada yang perlu dibantu. Tapi orang itu malah berjalan menuju gerombolan para guru, aneh.

Kembali ku putar balik masuk rumah. Namun sudah aku putuskan dari pada diluar lebih baik bantu saudaraku menyiapkan hidangan. Sebelum sampai pintu, suara itu kembali muncul. “Hei.. kamu!” dengan santainya dia memanggil. Sendangkan aku tetap melangkah tanpa mengacuhkan dia, “Hei..ku bilang jangan masuk, ya jangan masuk!”, Sepertinya benar-benar mengarah kepadaku panggilan itu. Aku pun menoleh. “Apa ada yang perlu saya bantu toh? Kok dari tadi manggil-manggil tapi ditinggal ngeluyur”, aku pun nyerocos tanpa melihat wajahnya.

“Ini taruk di dapur” seraya mengulurkan tangannya. Mataku terbelalak melihat uluran itu. Ada tanda kemiripan Sontak ku lihat wajahny. Subhanallah…… ternyata dia, sudah ku duga sebelumnya. Lantas kenapa dia ada disini? Bukankah dia sudah pulang kemarin? Aku masih bingung, tak percaya siapa sebenarnya orang ini. Ku coba lemparkan senyum walau diri ini belum percaya apakah dia adalah sahabatku. Tapi dia tidak membalas senyumku. Apakah dia tak senang menikmati senyumku? Ah, biarlah. Tak usah kupikirkan tentang dia senang atau tidak dengan senyumku. Itukan hak dia. Namun hendak aku tinggal, diaa malah menatapku lekat-lekat. Aku jadi salah tingkah dibuatnya, tibalah penasaran merundungku.

“Gak usah peke bingung segala, ini beneran aku, Fikri. Kemarin aku tak jadi pulang soalnya masih menunggu saudaraku juga. Sebelumnya maaf membuatmu kaget dan tidak memberi kabar kepulanganku. Mungkin kamu marah padaku toh aku juga tidak ada niatan untuk pulang kampung. Aku juga bingung apa yang harus aku lakukan disana. Oh ya.. kamu salah tingkah ya..?”

“Orang kayak kamu mah memang pantas di katain orang gak laku, aku biasa aja kog di bilang salah tingkah. Ingat.. ngarep itu boleh tapi jangan tinggi-tinggi kali. Lagian siapa juga yang marah. Kalau kaget iya. Soalnya kemaren kamu kan ngabarin mau pulang. Tapi sekarang bisa-bisanya ada disini”

“Ya itu karena aku peduli padamu dodol”, katanya sambil mengusap keringat di kepalanya. Hari itu memang panas sekali.

“Aish.. kebiasaan kamu itu harus buang jauh-jauh dodol ..”

Begitulah aku dan dia, ada saja kekonyolan ketika bertemu. Segala beban terasa ringan, karena dia adalah sahabat, sahabat yang ada dikala suka duka, ada dikala butuh, ketawa dikala terjatuh. Mungkin benar kata orang, sahabat itu segalanya dan tak terpisahkan oleh apapun. Bagiku ”a friendship is someone you, can be alone with and have nothing to do and not be able to think anything to say and be confortable in the silence”.

Ku ajak dia masuk ke dalam rumah menikmati hidangan bersama. Maklum kebiasaan makan di pesantren menikmati hidangan apapun pasti bersama-sama. sambil bercanda dan berbagi cerita. Kebersamaan seperti inilah yang kerap kali aku rindukan. Ingin sekali kembali. Masa ketika menempa diri di Pesantren.

Tidak terasa waktu cepat berlalu, rumahku akan kembali sepi, akupun juga akan merasa sepi karena dia, dia sahabatku akan pulang kampung, meninggalkan aku sebatang kara.

“Besok aku pulang, mungkin masih lama kita akan bertemu. Pastikan semuanya tetap ada dan pabejheng ajher (yang rajin belajar)”, pesannya.

#######

Malam ini kembali sunyi, hanya ada dentuman lagu terdengar dari kamar saudaraku itu. Ku coba memutar otak kembali mungkin imajinasi ini sudah sembuh dari ketumpulan tadi. Tetap saja fikiran ini buntu. Apa yang harus aku lakukan??? Pesan sahabatku itu melintas di benakku, kenapa aku tidak menulis saja kejadian tadi?

Ku mulai menodai kertas dengan penah. Aku semakin bersemangat menumpahkan segalanya walau aku tak tahu apa itu akan berbentuk sebuah cerita atau tidak nantinya. Karena aku hanya mengikuti kata hati dan mungkin akan menjadi karya pertamaku dalam menulis cerita pendek ini. Namun, terlintas rasa keragu-raguan atas tulisanku ini karena aku tak merasakan adanya kenikmatan menulis cerita ini. Sedang menurut satrawan tulisan itu akan terasa nikmat, jika menulisnya dengan nikmat pula.

Kembali aku berfikir, tidak ada salahnya mencoba. Toh, penulis yang terkenal ada yang berangkat dari mencoba. Akhirnya, ku lanjutkan menulis cerita yang hanya berkisah pada beberapa jam yang lalu anatara aku, dia dan mereka. Semoga menjadi karya pertama yang sangat mengesankan, harapku.

Malam ini aku bisa merampungkan tulisanku ini sekaligus tulisan pertama tentang cerita hidup. Walau pada dasarnya aku tak pernah menceritakan sesuatu yang pernah terjadi padaku, jangankan membuat cerita, menulis harianpun jarang. Paling-paling hanya sebatas puisi. Dari sini akau yakin bahwa segala sesuatu pasti ada jalannya selama kita mau berusaha. Karena Allah SWT selalu ada untuk hamba-Nya.

*Penulis adalah Mahasiswi UNHASY dan aktif di Komunitas Penulis Muda Tebuireng, Sanggar Kepoedang