Novel “Wigati” karya Khilma Anis.
  • Judul buku : Wigati
  • Cetakan : IV/November 2018
  • Penulis : Khilma Anis
  • Tebal : vi+ 276 halaman
  • Peresensi : Umdatul Fadhilah*

“Gusti Allah itu romantis sekali, Manik. Dia mengabulkan doa kita pada saat kita sudah kelelahan. Pada saat kita sudah betul-betul pasrah. Proses pencarian ini, mungkin tidak ada pengaruhnya bagi kelanjutan hidup Wigati, tapi proses pencarian ini sangat berharga buat aku, buat kamu. Bahwa usaha manusia, sekeras apa pun, tidak akan berarti apa-apa kalau Gusti Allah belum kerso” (hal. 199).

Wigati merupakan salah seorang santri Pondok Pesantren Darul Islam Kembang Kuning Prajurit Kulon Mojokerto. Santri sana menyebutnya “DARIS”, namun masyarakat lebih mengenal dengan “Kembang Kuning”.

Bermula dari ke-wingit-tan Wigati, yang bisa melihat dan merasakan hal-hal mistis, Lintang Manik Woro salah seorang santri Daris menjadi penasaran dengan gadis itu.

Khilma Anis, yang juga penulis novel Hati Suhita menceritakan novel Wigati dengan sudut pandang Manik, panggilan dari Lintang Manik Woro.

Manik merupakan santri pada umumnya, hingga keris Nyai Cundrik Arum datang, Wigati mengkisahkan sejarah kelam masa lalunya melalui buku diary yang diberikan kepada Manik.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Manik yang merasa Wigati telah mempercayakan dirinya untuk menyikapi tragedi Keris Nyai Cundrik Arum dan Keris Kiai Rajamala bertekad untuk membantu Wigati bertemu dengan ayah kandungnya, seorang kiyai besar di daerah Probolinggo.

Kisah dimulai saat Kang Jati atau Hidayat Jati masuk dalam kehidupan mereka. Mereka lalu sepakat untuk membantu Wigati.

Cerita sedimikan rupa dikemas dengan bahasa khas Khilma Anis, lembut dan penuh wejangan-wejangan khas Jawa. Serta mitos dan kisah wayang yang selalu menjadi ciri khas penulis.

“Belakang, aku jadi tahu, mitos bahwa doa ketika ada bintang jatuh pasti dikabulkan, benar adanya. Sebab kalau mau menunggu, beberapa waktu sebelum subuh sering ada bintang jatuh meski samar. Bintang jatuh sering muncul saat sepertiga malam. Persis sebagaimana waktu doa dianjurkan” (hal. 18).

Suasana pondok pesantren diceritakan secara gamblang. Penulis memilih latar pesantren dengan suasana zaman dahulu atau pondok salaf. Dimana para santri masih menggunakan setrika arang, listrik secukupnya, memasak di dapur yang masih becek dan masih banyak lagi.

Penulis amat lihai dalam membawakan kisah, sehingga pembaca hanyut seolah-olah ikut merasa ada di dalam kisah tersebut. Kisah teladan pun kerap kali dibungkus lewat tokoh-tokoh yang ada di dalamnya.

“Wigati begitu tenang. Kebahagiaannya tak bertambah tumbuh sebab sesuatu. Kesedihannya juga tak muncul karena sesuatu. Ia tidak bangga bila dipuji dan tidak sedih bila dihina. Ia tak mudah bergejolak. Ia tetap begitu. Ajeg. Anteng” (hal. 11).

Petualangan mencari Wigati dan mempersatukan keris Nyai Cundrik Arum dan keris Kiai Rajamala menumbuhkan denyar-denyar aneh dalam hati Manik. Kang Jati merupakan sosok laki-laki khas santri yang telah menerobos hati Manik.

Perjalanan menuju Salatiga menuai banyak kisah perihal mereka. Kang Jati mampu membuat Manik terkesan dengan segala nasihatnya yang njawani.

“Nriman itu bukan pasrah sambil mengeluh. Nriman adalah pasrah yang penuh syukur. Mensyukuri yang sudah terjadi dan percaya bahwa yang akan terjadi di depan sudah ditata Gusti Allah dengan apik. Kalau sudah Gusti Allah yang noto, mesti apik, Manik” (hal. 200).

Manik yang antusias, Kang Jati yang tenang namun selalu tepat. Begitu Wigati dengan segala amarahnya, mampu menghadapi perang batin secara dewasa.

Khilma Anis lagi-lagi selalu mengangkat tema tentang perempuan Jawa, disana tidak ada antagonis. Perempuan selalu punya sisi terbaiknya sesuai porsi.

*Mahasiswa Unhasy Tebuireng Jombang.