tebuireng.online– Resolusi Jihad yang dicetuskan pada 22 Oktober 1945 oleh konsul-konsul NU Jawa dan Madura atas prakarsa dan fatwa Hadratusyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, diperangati oleh para pengurus Pimpinan Komisariat Perguruan Tinggi IPNU-IPPNU Hasyim Asy’ari Tebuireng dengan mengadakan Bedah Buku “Perjuangan Laskar Hizbullah” terbitan Pustaka Tebuireng di Gedung KH. M. Yusuf Hasyim lt. 2 Pesantren Tebuireng, Jum’at (30/10/2015).
Narasumber yang dihadirkan adalah penulis buku tersebut, Isno El Kayyis, dengan dua pembanding, KH. Agus M. Zaki Hadzik, salah satu cucu Hadratusyaikh dan Rijal Mumazzik, Direktur Penerbit Imtiyaz. Acara dipimpin oleh moderator, Imam Buchori, M.Pdi. Sekitar 130 orang peserta yang terdiri dari mahasiswa, santri, dan umum mengikuti jalannya bedah buku. Acara ini adalah kerja sma PKPT IPNU-IPPNU HA dengan Unit Penerbitan Pesantren Tebuireng (UPPT) yang membawahi Pustaka Tebuireng, sebagai penerbit buku tersebut, dan Radio Suara Tebuireng.
PKPT IPNU-IPPNU Hasyim Asy’ari terdiri dari mahasiswa di dua lembaga, Universitas Hasyim Asy’ari dan Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng. Ketua panitia, M. Abror Rosyidin mengatakan dalam sambutannya bahwa tujuan dari kegiatan ini, selain untuk memperkenalkan organisasi yang baru dibentuk setahun yang lalu ini, juga untuk memberikan pemahaman kepada santri dan mahasiswa tentang perjuangan para pahlawan kelaskaran, termasuk Laskar Hizbullah. “Mereka itu adalah pahlawan yang hampir terlupakan,” ungkap lelaki yang juga Mahasiswa Ma’had Aly Hasyim Asy’ari tahun akhir ini.
Penulis, Isno El Keyyis menceritakan latar belakang kepenulisan buku tersebut. Hal itu berawal saat ia bertemu dengan Abdullah Masrur, putra eks-Hizbullah, yang menulis catatan-catatan hasil wawancara dengan teman-teman bapaknya. “Itulah yang membuat saya ingin menulis tentang Laskar Hizbullah,” ungkap penulis yang juga seorang guru di Mojokerto ini. Selain itu ia juga mengutip perkataan Ruslan Abdul Ghani, ketika ditanya sejumlah orang mengenai jarangnya tulisan dan buku yang menerangkan tentang perjuangan Laskar Hizbullah. “Ruslan menjawab Yoo Nuliso!, jawaban yang menampar”, tambahnya. Dalam waktu sebulan, Isno, sudah selesai menulis buku tersebut, kemudian diterbitkan oleh Pustaka Tebuireng.
Ia kemudian menceritakan latar belakang berdirinya Laskar Hizbullah. Berawal dari Jepang yang datang ke Indonesia dengan membawa propaganda yang seakan pro rakyat. Jepang mulai menggandeng para elit nasionalis diantaranya, Mr. Sjamsuddin, Soekarno, M. Hatta, Sutan, KH. Mas Mansyur, dan Ki Hajar Dewantara, untuk menjadi pejabat di organisasi-organisasi bentukan Jepang, seperti Tiga A, PUTERA, dan Jawa Hokokai. Namun Jepang kemudian sadar bahwa para elit nasionalis hanya berpengaruh di kota-kota besar, sedangkan masyarakat di daerah lebih percaya dengan tokoh agama.
Kesadaran Jepang semakin meningkat, setelah terjadi beberapa gerakan protes oleh rakyat, yang geram karena panutannya, Hadratusyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari ditangkap, sebab diduga memprovokasi rakyat untuk tidak percaya Jepang dan menolak melakukan upacara menunduk, Seikerei. Jepang mengangkat Hadratusyaikh sebagai shumubu, atau ketua MIAI. Bahkan para kiai memenuhi sebagian besar jabatan komandan di tentara sukarela Pembela Tanah Air (PETA). Ketika Jepang membentuk Heiho, tentara yang akan dikirim untuk melawan sekutu, Kiai Wahid Hasyim menyadari akan bahayanya kebijakan Jepang ini. Untuk itu beliau melakukan diplomasi cerdik agar Jepang membentuk tentara pemuda Islam yang khusus menjaga dalam negeri. Jepang mengabulkan dan dibentuklah Laskar Hizbullah.
KH. Agus M. Zaki Hadzik, mengatakan bahwa di Tebuireng dulu ada seorang komandan Laskar Hizbullah, yang pernama Bapak Si’in. Pak Si’in menceritakan bahwa senjata pejuang saat itu, terbilang seadanya, dari bambu runcing, parang, hingga tolop, semacam bambu yang diisi paku, kemudian ditiup. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa para pejuang Laskar Hizbullah ketika hendak bertempur, mengamalkan doa; bismillah, ya hafidl, Allahu akbar. Gus Zaki, panggilan akrab beliau, menanyakan kepada Pak Si’in, apakah Hadratusyaikh juga memberikan amalan-amalan tertentu. Pak Si’in menjawab “tidak”, namun Hadratusyaikh sebelum para pejuang Jombang berangkat, beliau meminta air seember besar, kemudian membacakan doa “Ya Allahu Ya Hafidh, Ya Allahu Ya Mumit, wanshurna alal qoumil kafirin“. Kemudian mereka meminum air tersebut secukupnya.
Direktur Imtiyaz, Rijal Mumazzik menceritakan perjuangan KH. Wahid Hasyim melakukan diplomasi bersama KH. Wahab Chasbullah dengan Abdul Hamid Ono, seorang intelegen militer Jepang yang beragama Islam, untuk membebaskan Hadratusyaikh yang dipenjara Jepang. Para intelegen ini ditugaskan Jepang untuk melunakkan hati umat Islam. Akhirnya Masyumi diizinkan membentuk Laskar Hizbullah dan Laskar Sabilillah. Gus Rijal, menyayangkan tidak adanya pelajaran sejarah mengenai Laskar Hizbullah. Sehingga generasi muda era sekarang banyak yang tidak tahu-menahu tentang perjuangan mereka dalam mempertahankan kemerdekaan RI.
Di akhir diskusi, moderator Imam Buchori membacakan kata-kata bijak, “Di sinilah fatwa Resolusi Jihad dikerluarkan, di sinilah Laskar Hizbullah dihadirkan, di sinilah para pahlawan dilahirkan, di sinilah para kiai dan santri ditempa, dan di sinilah sejarah-sejarah baru akan hadir untuk Indonesia“. Sebelum ditutup, panitia menyerahkan cinderamata kepada penulis dan pembanding. Kemudian dilanjutkan dengan foto bersama narasumber, panitia, dan perserta. (anita/abror)