sumber gambar: https://nasional.tempo.co

Oleh: Muhammad Idris*

Memanasnya suhu politik di Indonesia akhir-akhir ini, dan sangat mudahnya akses media sosial oleh semua kalangan telah menjadi salah satu pemicu maraknya berita yang tidak jelas asal usulnya dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Berita semacam ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan hoaks. Hoaks menjadi isu aktual dan popular yang harus mendapat perhatian secara serius. Munculnya beragam media sosial ikut menyumbang tersebarnya hoaks dengan sangat cepat ke seluruh kalangan masyarakat pengguna, bahkan berita apapun dengan mudah dan cepat menyebar setelah melewati tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, yaitu mereka yang tidak mengklarifikasi terlebih dahulu berita-berita yang diterimanya. Contoh kecil yang sering terjadi broadcast melalui media sosial whatsapp, dalam hitungan detik sudah menyebar ke seantero penjuru negeri.

Hoaks secara leksikal berarti lelucon, tipuan, bualan, dan cerita bohong. Dalam Bahasa Inggris kata –hoaks (hoax) bersinonim dengan dupery, fraud, humbug, dan pot-on. Kata hoaks (hoax) dalam kamus oxford digunakanan dalam konteks memperdaya dengan model bercanda dan menipu dengan sebuah lelucon. Sedangkan di dalam Al Quran kata yang paling mendekati arti hoaks adalah ifk.

Fenomena hoaks seperti yang terjadi saat ini, pernah terjadi pada zaman Nabi yaitu yang menimpa Aisyah R.A. yang terkenal dengan istilah hadits al-ifki.

Rasulullah SAW bersabda:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Wahai sekalian kaum Muslimin, siapa orang yang dapat membebaskan aku dari orang yang aku dengar telah menyakiti keluargaku. Demi Allah, aku tidak mengetahui keluargaku melainkan kebaikan. Sungguh mereka telah menyebut-nyebut seseorang (maksudnya Shafwan) yang aku tidak mengenalnya melainkan kebaikan, tidaklah dia mendatangi keluargaku melainkan selalu bersamaku.” (Shahih Bukhari No. 3826).

Hadis tersebut merupakan kutipan dari hadis panjang yang mengisahkan tentang fitnah yang diterima oleh Aisyah. Sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan di atas, Aisyah difitnah telah berselingkuh dengan Shafwan bin Al Mu’aththal As Sulami Adz Dzakwan ketika dalam perjalanan pulang dari perang. Dikatakan dalam hadis tersebut bahwa orang yang berperan menyebarkan fitnah tersebut adalah ‘Abdullah bin Ubay bin Salul. Ketika Nabi Muhammad SAW mendengar tentang berita ini sikap Nabi pun berubah terhadap Aisyah.

Meski demikian, dalam menghadapi berita ini Nabi Muhammad SAW tidak gegabah. Beliau mencari terlebih dahulu berbagai pendapat dari orang lain yang mengenal Aisyah. Demikian juga orang-orang lain yang dianggap punya kompetensi diminta untuk berpendapat mengenai masalah yang dihadapinya itu. Inilah sikap tabayyun yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.

Al Quran, Al-Hadis, ulama, dan bahkan fatwa MUI telah menjelaskan upaya untuk mencegah terjadinya hoaks ini, sebagaimana yang telah di firmankan oleh Allah Al Quran (al-Hujurat: 6):

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ.

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Dan hadis dalam kitab Sunan Al Tirmidzi No. 1971

حَدَّثَنَا هَنَّادٌ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنْ الأَعْمَشِ، عَنْ شَقِيقِ بْنِ سَلَمَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى البِرِّ، وَإِنَّ البِرَّ يَهْدِي إِلَى الجَنَّةِ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا، وَإِيَّاكُمْ وَالكَذِبَ فَإِنَّ الكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الفُجُورِ، وَإِنَّ الفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ، وَمَا يَزَالُ العَبْدُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا» وَفِي البَابِ عَنْ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ، وَعُمَرَ، وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ الشِّخِّيرِ، وَابْنِ عُمَرَ: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ.

“Hendaklah kalian bersikap jujur, karena kejujuran itu akan membawa pada kebaikan, sedangkan kebaikan akan membawa kepada syurga. Tidaklah seorang bersikap jujur dan selalu berbuat jujur hingga ia ditulis di sisi Allah sebagai orang jujur. Dan hendaklah kalian menjauhi sikap dusta, karena kedustaan itu akan akan membawa pada kekejian, sedangkan kekejian akan membawa kepada neraka. Dan tidaklah seorang berbuat dusta dan selalu berdusta hingga ia ditulis di sisi Allah sebagai seorang pendusta.”

Dalam kitab faidhul qodir juga dijelaskan:

فيض القدير (4/  551)

6236 – ( كفى بالمرء إثما أن يحدث بكل ما يسمع ) يعني لو لم يكن للرجل إثما إلا تحدثه بكل ما يسمعه من غير بينة أنه صدق أم كذب يكفيه من الإثم لأنه إذا تحدث بكل ما يسمعه لم يخلص من الكذب إذ جميع ما يسمع ليس بصدق بل بعضه كذب فعليه أن يبحث ولا يتحدث إلا بما ظن صدقه فإن ظن كذبه حرم وإن شك وقد أسنده لقائله وبين حاله برئ من عهدته وإلا امتنع أيضا ومحل ذلك ما إذا لم يترتب عليه لحوق ضرر وإلا حرم وإن كان صدقا بل إن تعين الكذب طريقا لدفع ذلك وجب  ( د ك عن أبي هريرة )

Terjemah: ketika kamu hendak berbicara pada setiap apa yang kamu dengar, dan itu tidak selamat dari kebohongan, maka bagi seseorang itu sebaiknya meneliti dan tidak berbicara kecuali pada apa yang dia yakini kebenarannya, jika dia menyangka itu bohong maka haram bicara pada hal tersebut, dan jika ragu-ragu maka sebaiknya dia menyandarkan pada orang yang mengucapkannya (sumbernya).

Dan bahkan Majelis Ulama Indonesia memberikan pedoman bagaimana seseorang bersikap kritis terhadap aneka informasi yang diterima. Pedoman tersebut terungkap dalam Fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial. Berikut pedoman upaya verifikasi atau klarifikasi yang dapat dilakukan terhadap suatu berita.

Pertama, setiap orang yang memperoleh konten/informasi melalui media sosial (baik yang positif maupun negatif) tidak boleh langsung menyebarkannya sebelum diverifikasi dan dilakukan proses tabayyun serta dipastikan kemanfaatannya.

Kedua, proses tabayyun terhadap konten/informasi bisa dilakukan dengan langkah demikian: (a) Dipastikan aspek sumber informasi (sanad)-nya, yang meliputi kepribadian, reputasi, kelayakan dan keterpercayaannya; (b) Dipastikan aspek kebenaran konten (matan)-nya, yang meliputi isi dan maksudnya; (c) Dipastikan konteks tempat dan waktu serta latar belakang saat informasi tersebut disampaikan.

Ketiga, cara memastikan kebenaran informasi antara lain dengan langkah: (a) Bertanya kepada sumber informasi jika diketahui; dan (b) Permintaan klarifikasi kepada pihak-pihak yang memiliki otoritas dan kompetensi.

Keempat, upaya tabayyun dilakukan secara tertutup kepada pihak yang terkait, tidak dilakukan secara terbuka di ranah publik (seperti melalui group media sosial), yang bisa menyebabkan konten/informasi yang belum jelas kebenarannya tersebut beredar luar ke publik.

Kelima, konten/informasi yang berisi pujian, sanjungan, dan atau hal-hal positif tentang seseorang atau kelompok belum tentu benar, karenanya juga harus dilakukan tabayyun.

Sikap kritis dan bijak dalam menerima aneka informasi menjadi sikap dasar yang harus dimiliki setiap orang. Di era teknologi informasi, di mana persebaran bermacam informasi semakin pesat, masyarakat semestinya juga semakin memiliki kesadaran untuk bijak dalam bermedia sosial. Media sosial diciptakan dengan tujuan mulia. Namun ternyata masih ada saja pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab berusaha menyusupi media sosial itu dengan tujuan jahat, antara lain dengan menyebarkan informasi hoaks. Berita bohong, fitnah atau bermacam informasi hoaks rupanya tidak hanya terjadi di masa sekarang ini.

Sebagaimana telah dibahas dalam tulisan ini, Nabi Muhammad. pun pernah mengalaminya, meski dengan cara serta alat yang berbeda. Dan memang, ada bermacam cara dan alat yang digunakan untuk menyebarkan informasi hoaks, yang pada akhirnya dapat menimbulkan keresahan dalam masyarakat, dan bahkan perpecahan.

Oleh karena itu, mengingat begitu besarnya bahaya hoaks bagi masyarakat, maka sebagai para pelaku komunikasi semestinya kita menanamkan sikap bijak dan kritis terhadap aneka informasi yang kita terima dalam media sosial.

*Penulis adalah Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.