sumber gambar: perempuan-berkisah

oleh: Munawara*

Berangkat dari sebuah penelitian tentang budaya yang mendiskreditkan perempuan, dalam “Pernikahan Dini Terhadap Kesetaraan Gender Masyarakat Madura” yang dilakukan pada tahun 2016, tulisan ini mencoba lebih sederhana mengangkat sebuah fenomena yang terjadi namun dianggap bukan sebuah masalah karena telah menjadi bagian dari adat istiadat, bahkan warisan turun temurun dari nenek moyang. Berbicara tentang perempuan, pernikahan, dan budaya masyarakat membuat saya mengingat (kembali) kalimat-kalimat mencemaskan dari berapa banyak perempuan, di sebuah kabupaten ujung timur Madura. Salah satu kalimatnya, “percuma perempuan punya mimpi setinggi langit dan semangat membara, jika setelah menikah hanya di dapur.” Ungkapan itu cukup memprihatinkan dan miris. Ironisnya, yang mengatakan itu adalah perempuan itu sendiri. Dan dia bukan perempuan pertama yang mengatakan hal demikian. Dan salah satu kebiasaan yang dianggap sebagai adat atau warisan nenek moyang adalah pernikahan dini, yang secara tak langsung perempuan menjadi objek yang dipilih dan tak memiliki pilihan lain, kecuali menerima.

Jauh sebelum kami remaja, orang tua, tetangga, bahkan tokoh agama di desa kami sudah biasa menggunakan narasi sejenis itu, termasuk perempuan-perempuan itu sendiri. Perempuan yang menikah dini dan merasa dirinya sudah lebih dulu mengalami kehidupan, tiba-tiba menggurui arah hidup kami (yang belum menikah) seputar pernikahan hingga masa depan perempuan yang secara sadar atau tidak, direkayasa oleh budaya. “Setelah menikah, perempuan jagain rumah, perempuan gak perlu kuliah tinggi-tinggi, perempuan cukup menerima (qanaah), menjadi istri salihah, pintar masak, pandai layani suami, memberi keturunan, dan…” Perempuan, perempuan, semua tugas perempuan setelah menikah meramaikan benak anak-anak, yang sebenarnya belum tahu menahu tentang apa itu sebenarnya pernikahan.

Dari perempuan-perempuan lain, yang saya temui, perempuan yang berstatus janda karena cerai dengan alasan suami tak bertanggung jawab, merasa kurang dewasa, atau permasalahan finansial; saya mendengar jelas pernyataan mereka yang akhirnya nikah dini, bahwa mereka tak punya pilihan. Ada berbagai tahapan agar mau menikah, salah satunya pihak keluarga menggunakan jampi-jampi, memaksa, memanipulasi umur anak, dan wujud berbakti sebagai anak. Hal demikian menjadi wajar dilakukan dan harus dilakukan agar anak-anak menikah daripada keluarga menanggung malu jika anak perempuan menjadi parabhen toah, tak pajuh, dan sangkal (Munawara, 2016). Soal belum punya kerjaan, belum ada penghasilan, belum matang, dan jika setelah menikah cerai, itu urusan nanti, yang penting menikah dulu.

Saya menyadari, apa yang teman saya lalui (mungkin) tak semudah yang saya hadapi, sehingga saya menahan respons spontanitas seperti narasi menggurui, menjudge, atau menyampaikan teori-teori feminisme yang sangat fasih dibaca dan didengar telinga. Sebaliknya,  saya yakin hal paling dibutuhkan saat itu adalah pelukan, energi semangat untuk tetap menjalani kehidupan dengan baik dan bahagia, terutama bagaimana membuatnya (kembali) percaya bahwa impian perempuan tak kandas setelah pernikahan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Jika mereka terlanjur melaluinya, paling tidak mereka harus tetap percaya bahwa kelak tak akan membiarkan anak-anak perempuan mengalami nasib sepertinya. Saya tidak mau mereka (teman-teman) kehilangan harapan, saya tidak ingin dunianya merasa terhenti setelah ijab qabul. Tetapi setelah itu, harusnya mereka (kita semua) percaya bahwa masih ada banyak aktivitas (positif) menyenangkan dan bermanfaat yang bisa dilakukan, bukan menyesali atau menikmati keterpurukan, bahkan mengamini kondisi demikian. Semoga mereka (kita semua) diberi kemampuan.

Kita menyadari bersama, kita terlahir dari budaya patriarki. Budaya yang melihat sosok perempuan sebagai makhluk kesekian, perempuan sebagai bagian yang tidak begitu diperhitungkan, sosok yang perannya adalah menaati apa yang diperintakan kaum laki-laki atau kaum yang lebih memiliki otoritas. Namun terlepas itu, kita berhak untuk menentukan pilihan, salah satunya menjadi anak durhaka dari sistem patriarki. Hal ini juga sering menjadi pesan Ibu Nur Rofiah dalam forum Ngaji Keadilan Gender Islam.

Pesan tersebut tentu tidak berlalu begitu saja di telinga, namun memiliki nilai yang begitu kuat dan memberikan energi positif bagi kita untuk bangkit, tidak angkat tangan pada sistem yang selama ini telah menjadi keterpurukan perempuan, dan tidak bodo amat pada realita yang kita lihat di depan mata bahkan mungkin kita alami dalam keluarga. Sangat tidak bijaksana, jika kita membiarkan itu menjadi kebiasaan yang dibenarkan, atau ketidakadilan yang dinormalisasikan.

Semua perubahan ini bisa dimulai dari kita, dari perempuan yang percaya bahwa kehidupan bisa lebih baik. Optimisme ini harus dimulai dari kita, memperjuangkan keadilan ini bukan semata-mata hanya untuk kehidupan perempuan, tapi untuk sistem kehidupan yang lebih baik dari masa ke masa, untuk seluruh umat manusia.

Cerita Baru Dimulai Dari Kita

Saya adalah salah satu perempuan yang lahir di tanah Madura. Pulau ibu yang mengalirkan mata air yang jernih dan menjadikan masyarakat Madura dikenal tangguh, pekerja keras, pemilik etos kerja yang hebat, dan komitmen yang luar biasa. Itulah respons yang saya dengar dari teman-teman di Jawa, meski memang stereotip buruk tentang Madura juga tak kalah ramai di telinga.

Namun terlepas soal tanggapan itu, hal paling penting saat ini adalah bagaimana perempuan tidak (lagi) dianggap sebagai pemeran figuran, terutama dalam bidang pendidikan. Perempuan harus berpendidikan, perempuan harus pintar dan cerdas. Bukankah perempuan adalah tiang negara? Sebagai tiang tentu kita harus kokoh dan kuat, salah satunya adalah dengan menjadi perempuan cerdas, kuat, dan mandiri.

Perempuan yang cerdas akan melahirkan generasi-generasi luar biasa, perempuan yang hebat tentu akan mampu menjadi manusia yang bermanfaat seluas-luasnya dan akan menjadi sumber kehidupan yang baik untuk kehidupan selanjutnya. Kemerdekaan berpendidikan perempuan tak hanya menjadi angin segar bagi perempuan, namun juga (harusnya) bagi laki-laki, bahkan alam semesta ini.

Saat perempuan memperjuangkan kemerdekaan berpendidikan, jangan dianggap setelah pintar ia akan membangkang, ia akan menguasai laki-laki, atau bahkan ia akan menjadi makhluk paling beruntung yang merugikan pihak lain. Tidak! Dugaan, prasangka, dan anggapan itu salah besar. Sebaliknya, kemerdekaan berpendidikan perempuan merupakan wujud saling berkontribusi dalam berbagai bidang. Bukankah jika hanya laki-laki yang pintar justru memberatkan laki-laki? Ia merasa harus melakukan apapun sendiri, berpikir menjadi satu-satunya pemilik tanggung jawab, dan satu-satunya sandaran hidup (dalam keluarga) misalnya? Mari perbaiki cara berpikir kita tentang hal ini.

Perjuangan perempuan tentang kemerdekaan atau yang biasa kita sebut emansipasi adalah bukan sebagai bentuk penjajahan pada laki-laki, saya tegaskan, bukan!. Tapi sebagai bentuk memanusiakan manusia secara utuh, termasuk pemanusiaan perempuan. Keduanya akan menjadi partner yang saling bersinergi, bekerja sama, dan berjuang bersama-sama merajut perdamaian dan kesejahteraan bersama. Bukankah ini akan lebih ringan dan menyenangkan bagi kita semua? Kita akan menjadi bagian yang saling, bukan merasa paling.

Kesadaran dan semangat ini mari kita mulai dari diri sendiri. Terutama diri perempuan untuk mempercayai dirinya, mengenal bakat dan kemampuannya (siapa dirinya). Untuk itu, tentu kita harus berjuang bukan pasrah pada keadaan. Tidak hanya soal pendidikan, tetapi apapun dalam kehidupan ini, bahkan dalam hubungan, termasuk keluarga. Tidak ada yang terlambat, bahkan saat setelah menikah, kita harus terus berproses memperjuangkan keadilan untuk mencapai kesejahteraan bersama.

Menikah bukan sebuah fase di mana pintu-pintu akan tertutup dan mempelai (terutama perempuan) akan dipasung dalam ruangan untuk hanya menaati suami, tidak. Mari berpikir ulang tentang apa itu pernikahan dan bagaimana kehidupan setelah menikah? Untuk itu, kita juga perlu belajar pendidikan pra dan pasca nikah, hal ini untuk memberikan pemahaman bagi kita dalam berumah tangga.

Perempuan yang akan dan telah menikah jangan berpikir bahwa impian dan kehidupannya selesai sampai di situ. Tapi menikah adalah lembaran baru yang bisa membuka pintu-pintu impian lebih banyak dan berwarna, apalagi saat mencapai kesepatakan kesalingan dengan pasangan. Yang biasanya berjuang sendiri, kini bisa berjuang bersama-sama, yang biasanya berpikir sendiri, kini bisa bermusyawarah, yang sebelumnya bingung mencari partner, kini tidak lagi. Sehingga inilah yang juga perlu dipertimbangkan saat sebelum menikah, yaitu mencari dan menemukan pasangan yang “sefrekuensi”. Sekali lagi, inilah pentingnya pendidikan dan pemahaman bagi kita.

Mari kita mulai untuk menciptakan kehidupan baru yang lebih baik, mari hijrah dari sistem patriarki ke kehidupan yang berkeadilan. Mari mulai dari kita, dari keluarga kecil kita, yang kelak akan meluas menjadi dan untuk lingkungan kita. Ini tidak mudah, iya. Tapi juga tidak sulit, jika kita lakukan bersama-sama, diusahakan dengan percaya dan saling mendukung satu sama lain.

Contoh nyata mulai banyak bermunculan, cerita baru dari teman-teman yang sudah menikah (bukan nikah dini), mereka tetap memiliki ruang untuk melanjutkan perjuangannya, berbisnis, menulis, mengajar, membatik, mengisi kelas motivasi, berpolitik, dan kegiatan lain yang membuat mereka merasa tetap menemukan dirinya dan menikmati hak-haknya, yang tidak menjadikan pernikahan sebagai penutup segala impian dan merasa “selesai”.

Semoga kita mampu membina dan melalui pernikahan bersama orang yang “tepat”, pernikahan yang memahami dan menerapkan konsep kesalingan, pernikahan dua manusia yang sudah atau mau sama-sama paham. Oleh karena itu, kembali pada kebutuhan dasar manusia, yaitu pendidikan. Pentingnya pendidikan bukan hanya soal nilai IPK dan mendapatkan kerja, namun jauh lebih dari itu pendidikan akan menjadi dasar manusia untuk memahami kehidupan dan perjalanannya.

Nanti, pada akhirnya kita akan sama-sama menikmati apa yang kita perjuangkan hari ini. Yang perlu kita sadari dan ingat, ini adalah tugas kita bersama. Tugas manusia (perempuan dan laki-laki) yang akan menciptakan kehidupan lebih baik. Kepada perempuan, percayalah kita bisa memperjuangkan ini, kepada laki-laki, mari kita berjuang bersama. Bukankah semua akan terasa lebih ringan dan indah jika diperjuangkan bersama-sama?

Dari sinilah perlunya kita menyadari bahwa perempuan ataupun laki-laki adalah sama-sama manusia yang memiliki hak dan kewajiban dengan peluang yang sama. Budaya boleh jadi membentuk peradaban, tetapi perlu diingat, bahwa peradaban itu sebenarnya ada di tangan manusia. Kita (laki-laki/perempuan) yang bisa membentuk itu dengan pemahaman yang lebih baik, termasuk pemahaman adil gender, sehingga tidak akan ada lagi manusia yang merasa terdiskriminasi oleh budaya setempat atau stereotipe kolot kita tentang pemosisian perempuan dan laki-laki di ranah sosial, masyarakat, dan budaya.

*Pengajar di Universitas Amikom Yogyakarta