ilustrasi suami istri

Assalamualikum Warahmatullah Wabarakatuh.

Izin bertanya, bagaimana prosedur nafkah bagi lelaki yang berasal dari kalangan keluarga miskin menikah dengan perempuan yang berasal dari kalangan kaya raya? Kasus ini muncul berdasarkan keresahan yang saya rasakan ketika mendengar kabar bahwa saya disukai oleh salah seorang santriwati yang tidak hanya kaya tetapi juga cantik. Setelah mengetahui kabar itu saya sebagai santri langsung kepikiran mengenai kelak nafkah apa saja yang harus saya berikan kepadanya. Terima kasih.

(Alaika, Jepara)

Jawaban:

Terima kasih Mas Alaika. Pertanyaan yang anda sampaikan memang banyak terjadi di kalangan masyarakat. Kebanyakan dari kalangan perempuan mau dinikahi oleh laki-laki yang miskin itu atas faktor cinta maupun adanya kelebihan yang dimiliki oleh laki-laki tersebut, ganteng misalnya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Nafkah secara bahasa adalah pengeluaran harta kepada diri sendiri atau keluarga (Syekh Murtadla az Zabidi, Tajul `Arus min Jawahiril Qamus, XIII/464, Darul Kutub Al Ilmiyah, 2015). Sedangkan menurut istilah adalah pemberian kepada seseorang yang ditanggungnya seperti istri, anak, dan pembantu baik berupa pakaian, harta, dan tempat tinggal. (Syekh Muhammad Ali Ibnu Allan as Shadiqi, Dalilul Falihin lithuruqi Riyadlis Shalihin, III/94, Darul Kutub Al Ilmiah, 2017).

Dalam Al-Quran sudah dijelaskan mengenai prosedur nafkah bahwa “Hendaklah orang yang mempunyai keluasan (rezekinya) memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas (disempitkan) rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.” (QS. At-Talaq: 7). Dari ayat ini Allah Swt menyuruh kita untuk memberi nafkah sesuai kadar kemampuan sang suami. Tetapi ternyata dalam masalah nafkah tidak semudah itu. Dalam pembahasan nafkah masih terdapat macam-macam nafkah yang akan diterangkan di paragraf selanjutnya.

Dalam literatur fiqih nafkah terbagi menjadi dua, yaitu nafkah tamlik yaitu nafkah yang bisa dimiliki oleh sang istri dan nafkah imta’ yang hanya bisa dinikmati kemanfaatannya oleh sang istri tanpa menjadi hak milik. (Syekh Nawawi Al Bantani, Nihayatuz Zain, 329, Darul Kutub Al Ilmiyyah, 2002).

Contoh nafkah tamlik adalah makanan dan pakaian. Jadi ketika sang suami memberikan pakaian atau pun kebutuhan makanan kepadanya maka sang istri berhak atas nafkah itu dan dia bebas untuk mendistribusikannya karena nafkah itu sudah menjadi haknya. Nafkah ini diberikan sesuai dengan kemampuan suami. Jika suami termasuk kategori orang yang miskin maka nafkah cukup dengan 1 mud (0,6 Kilogram)/hari, ketika termasuk kategori tengah-tengah maka 1,5 mud/hari, jika termasuk kategori kaya maka 2 mud/hari. (Syekh Ibnu Qasim Al Ghazi, Fathul Qarib Al Mujib, Darul Kutub Al Ilmiyyah, 136, 2016).

Adapun contoh nafkah imta` adalah tempat tinggal dan pembantu. Jika sang suami menyediakan rumah dan pembantu bukan berarti sang istri berhak untuk menjual, menghibahkan, ataupun memberikannya kepada orang lain tanpa izin sang suami. Nafkah yang berupa tempat tinggal dan pembantu bagi sang istri hanya berlaku hak menempati dan memanfaatkan tenaga dari pembantu saja tanpa bisa melakukan pendistribusian kepada siapa pun karena nafkah ini bukan milik sang istri. Nafkah ini diberikan sesuai dengan kondisi sang istri. Jika memang sebelum nikah dia sudah terbiasa dilayani oleh pembantu maka sang suami baik yang termasuk kategori kaya, sedang, ataupun miskin wajib untuk memberikan pembantu. (Syekh Sulaiman bin Muhammad Bin Umar Al Bujairimi, Bujairami `Ala al Khatib, IX/465, Darul Kutub al Ilmiyyah, 2015)

Ringkasnya, jika berupa nafkah tamlik yaitu nafkah yang sifatnya dapat dimiliki oleh sang istri seperti nafkah kebutuhan makan dan pakaian, maka yang dijadikan patokan adalah kondisi suami. Jika berupa nafkah imta’ yaitu nafkah yang sifatnya sekunder atau tersier seperti tempat tinggal, alat kosmetik, dan lain-lain, maka yang menjadi patokan adalah kondisi sang istri.

Baca Juga: Hadis-hadis Keutamaan Mencari Nafkah

Ditulis oleh Mohammad Bahrul Ulum, Santri Pondok Pesantren Mansajul Ulum Pati.