Berebut Wacana

Judul                : Berebut Wacana: Pergulatan Wacana Umat Islam Indonesia Era Reformasi
Penulis             : Carool Kersten
Penerbit           : Mizan, Maret 2018, 366 Halaman
ISBN                : 978-602-441-060-5
Peresensi         : A. Fathurrohman Rustandi*

Islam Indonesia sering digambarkan dalam relasi Islam tradisionalis dan modernis, yang biasanya disimplifikasikan diwakili oleh NU dan Muhammadiyah, peta wacana ini mengalami pergeseran yang cukup jauh. Reformasi 1998 membuka horizon baru, yang memberi peluang besar kepada umat Islam dalam kontribusi peran sosial-politik dalam panggung Indonesia.

Buku yang ditulis Carool Kersten ini diterjemahkan dari Islam in Indonesia: The Contest for Society, Ideas, and Values yang diterbitkan pada tahun 2015 oleh Hurt & Co. London. Kersten adalah Associete Professor di bidang Studi Islam dan Dunia Muslim di King’s College, London dan Research Associate di Center of Southeast Asian Studies, pada School of Oriental and African Studies (SOAS), University of London.

Buku terbitan Mizan ini menjelaskan dengan gamblang dinamika intelektual pembaruan Indonesia pasca-Orde Baru. Yang menarik, interlokutor riset buku ini adalah para intelektual generasi pasca-Gus Dur dan Cak Nur, seolah penulis ingin mengambil jarak dan tidak ingin terjebak dalam narasi besar dikotomi Islam tradisional dan modernis yang sudah tidak relevan lagi.

Fatwa MUI yang mengharamkan pluralisme, liberalisme, dan sekularisme pada Juli 2005, dibedah secara khusus beserta implikasi teologis, sosiologis, dan politiknya. Hal ini dianggap sebagai tonggak khusus meningkatnya antagonisme di kalangan muslim Indonesia. Meski kekerasan komunal yang melanda Indonesia pada tahun-tahun transisi pergantian rezim 1998 agak mereda, tetapi polarisasi antar kelompok aktivis muslim mengemuka perdebatan intelektual maupun non intelektual dengan bahasa dan ekspresi yang semakin agresif, untuk tidak menyebut kasar.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Penulis juga mengelaborasi sejarah intelektual Indonesia sebagai warisan Eropa, tepatnya Belanda. ‘Verzuiling atau aliranisasi yang memfragmentasi kehidupan politik, keagamaan, sosial, budaya, dan pendidikan menjadi segmen-segmen: Protestan, Katolik, dan sekuler. Warisan kolonial ini begitu membekas di masyarakat Indonesia, tercermin dalam berbagai haluan ideologi, yang memengaruhi berbagai aspek di Indonesia.

Buku ini memberikan gambar besar Islam di Indonesia, peta wacana dan aktor intelektual yang sedang terlibat ghazwah al fikr (perang wacana) di medan laga perebutan ini, seperti para tekstualis yang legal formalis melawan para substantivis yang berorientasi spirit hukum Islam. Dijelaskan pula gagasan para pemikir dan aktivis Muslim Indonesia yang dipengaruhi oleh sarjana luar, Timur Tengah dan Barat seperti Abid al Jabiri, Muhammad Arkoun, Hassar Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid, Fazlur Rahman, dll.

Perebutan wacana kubu reaksioner dengan kubu progresif ini direkam secara menarik. Ada tiga isu utama pemicu perdebatan, yakni pluralisme agama, Hak Asasi Manusia (HAM), dan kebebasan berpikir. Penulis juga melakukan penelusuran terhadap konteks sejarah sensitivitas ketiga isu ini sampai periode kolonial. Kedua kubu memandang kajian akademik mengenai Islam, sebagai medan pertarungan utama. Sengitnya perdebatan juga pada ranah bagaimana agama mesti berfungsi dalam kehidupan publik. Penting diketahui, politik juga berkontribusi terhadap ketegangan agama di Indonesia saat ini. Kelompok reaksioner maupun progresif dipusingkan oleh hal yang sama, yaitu kuatnya kelompok elit politik Indonesia dan kemampuan mereka untuk memanipulasi proses politik demi kepentingannya.

Sayang, buku ini belum merekam tentang peta wacana keislaman mutakhir, gerakan salafi takfiri, dan gerakan keislaman transnasional lainnya belum banyak dibahas. Ada beberapa kesalahan data minor dalam naskah bahasa Inggrisnya, untung dalam edisi bahasa Indonesia, kesalahan data ini sudah direvisi.

Buku ini layak dijadikan rujukan bagi siapa pun yang ingin mengetahui perkembangan intelektual Islam Indonesia kontemporer, agar bisa memahami peta perebutan wacana dan bisa memfilter kuatnya arus informasi agar tidak mudah hanyut di tengah dahsyatnya gelombang perdebatan.[]


*Alumnus Ma’had Aly Hasyim Asy’ari, Pendiri Madina Bookstore dan GD & Tebuireng