Sumber gambar: http://nahdlatululama.id/blog/2017/09/13/risalatul-muawanah-habib-abdullah/

Masih dalam edisi bahasan kitab Risalah al Mu’awanah karya Sayyid Abdullah ibn Alawi ibn Muhammad al Haddad. Tidak berbeda jauh, bahasan sekarang menceritakan etos kerja dan amal seorang muslim yang mesti ditengarai bahwa hal yang paling mendasar merupakan niat.

Niat merupakan asas segala perbuatan, sehingga memang berikatan dalam hal kebaikan dan keburukan, serta kesempurnaan dan kerusakannya. Hal itu sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَىْ

“Sesungguhnya setiap perbuatan bergantung pada niatnya, dan bagi setiap orang ganjaran sesuai dengan niat yang menyertai perbuatannya itu.”

Oleh sebab itu, janganlah mengucapkan, menginginkan atau berazam melaksanakan sesuatu kecuali niatnya semata-mata demi mendekatkan diri kepada Allah, serta mengharap pahala yang telah ditetapkan atas setiap amalan yang diniatkan tersebut. Dalam hal ini, ketahuilah bahwa tiada sesuatu patut dijadikan sarana bertakarub kepada Allah kecuali yang telah disyariatkan melalui Rasulullah, baik hal-hal yang diwajibkan atau yang dianjurkan atau disebut dengan an nawafil.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ada poin penting di sini, bahwa Islam memberi doktrin objektif bagi muslim dalam mengerjakan sesuatu. Dalam arti, seorang muslim tidak semata-mata hanya mempertimbangkan orientasi keuntungan atau kebaikan di dunia, tetapi dia juga menimbang konsekuensi di alam akhirat. Seorang muslim seyogyanya beramal dengan pandangan objektif seperti ini, berupa niat yang baik. Yang akan menjadikan amal menjadi baik.

Amal baik itu apa, adalah segala sesuatu yang punya atsar (bekas atau efek) spiritual bagi individu atau kelompok masyarakat. Entah amal itu punya konsekuensi sosial yang baik seperti sedekah yang bisa menyuplai kadar ekonomi fakir miskin, atau amal punya efek pada psikis pribadi orang yang beramal, atau memang amal dilakukan agar tidak terjadi kemaksiatan atau kerusakan.

Contoh; sehari-hari kita shalat lima waktu. Yang seperti itu disebut sebagai amal baik. Dalam satu keterangan disebut bahwa shalat adalah waktu istirahat kita dari kesibukan terhadap dunia untuk bermunajat dengan Allah.

Lanjutan keterangan dalam kitab Risalah al Mu’awanah, bahwa adakalanya niat yang tulus dapat berpengaruh pada sesuatu yang mubah sehingga berubah menjadi amal yang mendekatkan seseorang kepada Tuhannya, mengingat bahwa berbagai cara atau sarana dapat memperoleh penilaian yang sama dengan tujuan.

Amal atau kegiatan mubah seperti ‘bekerja untuk mencari nafkah’ bisa bernilai ibadah dan bisa mendekatkan diri kepada Allah jika diniati dengan baik. Kita niatkan bekerja agar kita bisa menjalankan ibadah mahdhah dan menghidupi sandang pangan keluarga agar senantiasa mudah beribadah kepada Allah serta menghindarkan diri dari meminta-minta.

Seseorang makan sesuatu sambil menyertakan niat ‘demi menguatkan tubuhnya untuk melaksanakan berbagai ketaatan kepada Allah’, ataupun mendatangi istrinya ‘guna mendapatkan seorang anak yang kelak beribadah kepada Allah SWT’. Niat seperti ini hanyalah dianggap tulus apabila benar-benar mengamalkannya.

Dalam satu keterangan, Allah SWT memberikan kemurahan bagi hamba-Nya dalam hal amal. Niat beramal baik saja sudah dicatat mendapat pahala, apalagi amal itu juga dilaksanakan. Pasti mendapat pahala berlipat. Sedangkan niat buruk tidak akan dicatat sebagai dosa sebelum keburukan itu terjadi. Itulah keutamaan yang diberikan kepada umat Nabi Muhammad SAW. Namun, dalam kitab Risalah al Mu’awanah menyinggung bahwa niat baik saja tidak akan berarti apa-apa jika belum terlaksana. Jadi, Sayyid Abdullah al Haddad menekankan bahwa niat tulus adalah niat baik yang terlaksana.

Sebagai contoh, seseorang menuntut ilmu yang berniat akan mengamalkan dan mengajarkan kepada orang lain. Apabila ia tidak melaksanakan niatnya itu, pada saat telah memiliki  kemampuan tersebut, maka niatnya yang dahulu tidaklah dapat disebut sebagai niat yang tulus. Demikian pula, seseorang mencari kekayaan duniawi seraya mengklaim bahwa hal itu semata-mata agar terlepas dari keharusan mengharapkan pemberian orang lain, atau dengan kekayan itu ia akan bersedekah kepada kaum fakir miskin serta sanak kerabat.  Jika kelak, setelah memiliki kemampuan, ia tidak melaksanakan niatnya di masa lalu, maka niatnya itu tidak berfaedah.

Jadi realitas niat yang baik tidak hanya masuk pada dimensi spiritual tapi juga harus bisa masuk pada konteks sosial ataupun ekonomi orang yang bersangkutan. Sehingga kadar kemanfaatan niat baik yang diwujudkan dengan amal bisa merambah lebih luas dan dirasakan masyarakat luas, jika kita ambil refleksi dari contoh ‘niat akan bersedekah’ atau ibadah sosial yang lain.

Dalam keterangan lanjutan, disebut bahwa seyogyanya kita bersungguh-sungguh, agar niat kita dalam mengerjakan ketaatan adalah semata-mata demi mencari keridoan Allah. Disamping itu, jika kita mengerjakan hal-hal yang mubah, kita niatkan hal itu demi memudahkan dan meningkatkan ketaatan kita kepada Allah SWT.

Wallahu a’lam.


*disadur dari kitab Risalah al-Mu’awanah oleh Sutan Alam Budi