Oleh: M. Abror Rosyidin*
Dunia mengalami banyak perubahan dan perkembangan, baik dalam bidang ekonomi, sosial, pendidikan, dan kebudayaan. Namun perkembangan itu banyak dipengaruhi oleh meroketnya teknologi informasi. Hal itu, tentu menjadi diskusi yang tak ada habisnya. Kalau lah dulu orang harus mendapatkan informasi lewat media massa dan cetak, kini semua informasi tersedia via gadget atau telepon pintar yang mereka punya. Bahkan, setiap orang memungkinkan memberi informasi kepada orang lain secara terbuka, tanpa proses filtrasi yang mencukupi.
Upaya Pemerintah
Walaupun sudah terdapat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengalami revisi yang diberlakukan pada 28 November 2016 lalu, tak menghalangi penyebar berita bohong dan ujaran kebencian di dunia maya. Revisi yang menjadi semakin ketat itu, tak membendung arus manusia-manusia “jahat” itu dalam menggerogoti keutuhan bangsa ini dengan bingkai kebohongan, kekerasan, kebencian, dan radikalisme.
Di awal tahun 2015, Kementerian Komunikasidan Informasi (Kemkominfo) RI telah melakukan pemblokiran terhadap 22 situsmedia Islam yang dianggap mengajarkan paham radikal, atas permintaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Tindakan ini, menimbulkan sikap pro dan kontra ditengah-tengah masyarakat. Pemblokiran situs merupakan upaya yang dilakukan pemerintah agar situs internet bermuatan negatif tidak dapat diakses.
Karena kekisruhan pro dan kontra itu, situs-situs yang diblokir itu kembali dibuka dan sebagai solusi jangka panjang, Menkominfo membuat Tim Panel Ahli untuk mengatasi masalah pemblokiran situs ini. Sebelum situs diblokir, situs akan dinilai oleh Tim Panel yang terdiri dari berbagai elemen.
Namun, apapun yang dilakukan, baik UU ITE maupun pemblokiran situs-situs internet yang berbau negatif, tak bisa membendung arus hama-hama internet menyebar. Seakan mereka justru terus tertantang melakukan hal yang sama dengan berbagai cara. Lalu seberapa efektifkah usaha itu?
Mungkin kita bisa menengok sebuahlaporan dari The Economist Intelligence Unit (EIU) sepertiyang dilansir Tirto.id, yang mengukur literasi didunia digital yang ada pada kategori readiness. Kategori ini mengukurkemampuan literasi dalam menggunakan internet dengan baik dan positif,pengembangan kebijakan, dan akses kaum perempuan terhadap internet. Pada kategori ini, Indonesiamenempati peringkat 30 dari 75 negara dengan skor 73,5 dari total skor 100. Sementara di Asia Tenggara, Indonesia berada diperingkat ke empat setelah Malaysia (92,3), Singapura (85), dan Thailand(81,1).
Kalau melihat pada fakta itu, tentunya pemblokiran situs-situs negatif dalam internet belum mampu mengatasinya secara penuh. Yang diblokir merupakan website, sedangkan para penggunaan internet di negeri ini lebih banyak mengakses media sosial dari pada situs-situs negatif yang ada. Sederhananya, situs-situs itu diblokir pun, penyebar konten negatif tidak kehabisan akal menyebarkannya, karena masih ada media sosial yang justru lebih menjanjikan.
Okelah, pemerintah telah memblokir tumblr dan sempat memblokir telegram. Namun, berapa persen kah, pengguna kedua situs itu, dari pada facebook, twitter, youtube, dan instragram yang justru sekarang terus menjadi penyetok konten-konten negatif. Jika memblokir ketiga situs itu, berapa banyak kah, penggunanya yang cenderung positif menjadi rugi? Lalu, apa yang harus dilakukan? Penulis melihat perlunya kerjasama banyak pihak di negeri ini, dalam menyebarkan konten-konten positif sebagai narasi counter terhadap konten-konten negatif. Siapa yang bertanggungjawab melakukan itu?
Tugas mengkounter hal-hal demikian, bukanlah tugas pemerintah semata. Seluruh elemen bangsa ini, termasuk masyarakat, juga harus ikut serta membantu. Masyarakat yang tergabung dalam barisan warganet, harus membantu, minimal dengan menyebarkan dengan masif, hal-hal positif di internet. Lebih baik lagi, dapat menciptakan konten-kontennya, alias menjadi konten kreator positif di dunia maya, baik berupa tulisan, foto, meme, komik, video, atau bahkan film-film indie yang menarik.
Radikalisme di Generasi Milenial
Dewasa ini, informasi yang santer menjadi trendsetter adalah penyebaran video. Tak ada salahnya, sebenarnya jika kontennya merupakan hal-hal yang positif. Namun, yang masif tersebar di media sosial malah yang berisi hal-hal negatif, ujaran kebencian, kemarahan, isu-isu SARA, penghinaan, nyir-nyiran, hingga konten-konten berbau radikalisme dan terorisme. Bahkan hingga taraf akut, yaitu taraf mengajak dengan visualisasi yang lembut dan mensugesti penontonnya.
Yang lebih parahnya, konten-konten itu dibuat dengan sedemikian rupa, semilenial mungkin, karena sasaran empuk si kreator adalah generasi muda. Paham radikal pun mulai merasuk ke kalangan muda, khususnya mahasiswa dan pelajar. Survei Mata Air Fondation dan Alvara Research Center menunjukkan 23,4 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar SMA setuju dengan jihad untuk tegaknya negara Islam atau khilafah. Masa-masa pencarian jati diri mereka, benar-benar dipahami betul oleh kreator-kreator video radikalisme. Dalam survei ini, diketahui, ada 23,5 persen mahasiswa dan 16,3 pelajar menyatakan negara Islam perlu diperjuangkan untuk penerapan agama secara kaffah(keseluruhan).
Memang survei ini, menuturkan mayoritas pelajar dan mahasiswa memang setuju dengan NKRI sebagai bentuk negara dibanding khilafah. Namun, perlu diingat, ada 17,8 persen mahasiswa dan 18,3 persen pelajar yang memilih khilafah dibanding NKRI. Jumlah ini, bukanlah angka kecil.
Peran Pesantren dalam Dakwah Kreatif
Dari sekian elemen masyarakat, santri dan pesantrenlah yang paling memungkinkan melakukan hal itu, sebab pesantrenlah kantong ajaran Islam yang rahmatan lil alamin, Islam yang moderat dan toleransi. Dalam sejarah dinamika kehidupan bangsa ini pun, santri dan pesantren menjadi bagian penting dalam proses itu. Santri dan pesantren menjadi pengisi khazanah keilmuan Islam dan ikut membentuk iklim toleran dan moderat di Bumi Pertiwi.
Kini santri dituntut ikut dalam percaturan anemo TI yang menjangkiti masyarakat kita yang tak sedikit terbawa arus menuju arah yang negatif. Maka di sinilah, santri harus menhambil peran secara aktif menyediakan informasi bermanfaat sebagai bentuk dakwah Islam yang rahmatan lil alamin.
Maka, sejatinya siapa lagi kalau bukan santri sebegai pengawal Islam moderat, Islam yang mengedepankan toleransi dan menghargai keberagaman. Kalau pemuda yang “bukan” santri merupakan masyarakat era milenial, maka pemuda yang santri harusnya berdakwah dengan cara-cara yang milenial pula. Islam Rahmatan lil alamin bisa dibungkus dalam film dan video yang menarik dan dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Beberapa pesantren memang telah paham dengan fakta mencengangkan itu, sehingga mulai sadar dengan penggunan video dalam dakwah mereka. Namun, jumlah ini belum banyak jika dibandingkan dengan merayapnya video-video radikalisme dan hoaks. Pesantren Tebuireng merupakan salah satu yang telah lama sadar soal ini dan bergerak menuju pengembangan dakwah via video dan perfilman.
Contoh dari Pesantren Tebuireng
Bisa diambil sebagai contoh, di Pesantren Tebuireng, santri-santrinya telah sadar dengan sendirinya dan didukung oleh pihak pesantren, membentuk komunitas pecinta fotografi yang diberi nama Kopi Ireng (Komunitas Photography Tebuireng). Kesadaran itu semakin tumbuh setelah mereka tak lagi berkutat dalam fotografi, tetapi mengembangkannya ke videografi dan streaming pengajian-pengajian kiai.
Spirit perjuangan itu semakin besar setelah video pendek garapan mereka berjudul Khilaf, menjadi juara II dalam lomba video Hari Santri Nasional 2017 lalu. Mereka juga menyelesaikan puluhan video dan film pendek dengan berbagai substansi konten, yang bertujuan pada pengembangan dakwah Islam moderat.
Sadar akan potensi santri-santrinya, Pengasuh Pesantren Tebuireng, KH Salahuddin Wahid membuat gagasan mendirikan Rumah Produksi film. Diresmikan pada 1 Juli 2018 oleh Wakil Pengasuh, KH Abdul Hakim Mahfudz, Rumah produksi ini menggarap film perdananya berjudul “Binar”.
Dalam proses penggarapan, Gus Sholah meminta kru langsung melibatkan para santri, mulai dari aktor, kreator, editor, hingga komposer musiknya. Film yang berisi tentang peran pesantren dan kemerdekaam itu telah ditayangkan perdana pada 17 Agustus 2018 di Pesantren Tebuireng dan ditonton lebih dari 5000 penonton. Selanjutnya dilakukan pemutaran keliling di sejumlah tempat di Jombang, Surabaya, dan Blitar.
Selain pengembangan film, Pesantren Tebuireng juga punya media online, Tebuireng Online dan media sosialnya yang mengabarkan hal-hal positif. Ada pula Majalah Tebuireng dan Pustaka Tebuireng yang menjadi garda literasi di Pesantren Tebuireng. Pesantren Tebuireng juga melakukan kaderisasi penulis dan kreator konten positif secara berkala demi perjuangan dakwah Islam, menegakkan kalimat Allah yang Maha Kasih, Maha Peyayang, dan Maha Cinta.
Merupakan sebuah langkah awal yang baik bagi Pesantren Tebuireng yang tentunya ingin diikuti oleh pesantren-pesantren lainnya. Bukan bertingkah subjektif, cuma mengabarkan berita bagus tentang sebuah pesantren yang didirikan salah satu pendiri bangsa, KH. Hasyim Asy’ari, yang sampai kini terus berdakwah tanpa harus tertinggal dengan perkembangan IT.
Dukungan Pemerintah untuk Pesantren
Langkah-langkah kreatif santri dalam mendakwahkan Islam yang ramah dan moderat ini tentunya harus didukung oleh banyak pihak, termasuk pemerintah yang getol menyuarakan kehidupan beragama yang harmonis dan pancasilais. Santri-santri ini sungguh pun tinggal di daerah, merekalah tonggak ajaran luhur ahlussunnah wal jamaah yang rahmatan lil alamin.
Bantuan berupa peralatan shooting dan pendukung pembuatan film bagi para santri ini, merupakan solusi jitu bagi pemerintah jika ingin mewujudkan hal itu. Mereka harus diberikan ruang yang lebar dalam mengembangkan potensi mereka. Untuk itu, kapan lagi memulainya, kalau bukan sekarang? Kreator-kreator video radikal kenapa bisa berkembang, karena mereka punya biang dana yang besar. Sederhananya, bila juragan tani ingin memberangus hama, solusi tepatnya belikan alat dan bahan pemberantas hama untuk mereka. Hama itu adalah para pembuat video radikal, teror, ujaran kebencian, penistaan, dan hoaks dengan segala akibat yang ditimbulkannya.
*Santri Pesantren Tebuireng