Gus Sholah ketika memberikan pengarahan kepada mahasiswa STAIN Kediri saat Yusidium dalam rangka Wisuda Sarjana dan Pascasarjana pada Kamis (20/07/2017).

Oleh: Dr. (Hc). Ir. KH. Salahuddin Wahid

Menyukseskan NKRI berarti membuat NKRI tetap terjaga keberadaannya dan berhasil mencapai tujuannya. Hal ini berarti menjaga NKRI dari berbagai hal atau tindakan yang bisa mengancam keberadaan NKRI dan bisa menghalangi tercapainya tujuan dari didirikannya NKRI. Untuk bisa ikut mensukseskan NKRI terlebih dahulu kita harus mengetahui apa NKRI itu dan juga mengetahui apa tujuan NKRI didirikan.

Mula-mula negara kita adalah Republik Indonesia lalu menjadi Republik Indonesia Serikat pada Desember 1949 dan akhirnya menjadi NKRI lagi pada 1950. Lalu dalam persidangan Konstituante pada 1956-1959 ditentukan kembali bentuk negara kesatuan yang didukung oleh 80% anggota Konstituante, sedangkan bentuk negara federal didukung oleh 20% anggota.

Selama 72 tahun perjalanan kesejarahannya, NKRI mengalami banyak tantangan berupa pemberontakan atau peristiwa yang mengancam keberadaan NKRI. Alhamdulillah semua peristiwa itu bisa diatasi dengan baik. Pada 1948 terjadi penberontakan PKI di Madiun. Pada 1949 didirikan Negara Islam Indonesia di Jawa Barat. Pemberontakan kalangan Islam juga terjadi di Sulawesi Selatan. Pada 1950 didirikan RMS di Maluku yang tokoh-tokohnya adalah kalangan Kristiani. Mereka menginginkan negara federal. Pada 1958 didirikan PRRI di Padang dan Permesta di Manado. Mereka menggugat ketidakadilan sosial ekonomi antara Jawa dan luar Jawa. Pada 1965 pemberontakan kembali dilakukan oleh PKI melalui G30S. Pada 1998 terjadi peristiwa Mei 1998 yang menyebabkan perubahan mendasar dalam kehidupan bangsa dan negara kita. Pada waktu itu banyak yang ingin melepaskan diri dari NKRI tetapi berhasil diatasi dengan baik.

Tujuan mendirikan negara dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online
  1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
  2. Untuk memajukan kesejahteraan umum
  3. Mencerdaskan kehidupan bangsa.
  4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Pembukaan UUD juga memuat kelima sila Pancasila tetapi tidak mencantumkan kata Pancasila.

Negara adalah wujud lain dari bangsa. Kalau kita mempelajari sejarah, maka kita akan memahami bahwa bangsa Indonesia (saat itu disebut sebagai bangsa Hindia) adalah bangsa yang dibentuk oleh para tokoh dan pemimpin masyarakat yang lalu didukung oleh rakyat. Bangsa Hindia digagas oleh Douwes Dekker (lahir 1879), dr Tjipto Mangunkusumo (lahir 1886) dan Suwardi Suryaningrat (lahir 1889), melalui “Indische Partij” (1912-1913). Semboyannya adalah “Hindia untuk bangsa Hindia”. Kebangsaan yang digagas oleh partai tersebut adalah kebangsaan yang tidak berdasar agama, etnis, dan kedaerahan. Kebangsaan itu didasarkan pada nasib yang sama sebagai jajahan Hindia Belanda yang ingin merdeka dan menjadi bangsa yang berdaulat, adil, sejahtera, dan bermartabat.

Pada saat ketiga tokoh itu diasingkan di Belanda, gagasan itu diterima dan disosialisasikan oleh para mahasiswa dari berbagai daerah Nusantara yang sedang belajar di sana, seperti Bung Hatta, Iwa Kusumasumantri, Soenaryo dll. Mereka tergabung dalam Perhimpunan Hindia (1908) lalu berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia pada 1925. Nama bangsa Hindia lalu diganti menjadi bangsa Indonesia. Itu pertama kali nama Indonesia dipakai dalam konteks politik. Sebelumnya nama Indonesia dipakai dalam konteks geografi atau etnologi.

Pada Kongres Pemuda 1928 yang membahas dan menghasilkan Sumpah Pemuda juga tidak dibahas masalah hubungan agama dengan negara. Tokoh pertama di sini yang mengemukakan secara terbuka hubungan agama dengan politik ialah HOS Tjokroaminoto yang menulis buku Sosialisme Islam. Pemikiran itu lalu dikembangkan oleh Bung Karno yang membuat tulisan dengan judul “Nasionalisme, Islam, dan Marxisme”.

Aspek keagamaan dalam konteks kebangsaan, baru muncul dalam rangkaian persidangan BPUPKI pada  Mei-Juni 1945. Kelompok Islam menghendaki dasar negara Islam dan kelompok lain menghendaki dasar negara Pancasila. Kompromi tercapai dalam bentuk dasar negara Pancasila dengan rumusan sila pertama: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Ternyata hasil kompromi ini masih ditolak oleh sekelompok tokoh Nasrani dari Indonesia Timur. Akhirnya dicapai kata sepakat dengan mengubah rumusan sila pertama menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perjuangan kelompok Islam untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara masih diteruskan dalam persidangan Konstituante. Sekali lagi kelompok Islam mengalami kegagalan saat diadakan pemungutan suara. Dasar negara Pancasila mendapat dukungan 56,4% suara dan dasar negara Islam mendapat dukungan 43,6%. Pertentangan dalam masalah dasar negara ini dapat diakhiri pada akhir 1984 saat Muktamar NU menerima dasar negara Pancasila secara resmi. Setelah itu hampir semua ormas Islam menerima dasar negara Pancasila.

Setelah reformasi, pintu kebebasan terbuka lebar tanpa ada proses penyaringan. Maka masuklah berbagai paham seperti yang kita lihat sekarang. Ada yang menginginkan negara berdasar Islam dan ada yang menginginkan khilafah Islamiyah. Di dalam kedua kelompok itu ada yang berjuang melalui jalan konstitusional seperti HTI dan Majelis Mujahidin, tetapi ada yang berjuang melalui jalan kekerasan seperti Jama’ah Islamiyah dan Jama’ah Ansorud Daulah.

Sebagian besar umat Islam masih menghendaki negara berdasar Pancasila, termasuk ormas-ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis, al Washliyah, dll. Ada suatu keadaan yang luput dari pandangan kita, walaupun sama-sama menerima Pancasila sebagai dasar negara, ternyata terdapat perbedaan dalam memahami Pancasila. Dulu para tokoh Islam di dalam Masyumi, NU, PSII, dan Perti menolak dasar negara Pancasila karena menganggap Pancasila itu sekuler. Kenapa mereka punya anggapan seperti itu?

Para tokoh dari berbagai partai Islam dan ormas Islam memahami bahwa penggali Pancasila adalah Bung Karno. Mereka sering mendengar atau membaca tulisan BK yang mengambil Turki di bawah Kemal Attaturk sebagai contoh. Para tokoh Islam mengetahui bahwa Kemal amat menentang dakwah Islam dan memisahkan agama dari negara, maka mereka beranggapan bahwa negara Pancasila itu juga sekuler seperti Turki. Karena itu mereka menolah Pancasila.

Pada saat ini ada kelompok yang menganggap terjadi Islamisasi Pancasila dan sebaliknya ada kelompok yang menganggap bahwa ada potensi sekulerisasi Pancasila. Pada 1 Juni 2006 diterbitkan Maklumat Keindonesiaan yang ditandatangani oleh sejumlah tokoh masyarakat Indonesia dari berbagai latar belakang. Dalam Maklumat itu dituliskan bahwa “Indonesia tidak menganggap Pancasila sebagai agama -sebagaimana Indonesia tidak pernah dan tidak hendak mendasarkan dirinya pada satu agama apapun-. KH. Ma’ruf Amin menilai pernyataan itu sebagai upaya untuk melakukan “sekulerisasi Pancasila”.

Sebaliknya ada kelompok yang menganggap bahwa keberadaan UU yang bernuansa Islam adalah wujud dari “Islamisasi Pancasila”, seperti UU Peradilan Agama, UU Zakat, UU Haji, UU Wakaf dll. Menurut mereka, UU Zakat dan UU Haji misalnya hanya mengatur umat Islam. Bukankah itu bersifat diskriminatif? Apakah untuk umat Kristen harus dibuat UU Kolekte? Padahal bagi hampir semua umat Islam, keberadaan beberapa UU diatas dianggap sebagai sebuah keberhasilan dalam memadukan keindonesiaan dan keislaman.

Perbedaan pandangan di atas, sekecil apapun adalah potensi yang bisa mengganggu NKRI di masa depan yang cukup jauh dari sekarang. Masalah ini bisa menjadi salah satu bidang garapan PTAIN dan alumninya dalam upaya mensukseskan NKRI. Tentu upaya ini memerlukan waktu dan harus dilakukan dengan sabar dan hati serta pikiran terbuka.

Kalau kita ingin menyukseskan NKRI tentu kita sebagai bangsa harus berhasil mencapai tujuan didirikannya NKRI. Kita harus mengevaluasi seberapa jauh tujuan itu telah bisa kita wujudkan. Mari kita menilai sekilas hasil capaian kita. Tujuan mendirikan NKRI adalah: a). melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. b).untuk memajukan kesejahteraan umum.  c). mencerdaskan kehidupan bangsa.

Tujuan itu lalu diuraikan ke dalam berbagai pasal didalam batang tubuh UUD ditambah dengan penjelasan. Kita harus berani mengakui bahwa negara atau pemerintah sering kali tidak berhasil melindungi rakyatnya yang terpaksa bekerja ke LN karena terbatasnya lapangan pekerjaan di DN, ketika mereka menghadapi masalah hukum di LN. Kita adakalanya tidak berhasil melindungi warga negara RI dari praktik perdagangan manusia. Kita tidak berhasil melindungi jutaan warga negara terhadap serangan narkoba. Kedaulatan wilayah kita sebagai bangsa dan negara sering dilanggar dan kita kurang mampu menjaganya. Alumni PTAIN bisa ikut aktif dalam kegiatan melawan narkoba sebagai salah satu bentuk ikhtiar menyukseskan NKRI.

Kita juga harus berani mengakui bahwa kita kurang berhasil dalam memajukan kesejahteraan umum. Masih banyak rakyat kita yang hidup di bawah garis kemiskinan. Rakyat yang menderita gizi buruk dan kekurangan gizi, jumlahnya amat banyak. Kita sering sekali berbicara tentang bonus demografi tetapi kurang berbicara tentang upaya untuk mengatasi ketidakmampuan kita dalam memanfaatkan bonus demografi itu. Kita jarang bicara tentang perlunya kekhawatiran bahwa bonus demografi itu akan berubah menjadi bencana demografi, dan bagaimana kita bisa mengatasinya.

Karena pemerintah kurang berhasil dalam mengatasi masalah kemiskinan, maka menjadi tanggung jawab umat Islam terutama mereka yang memperoleh pendidikan tinggi, untuk ikut dalam kegiatan semacam itu. Dompet Dhuafa pernah melakukan survei untuk membuat peta kemiskinan di Pulau Jawa. Kita bisa melakukannya di lingkungan kita tinggal atau bekerja. Potensi ZIS kita lebih dari 200 juta, tetapi yang berhasil kita kumpulkan tidak sampai 5%, sekitar Rp.10 T. Bandingkan dengan pengeluaran untuk biaya umroh sekitar 1 juta muslimin yang mencapai sekitar Rp.25 T.

Kita kurang berhasil dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Makna dari mencerdaskan kehidupan bangsa ialah membangun jiwa bangsa kita dari mental inlander menuju mental manusia merdeka dan percaya diri. Kita belum berhasil memenuhi hak warga negara untuk memperoleh layanan pendidikan dasar menengah yang baik mutunya dan tersebar merata. Hak itu dijamin oleh UUD dan yang harus melaksanakannya adalah pemerintah.

Jumlah sekolah yang sebagian besar didirikan oleh Pemerintah hanya SD. Untuk SMP dan SMP, peran swasta dan pemerintah sama besarnya. Untuk madrasah, jumlah madrasah pemerintah tidak sampai 10%. Jumlah guru swasta sekitar 30%, yang umumnya tidak sejahtera dan kurang baik mutunya. Untuk perguruan tinggi, jumlah PTN hanya sedikit. PTS kebanyakan kurang baik mutunya dan hanya sekitar 15% yang cukup baik. Karena keterbatasan dana dan perencanaan serta penggunaan anggaran yang kurang baik, peran pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan dasar, menengah dan tinggi kurang optimal.

Pendidikan dasar, menengah dan tinggi dapat menjadi bidang garapan bagi PTAIN dan alumninya. Apa lagi kalau kita mau mengakui kenyataan bahwa pendidikan agama Islam saat ini masih lebih bersifat mengajar belum mendidik, lebih bersifat transfer ilmu tetapi belum sampai membentuk ahlaq murid atau santri. Kejujuran yang menjadi inti dan dasar dari ahlaq, belum mampu kita tanamkan ke dalam diri anak-anak didik kita. Kejujuran masih menjadi barang langka dalam kehidupan kita.

Sejumlah peristiwa terkait penistaan agama oleh Ahok dan kegaduhan yang ditimbulkan menjelang pilkada DKI 2017, memberi peringatan bahwa masih ada masalah dalam kehidupan kebangsaan kita yang memerlukan perhatian. Kegaduhan itu menimbulkan dampak negatif terhadap persatuan bangsa. Bangsa Indonesia yang majemuk pernah mengalami ancaman persatuan dalam perjalanan kesejarahan selama 72 tahun, yang disebabkan oleh perbedaan ideologi (komunis, Islam, RMS), perasaan adanya ketidakadilan sosial ekonomi yang dirasakan oleh warga  di beberapa tempat.

Kemajemukan kita adalah sebuah fakta, yang lalu diatasi dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan tersebut memerlukan sebuah pra syarat yaitu sikap toleran. Pengertian dasar toleransi adalah menghargai perbedaan.

Menghargai mengandung makna mengakui, menenggang, menghormati. Perbedaan mengandung makna keragaman, kebhinekaan, kemajemukan, pluralitas. Perbedaan itu melingkupi berbagai aspek: ideologi, agama, suku, etnis, budaya, status sosial ekonomi. Dalam kaitan agama, toleransi hanya berlaku dalam hubungan sosial, tapi tidak boleh dilakukan dalam masalah akidah.

Dalam masalah ideologi, tidak ada toleransi terhadap komunisme dan kini terhadap islamisme. Dalam konteks ekonomi, ternyata tidak terdapat toleransi. Kaum berduit tidak pernah punya toleransi terhadap kaum miskin.


Disampaikan di STAIN Kediri pada 20/07/2017.