Oleh: Irfan Abdul Mu’thi*

Agama adalah sebuah penolong dan tuntunan jalan hidup, pencipta kedamaian dan ketentraman sesama manusia, yang pada intinya mengandung berbagai macam solusi dan jalan keluar bagi semua hal yang menjurus pada hubungan vertikal antara manusia terhadap tuhannya (hablun min Allah) ataupun hubungan horizontal antara manusia terhadap sesama manusia yang lain (hablun min al-naas).

Hubungan vertikal manusia kepada tuhannya adalah hak dan kewajiban setiap manusia sebagai hamba, sedangkan hubungan horizontal manusia adalah bagaimana Ia melakukan interaksi sosial terhadap manusia lainnya. Hubungan horizontal ini tidak selamanya berjalan baik ataupun mulus pada jalur yang sama-sama diharapkan oleh seluruh manusia. Pasti terdapat konflik sosial yang membumbuinya, dikarenakan sifat dasar manusia yang penuh dengan kekurangan.

Konflik sosial  adalah sebuah kondisi dan keadaan sosial dimana manusia berusaha untuk memenuhi hasrat dan keinginan dengan cara melawan pihak manusia lain yang menentangnya, baik itu dengan menebar ancaman, melakukan kekerasan atau hal tercela lain, sekiranya dilakukan untuk memenuhi hasrat dan keinginan mereka. Dalam hal apapun, kondisi seperti ini pasti terjadi, karena ini termasuk dalam bagian hidup manusia. Mulai dari berkeluarga, bertetangga, bermasyarakat dan tak terkecuali dalam hal beragama. Penyebabnya adalah banyak hal yang didasari oleh egoisme negatif dan sifat tercela yang begitu mendasar pada diri manusia.

Manusia sebagai makhluk sosial, tidak akan bisa menghindar dari sebuah konflik sosial. Semua itu adalah sebuah kelaziman pada diri manusia itu sendiri. Menghadapi konflik tersebut sudah pasti bakal dilakukan, hanya saja pertanyaan “bagaimana” sangat diperlukan dalam hal ini. Pengetahuan, kecerdasan serta hati yang lembut sangat berpengaruh dalam diri manusia untuk menghadapi situasi dimana konflik itu terjadi.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Aristoteles dalam istilahnya menyebutkan bahwa manusia adalah “zoon politicon” yang secara harfiah artinya adalah hewan yang bermasyarakat. Dalam teorinya dia tidak menggunakan kata “homo” yang artinya manusia, melainkan menggunakan kata “zoon” yang artinya hewan. Oleh karena itu, mari kita sama-sama berfikir tentang penggunaan bahasa dalam istilah yang telah dikemukakan oleh Aristoteles di atas.

Dalam hemat penulis, Aristoteles ingin menjelaskan secara tersirat bahwa manusia dalam hal sosial tak jauh berbeda dengan hewan. Hewan adalah makhluk yang ketika Ia lapar, apapun akan Ia lakukan, termasuk membunuh sesama hewan, baik itu sejenis maupun tidak, untuk kepentingan individu maupun kelompoknya sendiri. Begitupun manusia, demi kepentingannya, apapun akan Ia lakukan termasuk saling membunuh dalam proses mencapai sebuah tujuan. Bahkan agamapun tidak dapat membendungnya, hingga terjadi peperangan terhadap manusia yang berkeyakinan pada agama yang sama. Jika dalam kenyataannya tidak seperti itu, maka bisa dipastikan tidak akan terjadi perang antar kelompok manusia, dahulu hingga sekarang.

Kita sebagai manusia, menghadapi konflik sosial adalah sebuah keharusan yang tidak bisa dipungkiri. Setiap manusia yang dalam dirinya melekat sebuah faham yang dinamakan agama, pasti mempunyai jiwa fanatisme tinggi dalam dirinya untuk mempertahankan apa yang Ia yakini. Fanatisme seperti ini memang sangat dibutuhkan dalam beragama. Karena fanatismelah yang mendukung sebuah keyakinan. Hal inilah yang membuat manusia sangat patuh sekali terhadap ajaran yang ia yakini.

Jika terdapat manusia yang beragama tetapi kurang patuh terhadap ajaran agamanya, maka bisa dipastikan manusia seperti itu mengalami penurunan keyakinan, diikuti fanatisme dalam dirinya dan lambat laun keduanya akan hilang. Fanatisme seperti ini dalam pelaksanaannya terbagi menjadi dua, yaitu fanatisme dengan pengetahuan yang luas (fanatisme terdidik) dan fanatisme dengan pengetahuan yang sempit (fanatisme buta).

Pertama, fanatisme dengan pengetahuan dan wawasan yang luas (fanatisme terdidik). Jiwa fanatik seperti ini adalah jiwa yang cenderung positif. membumbui fanatisme dengan pengetahuan yang luas adalah cara yang bijak dalam menghadapi konflik sosial terutama dalam hal beragama. menghasilkan Pemikiran yang cenderung moderat. Tidak mengedepankan egoisme negatif dalam dirinya, melainkan mengubah egoisme negatif itu menjadi egoisme yang menjurus pada hal positif. Sehingga memungkinkan untuk mencegah terjadinya sesuatu yang tidak sesuai dengan norma dalam kehidupan sosial.

Kedua, fanatisme dengan pengetahuan dan wawasan yang sempit (fanatisme buta). Jiwa fanatik ini yang menjadi bomerang dalam kehidupan sosial. Hanya mengedepankan egoisme negatif dan sarat akan jiwa emosional hingga cenderung berfikir secara ekstrem dan pendek. Hanya memakai pengetahuan yang mendukung jiwa emosionalnya saja dalam menghadapi suatu permasalahan sosial, terutama dalam hal beragama. Hingga sering terjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan norma agama bahkan norma kemanusiaan pun ikut tidak dipedulikan.

Cara membedakan fanatisme yang melekat pada seseorang adalah tergantung pada bagaimana kita memandang manusia tersebut dari akhlak dan perilakunya, bagaimana Ia bersikap terhadap orang lain dalam menghadapi sebuah konflik sosial. Jika ia mengambil “jalan aman” dalam mengambil keputusan dengan segala pertimbangan yang matang, maka bisa dipastikan dalam dirinya terdapat fanatisme terdidik. Ia cenderung memikirkan terlebih langkah-langkah tepat sebelum mencapai tujuan.

Tetapi jika dalam mengambil keputusan Ia tidak mempedulikan apapun, kecuali hal yang sepengetahuannya dan sekehendaknya sendiri, maka bisa dipastikan dalam dirinya terdapat fanatisme buta. Ia lebih cenderung melihat di depannya ada satu titik lurus, dan mengabaikan titik yang berada disekitaranya. Fokusnya tersebut menjadi samar, dan dipenuhi ambisi besar, dengan cara yang inginnya cepat. Ia akan lari sekencang-kencangnya, untuk mencapai titik tujuan, namun ia lupa ia membutuhkan air untuk minum, ia membutuhkan makanan untuk energinya, ia membutuhkan handuk untuk mengusap keringat, ia membutuhkan teman untuk mengangkatnya ketika rapuh dan terjatuh, ia terus berlari. air, makanan, handuk, dan teman, adalah manusia-manusia dan apa yang ada di sekitar mereka, yang ia hancurkan dan tak ia hiraukan karena keinginan butanya.

Pada intinya, jiwa fanatisme sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, kecerdasan, dan hati yang lembut. Semakin besar ketiga unsur tersebut, maka akan semakin mudah bagi manusia dalam hidup bersosial dan beragama dengan menebar rasa nyaman dan tentram bagi alam semesta.

Dalam menyikapi konflik sosial, kita sebagai muslim mempunyai banyak tuntunan dan pelajaran dari apa yang menjadi landasan pemikiran dan pengetahuan kita, tinggal bagaimana kita menangkapnya menjadi sebuah sikap yang terpuji secara kontekstual dan praktik. Jika sebuah tujuan dalam beragama sudah terwujud, maka tujuan secara menyeluruh dalam hal kemanusiaan dan menciptakan perdamaian antar sesama manusia, akan dengan mudah tercapai.

Menjadi muslim yang moderat adalah sebuah keharusan di tengah hiruk pikuk kehidupan beragama yang sering disalahgunakan oleh berbagai pihak yang mempunyai kepentingan tersendiri dan tidak memikirkan dampak negatif lainnya. Termasuk menghilangkan jiwa dan mengabaikan nilai perdamaian antar manusia, hingga muncullah berbagai konflik sosial yang menitikberatkan pada persoalan agama.

Pemikiran yang moderat terhadap agama bisa menengahi dan menyelesaikan berbagai macam konflik sosial. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), moderat berarti kecenderungan mengambil jalan tengah dan menghindari  tindakan dan pengungkapan yang ekstrem. Pemikiran seperti inilah yang dihasilkan dari jiwa fanatik yang terdidik dan secara tidak langsung dibutuhkan oleh setiap manusia. Jika semua manusia di dunia mempunyai pemikiran dan sikap yang moderat dalam menghadapi berbagai konflik agama, ras, dan bangsa, maka kehidupan yang diimpikan oleh manusia secara umum yaitu terwujudnya perdamaian antar sesama akan bisa dengan mudah untuk terealisasikan.

Kita sebagai ummat Islam, sudah seharusnya masing-masing dari diri kita memberikan sumbangsih kepada kehidupan manusia secara umum dengan menjadi duta perdamaian antar manusia di seluruh dunia. Mulai dari hal dalam skala terkecil hingga pada tingkatan yang membutuhkan kekompakan dan kerjasama yang tepat di dalamnya. Mari Memulai dari diri sendiri! Mari berdoa untuk semua korban dari berbagai konflik dan krisis kemanusiaan yang terjadi, di Syiria, Irak, Palestina, Lebanon, Prancis, Kenya, Yaman, Turky, Myanmar, Afganistan, Pakistan, Somalia, Nigeria, Ukraina, Sudan, Kongo, Libya, Afrika Tengah, India, dan negara-negara lainnya yang telah dan sedang mengalami konflik berkepanjangan.

*Alumnus Madrasah Aliyah Salafiyah Syafi’iyah Pesantren Tebuireng, sekarang menempuh pendidikan di Universitas al-Azhar Cairo Mesir tahun kedua.