Judul Buku         : Ibuku Inspirasiku

Penulis                 : KH. Abdurrahman Wahid & KH. Salahuddin Wahid

Penyusun            : Tim Pustaka Tebuireng

Editor                   : Ahmad Faozan

Penerbit              : Pustaka Tebuireng

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Tebal                    : XIII + 78 hlm

ISBN                     : 978-602-8805-31-5

Resensor            : Vevi Alfi Maghfiroh*

Tak heran jika sosok seorang ibu menjadi inspirasi bagi anak-anaknya, karena padanyalah pendidikan pertama manusia dimulai. Tak jarang sosok ibu pun disebut sebagai “al-madrasah al-uula” bagi peradaban manusia. Karena dari rahim yang baik maka akan tumbuh benih-benih manusia unggul, hal ini terbukti pada sosok Nyai Solichah Wahid Hasyim yang darinya lah melahirkan putra-putri bangsa, dan berkiprah di masyarakat bukan hanya berpengaruh di kancah lokal, melainkan nasional bahkan internasional.

Nyai Solichah Wahid merupakan putri dari KH Bisri Sansuri, juga merupakan istri dari KH Abdul Wahid Hasyim (putra Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari).  Dari pernikahannya beliau melahirkan empat putra dan dua putri. Rumah tangga beliau dengan KH Abdul Wahid Hasyim hanya empat belas tahun, lantaran sang suami wafat pada usia muda. Namun hal inilah yang menjadikan Nyai Solichah terlahir menjadi wanita yang berpengaruh bukan hanya karena menjadi istri seorang tokoh nasional, akan tetapi karena sepak terjangnya dalam organisasi dan membesarkan semua putra-putrinya.

Sebagai sosok perempuan single parent, beliau memiliki kekuatan seorang laki-laki dan kelembutan seorang perempuan. Ketegaran, ketabahan, semangat dan keberanian beliau menghadapi tantangan kehidupan selalu menjadi inspirasi putra-putrinya. Dalam waktu cepat beliau mampu menyerap nilai-nilai yang dtransformasikan oleh suaminya, yang sebagian besar tentu berasal dari ajaran Islam dengan ditambah nilai-nilai kebangsaan dan nasionalisme yang tinggi. Diantaranya adalah, nilai kejujuran, nilai keberanian, dan nilai tentang kesamaan dan kesetaraan di antara sesama manusia.

Selain menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya, beliau mampu menjadi sosok wanita karier. Hal ini terbukti dari peran beliau menjadi anggota DPRD DKI pada pemilu 1955, diangkat menjadi anggota DPRGD pada tahu 1960, dan menjadi anggota DPR RI pada tahun 1971 sampai tahun 1987. Fokus kegiatan dan minat beliau adalah Muslimat NU, hal ini terbukti dengan keaktifannya dan merintis berdirinya Yayasan Kesejahteraan Muslimat (YKM) yang mengelola segala jenis fasilitas umum.

Dalam buku ini sosok Nyai Solichah ditulis oleh kedua putranya, Gus Dur dan Gus Sholah yang sudah tak asing lagi di telinga. Nyai Solichah Wahid di mata kedua putranya adalah pribadi yang terbuka dan mudah bergaul dengan siapa saja, beliau sangat rajin melakukan silaturrahim dengan banyak pihak. Di mata Gus Dur beliau bagaikan “Ayam Induk” bagi pimpinan NU. Beliau tidak pernah kehilangan kontak dengan orang-orang penting dalam unsur-unsur masyarakat, dengan ulama lokal maupun nasional (hlm. 38). Keputusan NU untuk kembali ke Khittah 1926 pada Muktamar tahun 1984 di Situbondo tak lepas dari peran beliau. Gus Dur yang ketika itu dicalonkan menjadi Ketum PBNU, sebelum memberikan usulan tersebut kepada para ulama, terlebih dahulu meminta saran kepada Sang Ibu. (hlm 44-45)

Dan menurut Gus Sholah beliau adalah ibu “Par Excellence” dengan segala keterbatasan dan kekurangan yang ada, beliau mampu mendidik putra-putrinya, namun tetap mampu membina karir. Beliau tidak banyak bicara tentang kesetaraan Gender, tetapi beliau melaksanakannya jauh sebelum masyarakat membahasnya. (hlm. 62). Dalam membersarkan anak-anaknya, berjuang melawan tantangan kehidupan, beliau sampai pernah berdagang beras dan pemasok bahan bangunan. Kesulitan demi kesulitan ini yang membuat Gus Sholah dan saudara, merasa kuat dan merasa tak pantas membandingkan kesulitannya dengan apa yang dialami Nyai Solichah.

Banyak capaian politis yang telah dilakukan oleh Nyai Sholichah. Yang paling fenomenal adalah penandatangan resolusi pembubaran PKI pada 30 Oktober 1965. Bahkan rumah beliau yang berada di Taman Amir Hamzah (dulu Jl. Taman Matraman Barat), Jakarta Pusat sebagai tempat berkumpul para aktifis NU dan Ansor dalam menyusun strategi menghadapi situasi yang tidak menentu. Tindakan berani itu cukup beresiko, karena apapun bisa terjadi saat itu. Apalagi PBNU belum melakukan tindakan apapun. Selain itu, tak kalah hebatnya, beliau juga mampu mendamaikan dua kubu PBNU yang berseteru pada 1970-an, antara kubu KH. Idham Cholid atau “Kubu Cipete” dan para kiai di dalam Syuriah PBNU atau “Kubu Situbondo”.

Buku ini memang tak lepas dari kekurangan, diantaranya adalah terdapat kesalahan ejaan penulisan, namun hal ini tidak mengurangi esensi kehebatan dari sosok Nyai Solichah Wahid yang dijelaskan di dalamnya. Dalam konteks inilah buku ini layak dibaca, terutama oleh kaum perempuan yang akan menjadi sosok ibu, agar mampu melahirkan sosok-sosok manusia hebat di kemudian hari. Buku ini “kecil-kecil cabe rawit”, tipis tapi seperti lapis, yang memuat lapisan-lapisan indah kenangan tentang sosok perempuan NU yang patut untuk diteladai. Selamat membaca!

*Mahasantriwati Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng semester V dan aktif di komunitas penulis muda Tebuireng, Sanggar Kepoedang