sumber gambar: www.google.com

Oleh: Viki Junianto*

United Nations memperkirakan pada rentang tahun 2020-2030, Indonesia akan menuai keuntungan dari bonus demografi. Bonus demografi atau demographic devident diartikan sebagai ledakan atau bertambahnya jumlah manusia usia produktif. Usia produktif tersebut berkisar diantara 15-64 tahun. Dipersepsikan demikian karena pada usia tersebut manusia dapat melakukan aktivitas secara rutin dengan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat dan berkualitas. Dalam suatu penelitian membuktikan bahwa Indonesia akan mendapatkan keuntungan pertumbuhan usia produktif sebesar 70%, berbanding 30% usia tidak produktif.

Namun jika tidak dapat memanfaatkan momentum ini dengan baik, besar kemungkinan bonus demografi akan menjadi bumerang bagi Indonesia. Bayangkan saja, saat bertambahnya masyarakat Indonesia di usia produktif tidak diimbangi dengan penyediaan pelatihan kerja yang memadai, tentu bonus demografi akan memperbanyak pengangguran di usia produktif karena tidak memiliki keahlian dalam bekerja dan berwirausaha.

Meyinggung tentang bonus demografi, tentu kita tidak bisa menutup mata akan urgensi santri untuk ikut berpartisipasi dalam mensukseskan Indonesia untuk bisa memanfaatkan momentum ini dengan baik. Santri sebagai kalangan muda di usia produktif yang sedang menyibukkan diri untuk menggali keilmuan agama dan siap untuk menyelesaikan segala problematika yang terjadi di masyarakat nanti, tentu mempunyai peran penting dalam menyambut bonus demografi.

Badan Statistik Diniyah dan Pesantren mengemukakan bahwa pada saat ini santri di Indonesia berjumlah 3.642.738, yang tersebar pada 27.218 pesantren di seluruh Indonesia. Data ini menunjukkan bahwa santri bisa menjadi investasi besar Indonesia yang akan ikut berpartisipasi dalam memanfaatkan bonus demografi pada rentang waktu 2020-2030 dengan baik.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Maka bisa dibayangkan, jika jumlah santri sebanyak itu tidak mendapat pelatihan kerja (hard skill) yang memadai dan hanya berkecimpung dengan belajar agama saja (soft skill) maka bisa dipastikan bonus demografi tidak akan menguntungkan Indonesia, namun akan menjadi senjata makan tuan yang akan menciptakan banyak pengangguran di usia produktif.

Telah menjadi kewajiban bagi kiai pesantren yang mempunyai peran ganda, yaitu sebagai pendidik para santri dan pemegang penuh kepemimpinan pesantren dalam keberlangsungan kegiatan pesantren untuk memberi wawasan pelatihan kerja dan wirausaha (hard skill) dan tidak hanya memberi wawasan keagamaan (soft skill) saja. Walhasil, santri akan siap untuk menghadapi momentum bonus demografi dan tidak akan menjadi pengangguran di usia produktif.

Sebenarnya, pembekalan hard skill oleh kiai pesantren sudah dilakukan sejak zaman dahulu. Santri kuno zaman dahulu dipaksa untuk hidup mandiri. Banyak santri pada zaman dahulu tidak diberi uang saku oleh orang tuanya. Sehingga mereka harus bekerja kepada kiai baik untuk mengolah lahan beliau ataupun ikut bekerja sebagai tukang bangunan demi mencukupi kehidupan mereka sehari-hari. Secara tidak langsung, hal tersebut otomatis menjadi pembekalan hard skill oleh kiai kepada santri-santrinya.

Namun setelah berkembangnya zaman, santri tidak lagi dituntut hidup mandiri. Orang tua mereka sudah cukup mampu untuk membiayai mereka selama belajar di pesantren. Oleh sebab itu, banyak pesantren di zaman sekarang ini tidak lagi mengajarkan hard skill kepada santri-santrinya akan tetapi hanya mengarkan soft skill.

Pembekalan hard skill ini sudah dimulai kembali oleh Kiai Habibul Amin, Pengasuh Pondok Pesantren Fatkhul Ulum, Desa Gerdu Laut Kecamatan Ngoro Kabupaten Jombang. Kiai yang juga Alumnus Pondok Pesantren Kwagean ini mengharuskan santrinya untuk tidak hanya belajar agama, akan tetapi juga harus membekali diri mereka dengan ketrampilan kerja dan berwirausaha. Menurut beliau, keterampilan bekerja dan berwirausaha sangat dibutuhkan santri ketika sudah kembali ke masyarakat, agar ketika santri sudah kembali terjun ke masyarakat, santri bisa mempuyai ekonomi yang mandiri dan tidak menjual ilmu yang mereka peroleh selama di pesantren.

Di pesantren itu, beliau mempunyai beberapa wirausaha, yaitu: budidaya bebek petelur, ayam petelur, ayam potong, lele dan usaha penyablonan. Tidak cukup disitu, Kiai Amin, panggilan akrab beliau, juga bekerja sama dengan pemerintah untuk membangun Balai Latihan Kerja (BLK) di pesantrennya. BLK ini memberi ketrampilan menjahit kepada santri-santri. Harapan ke depannya, ketrampilan jahit ini akan berguna bagi mereka ketika sudah terjun di masyarakat nanti. Pelatihan ini dibiayai penuh oleh pemerintah dan dilaksanakan selama tiga bulan penuh.

Dalam konteks ini, pemerintah juga memegang peranan penting dalam pembekalan pelatihan kerja bagi santri-santri di Indonesia. Kiai sendiri tidak mungkin mampu untuk merealisasikan rencana ini tanpa bantuan dana dan tenaga ahli dalam pengembangan pelatihan kerja bagi santri. Diperlukan sinergi yang baik antara pemerintah dan kiai pesantren dalam mengemban misi besar ini.

Kesadaran semacam ini hendaknya dimiliki oleh semua kiai pesantren di seluruh Indonesia. Sosok Kiai Amin yang sadar tentang pentingnya ketrampilan kerja dan wirausaha bagi para santri seyogyanya bisa menjadi contoh bagi kiai-kiai di era milenial ini.

Harapan ke depannya, dengan keterampilan kerja dan wirausaha ini, santri akan siap untuk menghadapi bonus demografi yang akan datang dengan baik. Tidak sampai di situ santri juga akan memiliki usaha mandiri agar ketika mereka sudah kembali ke masyarakat mereka tidak akan menjual ilmu agama mereka yang telah diperoleh di pesantren.

*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.