santri tebuireng

Dalam kitab Adabul ‘Alim wal muta’alim karya Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dijelaskan bahwasanya Ruwaim radiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai anakku jadikanlah ilmu yang kau miliki seperti halnya garam, dan jadikanlah adab yang kau miliki laksana tepung.”

Dapat kita ambil pelajaran dari perumpamaan itu bahwa garam dan tepung adalah dua komponen masakan yang bisa saling melengkapi. Maka dari itu, jadikanlah ilmu yang Anda miliki seperti halnya garam.

Garam merupakan salah satu komponen bumbu masakan, yang dengannya berbagai masakan akan terasa lezat. Sesuatu yang kurang pas akan menjadi pas dengan diberi garam. Begitu juga dengan ilmu, hal  yang kurang enak dan kurang berkenan akan menjadi sesuatu yang mudah diterima bila didasari dengan ilmu.

Adapun adab diserupakan dengan tepung, karena tepung adalah bahan utama dalam pembuatan adonan. Tepung adalah pondasi yang disamakan dengan adab. Jika ilmu adalah bumbu, maka adab adalah sesuatu yang harus dibumbui. Keduanya harus beriringan dan saling melengkapi. Sebuah maqolah mengatakan “laisal adab kadzdzubab” seseorang yang tidak memiliki adab, laksana lalat. Lalat adalah hewan yang hinggap di sembarang tempat, baik makanan, pakaian, ataupun kotoran.

 “Seseorang yang pandai lalu berjalan dengan kesombongannya, tidak lebih baik dibanding orang yang kurang pandai tapi berjalan dengan kesopanannya”.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Berilmu atau berwawasan luas memanglah bagus, namun beradab dan berilmu pengetahuan tentunya lebih bagus, bahkan Ibnu Mubarok radhiyallahu ‘anhu berkata “Kami lebih membutuhkan adab walau sedikit, dibandingkan ilmu yang banyak”.

Adab bisa menjadikan seseorang memiliki identitas dan kehormatan meskipun sejatinya ilmunya tidak atau belum terlalu dalam. Begitu pun sebaliknya, sepandai apa pun jika kita tidak mengamalkan ilmu padi maka orang lain hanya akan menyayangkan perbuatan kita. Perbuatan baik yang tidak didasari dengan ilmu memang bisa dikatakan eman-eman (disayangkan). Sikap dan perilaku yang tidak dilandasi dengan adab pun demikian.

Namun tidak semua orang kritis dan meneliti masalah ini, apalagi di era milenial  yang semakin ingin diperhatikan dan mencari perhatian. Mondok atau nyantri di pesantren, merupakan salah satu alternatif yang patut dijadikan acuan dalam menjalani penggemblengan bagi anak muda pada umumnya.

Dalam kitab Akhlaqul Banat, dikisahkan bahwa perumpamaan orang yang memiliki adab yang kurang bagus hingga ia telah tumbuh dewasa diserupakan dengan tumbuhan mawar yang telah bengkok batangnya. Seorang anak yang tengah diajak keliling kebun bertanya kepada orang tuanya, mengapa mawar itu bisa bengkok?

Lalu orang tua dari anak itu pun menjawab, bahwasanya penjaga kebun tidak merawatnya selagi batang mawar itu masih muda, dan jadilah batang itu bengkok sebagaimana keadaannya sekarang.

Lalu, anak tersebut kembali bertanya, mengapa penjaga kebun tidak merawatnya, dan karena merasa heran, anak tersebut maju dan berniat membenahi batang mawar agar tak terlihat bengkok lagi. Orang tuanya melarang dan memberi pengertian, ketahuilah, bahwasanya mawar yang bengkok itu laksana seseorang yang sedari kecil tidak di ajari adab .

Kini, meskipun kita membenarkannya berkali-kali, ia akan tetap kembali seperti posisi semula. Dalam kitab yang sama juga dijelaskan bahwa “Jamaalul wajhi ma’a qubhinnufuusi ka qindiilin fil qobri majusi” yang artinya cantiknya wajah yang diimbangi dengan buruknya perilaku, sama halnya dengan lampu yang diletakkan di kuburan orang majusi, artinya  percuma.

Imam Syafi’i pernah diberi pertanyaan yang berbunyi “Bagaimana atau sampai di mana Anda tertarik perihal masalah adab?”.

Lalu Imam Syafi’i menjawab, “Ketika aku mendengar sesuatu atau secuil  perkara tentang adab, maka anggota badanku merasa senang bahkan pendengaranku merasakan lezat karena sesuatu tentang adab tersebut.”

Lalu kembali ditanyakan pada Imam Syafi’i, “Bagaimana cara Anda untuk mencari ilmu tentang adab?” Beliau menjawab, “Usahaku dalam mencari ilmu tentang adab adalah seperti seorang perempuan yang kehilangan anaknya, dan tiada anak lain selain anak yang hilang tersebut”. Dalam artian Imam Syafi’i mencari ilmu tentang adab seperti halnya orang yang benar-benar menjaga dan tak mau kehilangan barang sedikit.

Dapat dibayangkan, jangankan manusia yang diciptakan dengan akal dan nalarnya. Naluri seekor induk ayam pun akan menjadi-jadi jika kehilangan anaknya, apalagi anak yang masih kecil atau baru saja menetas. Lalu, Imam Syafi’i bahkan menyamakan sikap ini dengan keadaan beliau ketika mencari ilmu tentang adab. Semoga kita senantiasa bisa mulai untuk memperbaiki diri, di mulai dari memperbaiki adab dan menambah ilmu serta bermurojaah.

Baca Juga: Akhlak Murid Kepada Guru Menurut Kiai Hasyim Asy’ari

Ditulis oleh: Rokhimatus Sholekhah, Santriwati Pondok Pesantren Alhusna Payaman Secang Magelang.