Artikel Oleh Ahmad Farihin, S. Ag*
Penyelenggaraan Pendidikan Agama Islam (PAI) di lembaga pendidikan formal sekarang ini banyak dikritik oleh masyarakat, karena PAI dinilai gagal dalam membentuk kepribadian dan moral siswa. Kejadian tawuran pelajar diIndonesia, berada pada tahap yang mengkhawatirkan, dan telah memakan korban jiwa para pelajar yang seharusnya menjadi penerus bangsa.
Di antara mereka bahkan melakukan penganiayaan hingga menewaskan lawannya dengan perasaantidak bersalah dan berdosa. Sementara itu kejadian seks di luar pernikahan juga telah menjadi trend di kalangan pelajar didorong oleh makin maraknya penyebaran kaset VCD, situs porno, dan penggunaan narkoba serta minuman alkohol. Realitas perilaku siswa sebagaimana fenomena di atas, nampaknya sangat kontradiksi dengan rumusan Tujuan Pendidikan Nasional sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 pasal 3 bahwa “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” Paradoks tersebut mengindikasikan bahwa fungsi pendidikan sebagai praktik pendidikan. Taksonomi pendidikan sebagai bingkai wilayah kepribadian manusia yakni membentuk sikap (affective domain), mengembangkan pengetahuan (cognitive domain), serta melatihkan keterampilan (psychomotoric domain), nampaknya belum menjadi domain yang utuh dalam tataran outcomes pendidikan. Bahkan dalam praktiknya, domain kognitif lebih dipentingkan dari pada domain yang lainnya. Seolah kepribadian manusia hanya berhubungan dengan kecerdasan otaknya, yang belakangan dikenal dengan IQ.
Dalam rentang waktu dan sejarah yang panjang, manusia pernah sangat mengagungkan kemampuan otak dan daya nalar (IQ). Kemampuan berfikir dianggap sebagai primadona. Potensi diri yang lain dimarginalkan. Pola pikir dan cara pandang yang demikian telah melahirkan manusia terdidik dengan otak yang cerdas tetapi sikap, perilaku dan pola hidup sangat kontras dengan kemampuan intelektualnya. Banyak orang yang cerdas secara akademik tetapi gagal dalam pekerjaan dan kehidupan sosialnya. Mereka memiliki kepribadian yang terbelah (split personality). Di mana tidak terjadi integrasi antara otak dan hati. Kondisi tersebut pada gilirannya menimbulkan krisis multi dimensi yang sangat memprihatinkan.
Wajar jika para orang tua berharap banyak terhadap PAI, karena dengan pemahaman terhadap PAI, siswa diharapkan akan mampu untuk mengamalkan ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari. Pengamalan ini bisa diwujudkan dengan perilaku-perilaku Islami yang diajarkan dalam agama Islam. Dengan demikian kepribadian Islami akan terbentuk dan angka kenakalan remaja bisa terentaskan.
Kecerdasan emosional dan spiritual / Emotional Spiritual Quotient (ESQ) sebagai salah satu sebuah jawaban dalam mengentaskan kelemahan dalam pendidikan agama Islam. ESQ berangkat dari sebuah persoalan yang berkembang dalam nalar manusia. Bahwa kesuksesan tidak bisa diukur dari kecerdasan intelektual belaka. Tetapi masih banyak kecerdasan lain sebagaimana kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Selama ini berkembang pemikiran bahwa ukuran keberhasilan seseorang hanya dilihat dari IQ belaka, sehingga tidak heran banyak manusia yang pandai tetapi tidak bermoral. Banyak orang pandai tetapi tidak sukses dalam menjalani kehidupan.
Anehnya, konsep demikian telah sekian tahun menjalar dalam orientasi pendidikan. Ukuran keberhasilan diukur dari angka-angka yang siswa dapatkan dari bangku sekolah. Sehingga tidak heran jika siswa dalam belajar hanya berorientasi mengejar angka. Siswa kurang memperdulikan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi mereka lebih memilih bisa menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan yang mampu mendatangkan angka.
Dari kasus ini, maka pendidikan yang dihasilkan tidak bisa sebagaimana diharapkan. PAI menjadi kering. PAI yang kaya akan nilai, menjadi sebentuk formalitas belaka. PAI akhirnya tidak mampu untuk menyentuh dunia remaja yang penuh dengan gejolak kejiwaan, padahal mereka membutuhkan tempat untuk me-ngerem gejolak-gejolak tersebut.
ESQ berusaha menggabungkan antara kecerdasan IQ, EQ dan SQ dalam bentuk integrasi yang utuh. IQ bisa dicapai dari pelajaran yang selama ini berkembang. Sedangkan EQ yang dimaksudkan adalah kecerdasan di dalam memahami perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain. Orang yang mampu menahan emosi seperti marah, dendam, iri, tamak dan lain sebagainya adalah salah satu contoh manusia yang cerdas secara emosi. Sedangkan pada kecerdasan spiritual (SQ), dipusatkan untuk memunculkan perasaan kasih sayang, cinta, keindahan, keadilan, kejujuran dan lain sebagainya. Nilai-nilai itu, hampir di seluruh masyarakat dunia merindukannya karena nilai-nilai itu tidak dibentuk oleh lingkungan sebagaimana dikatakan oleh para ilmuwan behavior, tetapi ia sudah built in dalam hati setiap manusia.
Bahwasanya untuk meningkatkan kualitas pendidikan dipandang perlu untuk mengedapankan nilai-nilai emosional, yang sinergis dengan nilai-nilai spiritual. Dengan suatu harapan, terbentuknya sumber daya insani yang berkualitas dan bermakna bagi diri siswa, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Dalam dunia pendidikan dalam proses belajar mengajar guru harus menyeimbangkan antara EQ dan SQ untuk mencapai keberhasilan tujuan pendidikan. Bagi siswa yang memiliki kecerdasan emosional tergolong rendah tidak perlu minder, karena siswa tersebut bisa mengembangkan/meningkatkan kecerdasan emosional untuk meraih keberhasilan dengan cara melatih kemampuan-kemampuan yang terkait dengan kecerdasan tersebut.
Dengan drmikian, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual mempunyai andil yang cukup besar terhadap keberhasilan prestasi belajar siswa sehingga sudah menjadi keharusan bagi tenaga pendidik untuk selalu memperhatikan dan meningkatkan kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual guna mendongkrak prestasi belajar anak didiknya tanpa melupakan faktor-faktor lain yang juga berhubungan dengan prestasi siswa.
*Penulis tinggal di Pemalang Jateng (Alumni MASS Aliyah Tebuireng 1992)