YAI KA’ ITU SOSOK “MURABBI”
Ya, murabbi, pendidik. Inilah sebutan yang paling tepat bagi Yai Ka’, bukan sekedar “mu’allim”, pengajar. Berbeda jauh pengertian dua istilah itu, murabbi dan mu’allim. Murrabi, di antaranya mencakup varian mengajar, namun menyertakan pula aktivitas merubah perilaku melalui pemberian keteladanan dalam ruang dan waktu yang tak dibatasi kelas dan momentum tertentu.
Yai Ka’ tak melulu mengajar baik di kelas secara formal maupun membaca al-Kutub al-Shafra’ dalam kategori pengajaran non formal, melakukan transfer of knowledge sebagaimana seorang pengajar, mu’allim. Melainkan, minute to minute, Yai Ka’ mengajak santri santrinya tak melulu berkutat kepada penguasaan ilmu dan menjadikannya sebagai konsumsi kognitif. Yang tak kalah penting–meminjam terminologi Bloom–santri mesti dipersuasi agar ilmu yang diperoleh berhenti di domain kognitif, mesti dihayati dan diamalkan. Ilmu yang ditransfer kepada santri seharusnya menghunjam pada arasy afektif dan berujung pada psikomotorik alias dihayati dan diamalkan. Di situlah, peran murabbi dan pentingnya pendidik memberikan keteladanan.
Selaku murabbi, Yai Ka’ telah memainkan perannya dengan sempurna. Kendati, Naquib al-Attas mengungkapkan yang lebih tepat justru mengenakan istilah “muaddib”, karena menganggap bahwa murabbi yang dimaknai pendidik itu mengandung pengertian yang sangat umum. Ya, al-Ta’lim, al-Tarbiyah dan al-Ta’dib, menjadi perdebatan pemikir pendidikan Islam seperti al-Nahlawi, Naquib al-Attas dan Jalal. Bahkan, ketika Konferensi Dunia Tentang Pendidikan Islam 1977 di Mekkah. Selebihnya, menjadi mu’allim atau pengajar itu relatif mudah tetapi ditahbiskan selaku murabbi atau pendidik itu tidak gampang. Yai Ka’ meraih nilai cumlaude sebagai murabbi. Allah a’lam bi al-shawab. (cholidy ibhar, alumni Tebuireng, dosen IAINU kebumen)