Sumber gambar: freepik.com

Ulumul Qur’an telah menjadi nama bagi suatu disiplin ilmu dalam kajian Islam. Secara bahasa, ungkapan ini berarti ilmu-ilmu Al-Qur’an. Kata “Ulum” yang disandarkan kepada kata “Al-Qur’an” telah memberikan pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sebuah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari segi pemahamannya terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, Ilmu Tafsir, Ilmu Qiraat, Ilmu Rasmil Qur’an, Ilmu Ijazil Qur’an, Ilmu Asbabun Nuzul, dan ilmu-ilmu yang ada kaitannya dengan Al-Qur’an menjadi bagian dari Ulumul Qur’an. Al-Qur’an adalah pedoman hidup bagi manusia yang menghendaki kebahagiaan, baik di dunia terlebih kehidupan di akhirat. Seluruh ajaran Islam pada prinsipnya telah tertuang dalam kitab suci ini. Isinya sangat universal, sesuai untuk segala masa dan tempat.

Secara etimologis Ulumul Qur’an merupakan gabungan dari dua kata bahasa Arab “Ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata ulum bentuk jamak dari ‘ilm yang merupakan bentuk masdhar dari kata “‘alima”, “ya’lamu” yang berarti mengetahui. Ungkapan Ulumul Qur’an berasal dari Bahasa Arab, yaitu dari kata Ulum dan Al-Qur’an. Kata ulum merupakan bentuk jamak dari kata ilmu. Ilmu yang dimaksud disini,  adalah sejumlah materi pembahasan yang dibatasi kesatuan tema atau tujuan.

Adapun Al-Qur’an, adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. yang lafal-lafalnya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai nilai ibadah, diturunkan secara mutawatir, dan ditulis pada mushaf, mulai dari awal surat al-Fatihah (1) sampai An-Nās (114). Dengan demikian, secara bahasa, Ulumul Qur’an adalah ilmu (pembahasan) yang berkaitan dengan Al-Qur’an.

Dalam kitab Al-Itqan fii ‘Ulum Al-Qur’an halaman pertama, karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi asy-Syafi’i (849 – 911 w) memberikan ulasan sebagai berikut: “Maka sesungguhnya ilmu itu lautan yang bergelombang besar, tidak akan mengetahuinya bilamana tinggal diam,  barangsiapa menempuh jalan untuk mengadakan penelitian, maka tidak akan sampai menempuhnya secara sempurna dan menyeluruh. Hal ini memberikan gambaran betapa luasnya kandungan ayat suci Al-Qur’an, di mana yang dapat dipahami oleh manusia hanya sedikit. Beliau Imam As-Suyuthi menukil Al-Qur’an surah Al-Isra’/17 ayat 85:

….وَمَآ أُوتِيتُم مِّنَ ٱلۡعِلۡمِ إِلَّا قَلِيلٗا 

“…Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Bilamana kita renungkan di dalam kitab Al-Itqan Fii ‘Ulum Al-Qur’an tersebut memuat 80 cabang ilmu Al-Qur’an, mulai dari ma’rifah Al-Makki wa Al-Madani (pengetahuan terkait ayat Al-Qur’an yang diturunkan di Mekah dan Madinah, mengetahui awal dan akhir ayat Al-Qur’an yang diturunkan, mengetahui sababun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat), sampai terakhir terkait tingkatan para Al-Mufasiriin atau para ahli tafsir, di mana yang populer dikalangan para sahabat terdapat 10 orang, al-Khulafa’ Al-Arba’ah (Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar Ibnu Al-Khaththab, Usman Ibnu Affan, Ali bin Abi Thalib), Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair, (As-Suyuthi, 187: Jilid 2, TT).  

Dalam kitab Mabaahis fii ‘Uluum Al-Qur’an karya Manna’ Khalil Al-Qaththaan, diberikan informasi berikut: “Al-Qur’an Al-Karim adalah mukjizat Islam yang abadi di mana semakin maju ilmu pengetahuan, semakin tampak validitas kemukjizatannya. Allah SWT menurunkannya kepada Nabi Muhammad SAW, demi membebaskan manusia dari berbagai kegelapan hidup menuju cahaya Ilahi, dan membimbing mereka ke jalan yang lurus. Rasulullah SAW menyampaikannya kepada para sahabatnya – sebagai penduduk asli Arab – yang sudah tentu dapat memahami tabiat mereka. Jika terdapat sesuatu yang kurang jelas bagi mereka tentang ayat-ayat yang mereka terima, mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah SAW”. (Al-Qaththan, 1 : 2007).

Baca Juga: Membaca Tafsir Berdasarkan Tema Pokok Al-Quran

Dalam kitab At-Tibyaan Fii ‘Uluum Al-Qur’an karya Asy-Syekh ‘Ali Ash-Shabuni diberikan informasi sebagai berikut: “’Uluum Al-Qur’an adalah pembahasan yang berkaitan erat dengan Al-Qur’an Al-Majid yang bersifat kekal, mulai dari An-Nuzuul (turunnya Al-Qur’an), Al-Jam’ (pengumpulan Al-Qur’an), At-Tartiib (tertib penyusunan dalam mushhaf), At-Tadwiin (pembukuan dalam mushhaf), ma’rifah asbaab An-Nuzuul (mengetahui sebab turunnya ayat Al-Qur’an), mengetahui ayat Al-Qur’an yang diturunkan di Mekah dan Madinah, mengetahui An-Naasikh wa Al-Mansyukh (menghapus dan yang dihapus), mengetahui Al-Muhkam wa Al-Muatsaabih (yang jelas dan kurang jelas), dan yang lainnya yang merupakan pembahasan yang sangat luas yang berkaitan erat dengan Al-Qur’an Al-‘Adhim”. (Asha-Shabuni, 10: 2016).   

Informasi dari beberapa kitab di atas, memberikan gambaran betapa luasnya pembahasan terkait dengan ‘Ulum Al-Qur’an atau ilmu-ilmu Al-Qur’an. Termasuk  dalam hal ini, Muhammad Quraish Shihab dalam karyanya “Wawasan Al-Qur’an” beliau memberikan ulasan – tiada bacaan seperti Al-Qur’an yang dipelajari bukan hanya susunan redaksi dan pemilihan kosakatanya, tetapi juga kandungannya yang tersurat, tersirat bahkan sampai kepada kesan yang ditimbulkannya. Semua dituangkan dalam jutaan jilid buku, generasi demi generasi. Kemudian apa yang dituangkan dari sumber yang tak pernah kering itu, berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kemampuan dan kecenderungan mereka, namun semua mengandung kebenaran. Al-Qur’an layaknya sebuah permata yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing”. (Shihab, 3: 2003).

Memahami Hakikat Al-Qur’an Hudal Lil Muttaqin dan Hudal Linnas

Kitab suci Al-Qur’an merupakan petunjuk khusus bagi kehidupan orang-orang yang bertakwa dan manusia yang lainnya, walaupun yang mengambil hakikat manfaat kehadiran kitab suci Al-Qur’an hanyalah orang-orang yang bertakwa. Di mana orang-orang yang bertakwa dalam mengisi kehidupan hariannya, selalu dihiasi dengan kitab suci Al-Qur’an. kitab suci Al-Qur’annya dibaca, dipahami, direnungkan dam tuntunannya diamalkan dalam kehidupan nyata.

Sebelum membedah secara luas terkait dengan “’Ulumul Qur’an atau ilmu-ilmu Al-Qur’an”, penting untuk dipahami dengan baik terkait ‘Hidayah – petunjuk’, yang selalu dimohonkan oleh umat Islam setiap harinya minimal 17 kali pada surah Al-Fatihah/1 ayat 6 – ihdinaa ash-Shiraath Al-Mustaqiim –tunjukilah kami ke jalan yang lurus– yaitu zidna hidayah -permohonan tambahan petunjuk.

Wahbah Mushthafa Az-Zuhaili dalam karya monumentalnya “At-Tafsiir Al-Muniir” membagi hidayah atau petunjuk menjadi lima bagian, yaitu:

  1. Hidayah (petunjuk) tingkat pertama adalah anugerah Allah SWT yang berbentuk naluri (hidaayah al-Ilhaam al-Fithri) yang diperoleh sejak kelahiran. Tangis seorang bayi sebelum matanya terbuka. Kemampuan menangis merupakan anugerah Allah SWT kepadanya untuk dijadikan petunjuk sehingga orang-orang di sekelilingnya mengetahui bahwa ia ada dan hidup serta membutuhkan pertolongan. Karena tangisan ini badannya dibersihkan, ia disusukan, dipeluk dan digendong. Agaknya sebelum menangis, sang bayi merasakan sesuatu – misalnya lapar atau dingin – dan ketika itu ia ingin menyampaikan hal tersebut kepada orang lain (ibunya), maka Allah SWT menunjukkan kepadanya suatu cara untuk menyampaikan maksudnya, cara tersebut adalah menangis. Dan begitu dia menangis, sang ibu menyodorkan kepadanya air susu. Karena itu sekali lagi Allah SWT memberikan petunjuk kepada sang bayi untuk mengisap agar apa yang dikehendakinya, yakni menghilangkan rasa lapar, terpenuhi.
  2. Hidayah (petunjuk) kedua adalah pancaindera/hidaayah al-Hawaas. Petunjuk tingkat pertama (naluri/ hidaayah al-Ilhaam al-Fithri) terbatas pada penciptaan dorongan untuk mencari hal-hal yang dibutuhkan. Ia tidak mampu mencapai apa pun yang berada di “luar” tubuh pemilik naluri itu. Nah, pada saat kebutuhannya untuk mencapai sesuatu yang berada di “luar”, sekali lagi manusia membutuhkan petunjuk yang melebihi petunjuk naluri. Dan kali ini Allah SWT menganugerahkan petunjuk-Nya para peringkat kedua, yaitu pancaindera. Mata memandang, tangan meraba, hidung mencium, telinga mendengar, lidah merasa, dan mulailah terjadi kontak dengan dunia luar melalui kelima indera tersebut, Allah SWT yang menganugerahkan kemampuan ini kepada manusia, dalam tingkat yang berbeda-beda, sehingga ada orang yang memiliki kemampuan mendengar, melihat, merasa, mencium dan memandang melebihi kemampuan orang lain.
  3. Hidayah/petunjuk ketiga adalah hidaayah al-Aqal/akal. Hidayah akal mempunyai fungsi untuk mengkordinasikan semua informasi yang diperoleh oleh indera, kemudian membuat kesimpulan-kesimpulan yang sedikit banyak berbeda dengan hasil informasi tersebut. Akal di sini berperan setelah pancaindera mencapai batasnya. Akal membuka bagi manusia cakrawala baru yang tidak diperolehnya sebelum itu. Akal pun ternyata kemampuannya terbatas, hanya berfungsi dalam batas-batas tertentu dan ia tidak mampu menuntun manusia ke luar jangkauan alam fisik ini. Bidang operasinya adalah bidang alam nyata, dan kadang dalam bidang ini pun manusia terpedaya oleh kesimpulan-kesimpulan akal, sehingga ia tidak merupakan jaminan bagi seluruh kebenaran yang didambakan.
  4. Hidayah ad-Diin/petunjuk agama, yaitu hidayah atau petunjuk yang tertuang dalam kitab suci Al-Qur’an, yang merupakan mukjizat terbesar Nabi Muhammad SAW, yang kemudian diwariskan kepada umat Islam, dari satu generasi ke generasi berikutnya, mulai dari generasi para sahabat, tabi’in, tabi’in tabi’in sampailah saat ini generasi kita. Dengan hidayah keempat ini manusia dapat memahami lebih luas lagi terkait hakikat kehidupan manusia, yaitu berusaha mengisi kehidupannya beribadah kepada Allah SWT dengan mengikuti tuntunan baginda Nabi Muhammad SAW. Sedikit renungan sebuah keprihatinan bahwa yang mengambil hidayah keempat itu jumlahnya tidak banyak, hal ini dibuktikan dengan adanya informasi diberbagai jurnal bahwa umat Islam Indonesia 65 % buta huruf, 25 % terbata-bata, hanya 10 % yang mampu membaca Al-Qur’an secara baik dan benar. Nah, dari 10 % berapa yang memahami kandungan dan mengamalkan Al-Qur’an dalam kehidupan. Mereka itulah yang bagian 10 % memanfaatkan hidayah yang kelima berikut.  
  5. Hidayah al-Ma’unah wa at-Taufiq lissairi fii thariiq al-Khair wa an-Najaah hidayah pertolongan dan taufik untuk memperoleh jalan kebaikan dan keselamatan/kesuksesan. Di mana hidayah kelima ini merupakan aplikasi empat hidayah sebelumnya.

Hidayah kelima merupakan hidayah yang setiap hari umat Islam selalu memohon hidayah atau petunjuk menuju jalan yang lurus, yang dimohonkan pada surah Al-Fatihah/1 ayat 6, yaitu permohonan tambahan petunjuk/zidna hidayah. Dalam hal ini dapat dipahami bahwa maksud permohonan tersebut agar kita betul-betul mampu menghiasi diri kita menuju jalan yang lurus, jalan yang diridhai Allah SWT., di mana aplikasinya semakin rajin melakukan ibadah dengan sebuah konsep sederhana Sha Dzi BA Sha Amah (Shalat Dzikir Baca Al-Qur’an Shadaqah dan akhlak atau budi pekerti yang baik dan mulia) dan terus menambah wawasan keilmuan setiap waktunya, yang digali dari sumber utamanya kitab suci Al-Qur’an dan mengikuti sunnah Nabi Muhammad Saw.

Kemudian yang paling mengagumkan adalah secara kauniyah kitab suci Al-Qur’an yang diturunkan di Mekah dan Madinah, 70 % lebih terdapat di Indonesia, hal ini menunjukkan bahwa anugerah yang diberikan Allah SWT kepada bangsa Indonesia melebihi bangsa-bangsa yang lain.



Penulis: Dr. H. Otong Surasman, MA., Dosen Tetap Pascasarjana Universitas PTIQ Jakarta