ittaqiOleh: Ittaqi Hayatin Nufus*

Mendaur Ulang Pendidikan Islam
 
Pendidikan merupakan konsep yang tidak ada habisnya dibahas dan dikaji lebih dalam. Berbagai macam ide, wacana, dan gagasan tentang hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan menjadi suatu objek kajian yang menarik bagi para ahli untuk meneliti dan mengembangkannya. Dari beberapa kajian tersebut munculah konsep-konsep pendidikan yang mempunyai landasan pemikirannya masing-masing.
 
Cikal bakal berdirinya negara ini adalah dimana masing-masing suku bersatu, beragam suku dan agama bersatu tanpa paksaan dan membentuk negara kesatuan. Setiap hari kita mendengar dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia raya, disana dikatakan “marilah kita berseru Indonesia bersatu”. Jadi kita diserukan untuk bersatu karena kita rawan untuk terpecah belah, baik tanpa paksaan ataupun karena dipaksa orang lain. Jadi betapa pentingnya persatuan dan kesatuan itu dan betapa pentingnya wawasan kebangsaan nasional Indonesia.([1])
 
Pendidikan dapat menjadi wadah bagi kebebasan berfikir mutlak, guna mempribumisasikan nilai-nilai Islam. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi SAW.
حدثنا محمود بن غيلان، حدثنا أبو أسامة، عن الاعمش عن أبي صالح, عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له طريقا إلى الجنة.
Mahmud bin Ghailan menceritakan kepada kami, Abu Usamah memberitahukan kepada kami, dari al-A’masy dari Abi Shalih, dari Abi Hurairah berkata : Rasulullah SAW. bersabda : Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan baginya jalan menuju surga”. ([2])
 
Seperti halnya pemikiran Abdurrahman Wahid pada  dunia pendidikan beliau melihat seyogyanya pendidikan Islam mampu memberikan pembelajaran yang membebaskan manusia dari belenggu-belenggu tradisionalis. Kemudian ingin didaur ulang dengan melihat pemikiran kritis yang terlahir oleh Barat yang modern. Dengan demikian, akan memunculkan term pembebasan dalam pendidikan Islam dalam koridor ajaran Islam yang harus dipahami secara komperhensif, bukan pemahaman yang parsial. ([3])
 
Abdurrahman Wahid menginginkan agar pendidikan Islam disamping mampu membuat peserta didik mahir dalam ilmu agama, juga mampu mencetak manusia yang memiliki keahlian dalam ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang berguna bagi umat manusia.
 
Mengintegrasi Pendidikan Islam dan Pendidikan Lokal
 
Abdurrahman Wahid memandang perlunya sikap percaya diri dari individu atas kulturnya masing-masing. Dalam contoh ini, ia menawarkan solusi yang sering dinamakan Pribumisasi Islam, yaitu bagaimana mengintegrasikan Islam dengan budaya lokal, ataupun pendidikan Islam dengan pendidikan lokal. Dari pengertian ini munculah sikap inklusif, plural multikultural terhadap individu. Sikap yang demikian merupakan solusi dalam perwujudan masyarakat Indonesia yang multikulturalisme, sehingga tindakan rasisme, separatis, maupun konflik-konflik SARA lainnya tidak terjadi lagi.([4])
 
Karakteristik di atas bisa disimpulkan bahwa masyarakat multikultural merupakan masyarakat yang labil. Walaupun ada simbol perdamaian, namun perdamaian tersebut masih berkonotasi negatif. Hal seperti itu dibuktikan dengan banyaknya konflik antar suku, ras, agama terus bermunculan dewasa ini, baik dalam masalah ideologi, politik, bahkan dalam pendidikan.
 
Islam menggambarkan bahwa budaya ialah media yang membedakan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya seperti yang tersirat dalam al-Qur’an Surat al Hujarat: 13:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal“. (QS. Al Hujarat: 13).([5])
 
Dalam Ayat di atas tersirat berbagai makna menurut penulis yakni Allah telah menjadikan manusia berbagai macam bentuk serta identitas yang membedakan antara satu dengan lainnya. Namun perbedan tersebut merupakan kesatuan tunggal yakni sebagai makhluk Allah SWT., hanya yang membedakan bagaimana suatu suku atau bangsa satu dengan bangsa lainnya, memperoleh derajat ketaqwaan atau kemuliaan di hadapan Allah SAW.
 
Selayaknya pemilihan Abdurrahman Wahid atas kebudayaan sebagai identitas kultural, dengan kebudayan sebagai human social life (kehidupan sosial manusiawi). Sebagai identitas kultur, budaya merupakan penyimpanan Weltanschauung sebuah masyarakat yang terjaga di dalam tradisi. Tradisi inilah pada satu titik tercitra dalam karya artistik sehigga karya seni tersebut mewakili pandangan dunia sebuah masyarakat. Hubungan Islam dengan budaya sebagai identitas kultural (antropologis) ini terlihat pada definisi pribumisasi Islam dalam konteks kulturisasi Islam dan akomodasi Islam atas adat (al-‘adah muhakkamah). Mengapa? Karena Islam menyadari dan menghargai identitas budaya yang terjaga dalam tradisi, adat, kesenian, dan gaya arsitektur tempat ibadah masyarakat.([6])
 
Pendidikan Islam Multikultural dan Pribumisasi Islam
 
Beliau asli Indonesia (pribumi) yang konsen dengan gagasan pendidikan Islam dan pembaruannya. Tokoh yang banyak melahirkan karya dan memberikan kontribusi bagi pembaruan pemikiran keislaman Indonesia. Tokoh yang satu ini membuat perhatian penulis untuk melakukan kajian pemikiran yang terkait dengan pendidikan Islam multikultural. Pembaruan Islam yang digagas oleh Abdurrahman Wahid justru berangkat dari gerakan kultur dalam basis Islam tradisional.
 
عن امير المؤمنين أبي حفص عمربن الخطاب رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : إنمالاعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى. فمن كانت هجرته الى الله ورسوله فهجرته الى الله ورسوله، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أوامرأة ينكحها فهجرته إلى ما ها جر إليه. )[7
“Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya syah tidaknya setiap  perbuatan itu tergantung niatnya.  Dan  sesungguhnya  setiap  orang  (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan”. ([8])
 
Hadits di atas menafsirkan tentang kesesuaian bahwa sosok Abdurrahman Wahid adalah seorang dengan berkepribadian ganda dan multi-talenta dalam berbagai bidang (multidisipliner), hal inilah yang melandasi penulis untuk mengamati dan mengkaji pemikirannya dalam bidang yang lain, yakni pendidikan. Beliau adalah salah satu tokoh pendidikan dan juga guru bangsa yang banyak berpengaruh dan berkontribusi di Indonesia.
 
Karenanya, dalam melakukan modernisasi atas konsep pendidikan, haruslah diketahui aspek-aspek budaya orang Barat, hasilnya adalah kita akan kehilangan sesuatu yang besar tentang konsep budaya kita sendiri di masa lampau. Konsep inilah yang memebentuk pandangan hidup generasi lampau dan generasi sekarang dari bangsa kita yang sadar. Konsep budaya barat yang materialistik, karena ukuran-ukuran yang digunakan hanya didasarkan pada capaian materialistik dari filsafat positifisme yang dibawakan oleh tokoh pendidikan Amerika Serikat, John Dewey, jelas menunjukkan adanya hal ini. Dua konsep budaya atau pendidikan tersebut menunjukkan kepada kita perkembangan yang tidak simetris dalam proses modernisasi.([9])
 
Upaya mewujudkan pendidikan sebagai sarana untuk melindungi akal menjadi wajib dilakukan, karena ini merupakan salah satu bentuk Pribumisasi Islam. Dengan cara yang demokratis, semua bisa ikut serta menghargai pendapat orang lain dan melihat perbedaan sebagai kemajuan. Terutama dalam mengembangkan kemajuan dalam perkembangan pendidikan Islam multikutural.
_
*Mahasiswi Semester VIII Prodi Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah Universitas Hasyim Asy’ari dan aktif di Komunitas Penulis Muda Tebuireng, Sanggar Kepoedang.

[1] Khariri makmun, Penguatan ASWAJA (Jakarta: BNPT, 2014), hal. 16
[2] Moh. Zuhri. Terjemah Sunan At-Tirmidzi Juz IV (Semarang: CV Asy-syifa’, 1992), 274.
[3] Faisol, Gus Dur dan Pendidikan Islam “Upaya Menegmbalikan Esensi pendidikan di Era Global” (Yogyakarta: ar-ruz Media, 2011), hal. 88
[4] Abdurrahman wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita (Jakarta: The wahid Institut, 2006), hal.223
[5] The Qur’an Word, QS. Al Hujarat : 13
[6] Syaiful Arif, Humanisme Gus Dur (yogyakarta:ar Ruzz media 2013), hal. 107-108
[7] Syekh Islam Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syarf An-nawawi. Riyadhussholihin (Surabaya: Darul Abisdin, 2005), 6.
[8] Salim Bahreisj. Terjemah Riyadhussholihin (Bandung: PT Alma’arif, 1986), 11.
[9] Imam M Azis, “Membaca sejarah Nusantara “ 25 Kolom Sejarah Gus Dur”, cet. I (yogyakarta: LkiS 2010), hal. 48-49
Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online