Oleh: Assyafiul Musyafa*

“Tong…tong, tong, tong, tong, tong, dung…, dung…”

“Tong…tong, tong, tong, tong, tong, dung…”.

Hari sudah sedikit gelap matahari sudah tak terlihat, begitu juga mega merah tak tampak sedikit -pun karena sore itu cuaca  mendung, tapi hujanpun urung turun. Bedug dan kentongan berbunyi, menandai waktu maghrib dimulai, adzan dari seorang santri lawas sudah berkumandang merdu mengiringi tabuh bedug tua yang masih kencang suaranya.

Santri-santri mulai bergegas dari kamar masing-masing, ada yang memakai kaos menenteng baju koko dan sajadahnya, ada yang sudah rapih berwangi misik, ada yang memakai koko, memasukan kancing sambil berjalan, ada juga santri baru, tampak dari cara bersarungnya yang lipatannya masih belum rapih. Yang jelas tujuan mereka sama, jamaah maghrib dengan Mbah Yai¹. Para santri berjejer mengumandangkan pujian sholawat badar dipandu seorang santri yang memegang mikrofon. Ada juga yang membaca al-Quran, disisi lain ada santri yang memegang nadhoman² sambil mulutnya komat-kamit seperi mambaca mantra.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

******

Kegiatan pondok pesantren dimanapun, pada umumnya dimulai sehabis sholat jamaah.

Rutinitas kegiatan bada maghrib adalah ngaji klasikal, sorogan jurmiyyah, tegesan, dan ngerab (Irob), seminggu sekali diselingi pengajian fiqih, ini kegiatan bagi santri lawas. Berbeda dengan santri baru, Ta’aruf menjadi kegiatan wajib sebelum mereka benar-benar menjalani kegiatan pondok seperti santri lawas yang lain. Taaruf merupakan kegiatan pengenalan tentang kegiatan dan tradisi pesantren, layaknya seperti Masa Orientasi Sekolah(MOS) pada tingkat pendidikan formal. Di dalamnya meliputi praktek ibadah sederhana, tartilan, fasholatan, doa-doa sehari-hari, pengenalan sejarah pesantren, yang tak lain semuanya bertujuan menujukan apa yang akan mereka kerjakan dan harus diperhatikan selama menjadi santri kelak.

*******

Seorang santri baru, Samsul namanya, ia baru dua hari dipondok, bahkan belum genap. Tak disangka saat orang tuanya pulang dari rutinitas pekerjaannya, ia dapati anaknya sudah di rumah, diceritakan tentang keluhan ketidakbetahannya di pondok. Orang tuanya pun menganggap   menjadi sebuah kewajaran bahwa setiap santri baru selalu mengelukan keadaan pondok pesantren, situasi baru  yang berbeda dengan situasi di rumah tentunya, memang yang ada di pondok adalah tidak ada makan enak dan seenaknya, tak ada nambah lauk, tak ada nambah nasi, semuanya sudah dijatah, tak ada tidur seenaknya, semua kegiatan sudah dijalankan sesuai jadwal yang ada, tak ada nonton TV seenaknya, yang ada TV hitam putih yang dinyalaka ketika seluruh kegiatan malam sudah selesai, sekitar jam sepuluh, itupun tak bisa ganti-ganti chanel sesuka kita, itu tergantung dari penjaga warung menuruti mayoritas santri. Bangun pagi tepat waktu, tak boleh ada jawaban “nanti Pak, Bu, masih ngantuk” yang ada jamaah subuh dilanjut pengajian al-Quran.

Tapi tak ada alasan sedikitpun dari Samsul sebagai pembelaan ketidakbetahannya di pondok pesantren, hal ini yang mengundang kecurigaan dari orang tuanya. yang jelas ia tak mau lagi mesantren tanpa alasan yang jelas.

“Sul, kenapa tidak betah,  bapakmu ini ingin tahu dulu alasannya?”

“Pokoknya Samsul tidak mau lagi mesantren Pak. Titik”

“Iya, tapi kalau ada alesannya, bapak ibu kan bisa cari solusi yang tepat, ini buat masa depanmu Sul!”

“Samsul tidak mau lagi mesantren.”

“Ya sudah, besok Kamu ke pondok sama bapak, kalau kamu benar-benar tidak jadi mesantren Kamu kan kesitunya sowan³, pulangnya juga Sowan.” rayu bapaknya.

“Kamu besok ikut ya.”

“Ndak Pak, Samsul dirumah saja”

Tak semudah itu bagi bapaknya melepas anaknya keluar dari pesantren, ia ingin menyelidiki dulu ke pihak pesantren alasan apa yang membuatnya tak betah di pondok. Pengurus Pondok Al-Anwar yang ia tanya terlebih dahulu tentang hal ini, ia berharap anaknya tetap bisa ngaji di pondok pesantren ini.

“Kang, saya ini Bapaknya Samsul.”

“Iya Pak, ada yang bisa kami bantu.”

“Gini, anak saya baru dua hari di pondok pesantren, tahu-tahu selepas saya kerja, dia sudah dirumah, ndak mau lagi balik ke pondok, tak tahu alasannya, yang jelas ia tak mau lagi balik kesini, sebenarnya ada apa?”

“Samsul siapa ya Pak, nama panjangnya, atau ciri-cirinya, soalnya baru dua hari, jadi kami belum begitu tahu tentangnya”sambil membuka buku administrasi penerimaan santri baru.

“Namanya Ahmad Samsul Huda, dari Cipari, umurnya 15 tahun, baru masuk SMA. Kulitnya sawo matang, tingginya kira-kira 165 cm, yang khas itu ada tahi lalat tak terlalu besar dibawah bibir, kalem anaknya, nggak banyak bicara.”

“Ohhh..tetangganya Kang Lutfi ya Pak?

“Iya-iya, kenapa?”

“Gini Pak, di Pondok Al-Anwar ini ada aturan tentang menabuh bedug, jadi kalau santri atau Mbah Yai sekalipun salah menabuh bedug, maka hukumannya diguyur air comberan atau diceburkan ke bak oleh santri-santri yang lain.”

“Dan kata Kang Lutfi, santri yang dihukum diguyur air comberan oleh santri-santri yang lain itu tetangganya, saya kira Samsul anaknya, ya saya yakin Samsul anaknya.”

“Konon, dari cerita yang saya dengar dari Kang Lutfi tak lama dari kejadian itu, katanya  sehabis kegiatan Taaruf bada maghrib, Samsul ketiduran sambil  duduk dimasjid, kemudian ada santri MTs yang membangunkannya, katanya didawuhi ketika lewat depan Ndalem untuk segera menabuh bedug, karena sudah masuk waktu Isya, kemudian karena anak MTs ini tidak berani ia membangunkan Samsul, santri yang dianggapnya sudah besar, tanpa ada keraguan ia menabuh bedug tanpa mengikuti aturan di pondok ini tentang menabuh bedug, sontak seluruh santri keluar kamar dan mengguyurnya ramai-ramai dengan air comberan.”

“Ohh, iya-iya, sepetinya ini masalahnya.”seperti sangat yakin telah menemukan teka-teki ketidakbetahan anaknya di pondok.

Setelah tahu alasan sebenarnya tentang ketidakbetahannya di Pondok Pesantren, dengan berbagai cara dan nasihat dari bapaknya, akhirnya Samsul kembali mau kembali ke Pondok Pesantren Al-Anwar, bahkan setelah ia lulus dari SMA, ia bertahan di pondok itu sampai menghatamkan Alfiyah, tak hanya itu, ia juga terkenal sebagai Abdi Ndalem yang ulet.

Berkah diguyur air comberan oleh santri-santri, menurutku.

“Tong…tong, tong, tong, tong, tong, dung…, dung…”

“Tong…tong, tong, tong, tong, tong, dung…”.

Mbah Yai¹, sama dengan Mbah Kiai

Nadhoman², Kitab kecil berisi kumpulan hafalan-hafalan kitab yang dipelajari.

Sowan³, Berkunjung atau silaturrahmi ke rumah Kiai.

Majenang, 26 Desember 2015.

 


*Santri Pondok Pesantren Pembangunan Miftahul Huda Cigaru 1 Majenang, Cilacap, Jawa Tengah.