Foto: Istimewa

Tebuireng.online- Guna mengetahui lebih dalam mengenai keberagaman alam dan budaya Indonesia, beberapa pemuda Kabupaten Jombang mengadakan nonton film tentang kehidupan Suku Bajo di Nest Coffe Jombang, Sabtu malam (25/01/2020).

Suku Bajau sebagaimana akrab panggilan mereka, adalah sebuah suku yang lebih memilih menghabiskan waktu kehidupannya di atas kapal pada luasnya lautan. Mereka melakukan kegiatan seperti mencari nafkah, memasak, tidur hingga melahirkan, semuanya di atas kapal. Terpaan angin malam dan sengatan panas terik adalah hal yang biasa mereka temui. Dan mereka sanggup melewati itu semua.

Film yang berdurasi 1 jam lebih 20 menit tersebut menceritakan masyarakat Marombo Provinsi Gorontalo yang memilih kehidupan di atas perahu dan di tengah lautan, dikarenakan terdapat tambang-tambang yang mengelilingi permukiman mereka. Mereka harus membayar kapal sewaan tersebut sebesar 600 ribu rupiah setiap bulannya.

Selain nonton bersama, acara dilanjut dengan diskusi ringan mengenai makna dan nilai yang terkandung pada film tersebut. Diskusi dimoderatori oleh Fitri Hamidah selaku Aktivis Lingkungan.

“Dua hal yang bisa saya serap dari film Suku Bajau tersebut ialah cara bertahan hidup di atas perahu dan hidup di atas rumah panggung yang dikelilingi oleh perusahaan tambang di sekitarnya” ungkap Mas Ali Mustadjib selaku narasumber pada dikusi pada  acara tersebut.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ia juga menambahkan, bahwasanya sebanyak 500 penduduk Suku Bajau ditahan oleh aparat keamanan dikarenakan tidak memiliki kartu keteranggan kewarganegaraan. Semoga adanya film ini menyadarkan ke pemerintahan kita untuk dapat memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi penduduknya.

Eko Wahyu Prasteyo, salah satu nara sumber pada acara tersebut juga menyebut, “Bahwasanya, dalam film tersebut kita melihat aktivitas pertambangan yang ada dan beroperasi di sekitar Suku Bajau. Dampak yang dihasilkan ialah pencemaran lingkungan laut dan bahkan penyebab rusaknya habitat ekosistem laut. Sangat disayangkan sekali bila lautan yang sedemikian indah di cemari oleh kerakusan tangan-tangan penguasa yang kelak tidak bertanggung jawab atas perbuatannya,” ucapnya.

“Iya, saya tahu bahwasanya dalam proses pembangunan sebuah tambang harus melalui Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL), tapi hal tersebut jutru terdapat kongkalikong antara pengusaha dan pemerintah untuk dapat memperoleh izin berkepanjangan,” imbuh pria yang telah lama menjadi aktivis lingkungan ini.

Di akhir acara, panitia menggalang dana. Dana tersebut akan disalurkan langsung kepada Suku Bajau untuk dapat meringankan beban keseharian mereka.

Pewarta: Dimas