Ilustrasi: www.google.com

Oleh: Umdatul Fadhilah*

Matahari tepat berada di atas ubun-ubunku. Tidak salah lagi, jam tanganku menunjukkan pukul dua belas siang. Segera aku meraih sesuatu yang ada di dalam tas selempang yang kubawa. Kacamata hitam. Aku pakai kemudian mengibaskan rambut ikalku yang panjang. Ponselku tiba-tiba berdering. Aku pun segera mengangkat.

“Keyla! Di mana kau ini, Ibu sudah menunggumu lama sekali. Sebentar lagi Bapak pulang kerja. Kalau cabainya belum datang juga bagaimana Ibu akan membuat sambal!” seru Ibu dengan nada tinggi.

Aku tak menjawabnya. Kututup segera ponselku. Terdengar kurang ajar bukan? Aku lupa, aku kan disuruh pulang sebelum jam dua belas siang, dan membeli cabai di pasar dekat alun-alun. Yang jika jam-jam ini terik matahari begitu menyengat.

****

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Namaku Keyla Anindya Aminarti. Cukup panggil aku Keyla. Usiaku tujuh belas tahun. Tetapi tahun ini aku akan lulus dari SMA. Senang rasanya semakin dekat dengan cita-cita. Tapi aku sedikit kecewa. Aku tak lolos verifikasi jalur undangan.

Mengapa ini terjadi di tahunku? Mengapa kuota pendaftaran menjadi hanya 75 %? Mengapa dan mengapa? Pemerintah tega sekali padaku. Padahal aku tak berharap jika harus di terima melalui jalur undangan. Tapi setidaknya aku mendaftar bukan? Batinku.

Memang bukan salah pemerintah. Ini adalah salahku. Dan mungkin belum rezekinya. Aku terlalu santai dan banyak membuang waktu hanya untuk bermain dan bersenang-senang. Sehingga tidak memikirkan nilai raport. Juga tidak memikirkan akan melanjutkan kemana setelah lulus dari SMA. Aku sangat menyesal. Aku telah  mengecewakan kedua orang tuaku, padahal mereka kerja banting tulang demi membiayai sekolahku yang tidak sedikit mengeluarkan biaya.

Sebenarnya aku bukan orang kaya. Hanya gayaku saja yang selalu terlihat modis. Tapi itu semua bukan karena aku ingin terlihat kaya. Tidak, Bukan begitu. Aku hanya ingin berpenampilan rapi dan menarik. Lagipula aku membeli barang-barang itu dengan uang saku yang ku tabung. Setidaknya walau tidak melalui jalur undangan itu, masih ada jalur lain menuju universitas impian. Rasa sakit ini membuatku bangkit. Menyadari semua kesalahanku yang lalu. Aku pun berniat untuk memperbaiki semuanya dan berjanji pada diri-sendiri akan bersungguh-sungguh meraih cita-cita serta mebahagiakan kedua orangtuaku.

Namun kuteringat sesuatu. Menengok ke belakang. Mungkin Allah tidak ingin aku diterima di universitas dengan menggunakan nilai raport, karena nilai itu tidak murni hasilku sendiri. Aku sering mencontek. Jadi bukan murni usahaku sendiri. Aku pun kembali semangat. Masih banyak jalur yang bisa ku ikuti. Dan tentunya dengan cara yang halal. Menggunakan kejujuran dan kemampuan sendiri. Perlu diketahui. Aku sudah mulai berubah sejak tryout kedua, hingga UN pun aku benar-benar murni mengerjakannya sendiri. Tak peduli hasilnya berapa.

Tepat setengah satu aku kembali ke rumah. Membawa sebungkus cabai merah yang dipesan Ibu. “Kemana saja kau ini!” bentak Ibu. Aku hanya menunduk  dan bilang minta maaf. “Sekarang pergilah ke kamar, bersih-bersih lekas itu makan. Ibu dan Bapak menunggumu di ruang tengah,” tukas Ibu dengan lembut.

Ibu memang begitu. Jika marah akan sangat marah, namun lepas itu langsung baik lagi. Ibu sangat menyayangiku. Karena aku anak semata wayang. Hanya aku satu-satunya harapan untuk mewujudkan impian mereka. Bahagia dimasa tua.

Suara piring terdengar nyaring di ruang tengah. Kami bertiga seperti biasa menyantap makan siang. Bapak berbincang-bincang dengan Ibu membahas tentang sawah yang di kelolanya. Aku tidak tertarik untuk mendengarkannya. Memilih diam dan menikmati makanan.

“Keyla, sebaiknya kau tak usah kuliah. Lebih baik membantu Bapak mengurus sawah. Lagi pula Bapak belum tentu bisa membiayai kuliahmu. Untuk membayar uang bulanan sekolahmu saja Bapak pernah sampai berhutang,” pinta Bapak kepadaku.

Aku diam sejenak. Mencerna apa yang Bapak katakan. “Tapi pak, masalah biaya aku bisa ikut beasiswa bidik misi,” jelasku membela diri. Ibu tidak ikut campur. Asik menikmati makanan.

“Tapi apa kau yakin bisa lolos beasiswa itu? Jalur undangan saja kau tak lolos,” ujar Bapak memberi argumen. Deg  tiba-tiba hatiku merasa sakit. Ya karena ucapan tersebut.

“Sudahlah pak, jangan membuat anak sendiri pesimis. Kita dukung saja Keyla maunya apa. Lagi pula dia ingin membuat kita bahagia pak,” tukas Ibu mencairkan suasana hening beberapa detik lalu.

***

Jam dinding menunjukan pukul sepuluh malam. Aku belum bisa tidur. Memikirkan berulang kali kalimat Bapak. Bapak ada benarnya, kemampuanku tidak terlalu meyakinkan, jika diukur saat ini. Aku memang jurusan IPA. Tapi sama sekali seperti bukan anak IPA. Aku lemah diperhitungan. Aku masuk IPA karena nilai tes ku waktu itu tinggi. Dan sekolah yang menentukan. Walau begitu aku tetap bahagia bisa menjadi bagian dari anak-anak IPA. Yang notabene dikenal kecerdasannya di masyarakat. Walaupun menurutku, entah IPA maupun IPS sama saja, tergantung anaknya bagaimana. Aku pun berencana untuk lintas jurusan. Aku akan mengambil jurusan IPS. Akan ku pelajari semuanya dari awal. Aku harus bisa. Aku harus membuktikan ke Bapak. Bahwa tidak melulu yang berprestasi yang lebih pantas kuliah. Semua orang punya hak yang sama. Pemikiranku pun mulai tidak sependapat dengan Bapak. Ku pejamkan mata perlahan setelah menemukan jawaban dari diri sendiri. Malam yang gelap di bawah kolong langit.

Suasana pagi hari di rumah kecil di antara rerumputan sawah yang sedari tadi bergoyang mengikuti irama hembusan angin mengawali hariku. Kuhirup udara segar dalam-dalam sembari memejamkan mata, mengangkat kedua tangan perlahan lalu menguap, lewat jendela kamar. Beginilah aktivitas pagiku setiap hari. Tidak peduli ada orng yang melihatnya. Toh hanya ada satu rumah disini. Rumah tetangga jaraknya masih sangat jauh dari rumah ini. Aktifitas setelah UN membuatku lebih banyak bersantai. Walau sebenarnya aku sangat sedih jika mengingat-ingat hasil UN. Tapi pikiranku selalu mengabaikannya agar aku tetap berfokus pada tes universitas bulan depan.

Srengggg….. Ibu asik mengoreng tempe di dapur mininya. Segera saja ku menuju dapur. “Eh kebetulan kau sudah bangun. Ambil cobek itu dan cabai lalu kau buat sambal,” ucap Ibu padaku. Aku pun mengangguk dan segera melaksanakan perintah Ibu. Bapak sudah berangkat dari tadi ke sawah. Seperti biasa kami akan ke sawah menyusul Bapak. Tentunya dengan membawa menu makanan ini.

Usai sarapan pagi. Aku lebih dulu kembali ke rumah. Aku sengaja. Aku ingin belajar. Memenuhi janji hatiku semalam. Segera saja ku buka buku yang dipinjamkan oleh temanku yang dari jurusan IPS. Kubaca perlahan-lahan layaknya membaca novel.

***

Tiga minggu telah berlalu. Aku sudah lumayan menguasai setengah materi mata pelajaran IPS atau Soshum. Hari ini adalah hari pengunguman UN. Entah mengapa rasa-rasanya aku tak ingin ke sekolah. Dan memilih tidur di kamar.

Bapak pulang membawa amplop putih. Kurasa itu adalah surat keterangan lulus oleh sekolah yang diambil Bapak. Aku menyambutnya dengan harap-harap cemas. Bapak hanya diam lalu menyerahkan surat itu kepadaku. Kuputuskan membukanya di kamar. Sungguh rasanya aku tak ingin membuka surat ini. Keringatku mulai dingin. Tak ada gunanya juga aku begini. Aku pun segera membukanya dan melihat hasilnya. Mataku terbelalak melihat hasilnya. Benar-benar sudah kuduga. Hasilnya untuk ukuran diriku cukup memuaskan. Aku mendapat nilai empat koma nol lima mata pelajaran Fisika. Disusul ke lima yang lain lebih tinggi dari itu. Pantas saja, Bapak tidak merespon.

Ibu telah mendengarnya dari Bapak. Sehingga tidak banyak bertanya pada diriku. Tiba-tiba Ibu ke kamarku. Duduk di tempat tidur dan memeluk diriku yang masih terlihat sedih semenjak melihat pengumuman itu. “Sudahlah nak, hasilmu Ibu tetap bangga. Toh itu kau mengerjakan sendiri bukan? Jadi untuk apa bersedih? Ibu malah sedih kalau hasilmu bagus tetapi bukan hasil sendiri,” ucap Ibu menenangkanku.

Langit berganti gelap. Udara malam di persawahan terasa sangat dingin. Aku sengaja membuka jendela. Merenung dan malas membaca buku seperti apa yang sudah ku tuliskan di notebook, kalau jam segini jadwalnya belajar Sosiologi.

Dan malam ini aku tidak membuka buku sama sekali. Hatiku masih sedih terbayang-bayang hasil UN. Aku pun segera memejamkan mata. Berharap esok kan lebih baik. Setidaknya hatiku tak sesedih ini. Mengapa aku sesedih ini? Bagaimana tidak sedih, sejak mengambil pengumuman itu, Bapak tidak berbicara sepatah katapun hingga malam ini. Dan itu menambah kesedihanku.

Seperti biasa pagi hari disini terasa sejuk. Rupanya semalam hujan telah mengguyur desa ini. Aku sampai tak mendengar suara hujan itu. Tidurku begitu pulas sembari melenyapkan kesedihan. Seperti biasa aku menuju ke dapur dan membantu Ibu.

“Ibu, minggu depan aku akan tes masuk universitas bersama teman-temanku. Doakan Keyla Bu,” pintaku sambil mengiris bawang merah.

“Tanpa Kau memintapun doa Ibu selalu mengiringimu nak,” ucap Ibu yang sedang mencuci sayuran.

“Terimakasih Bu,” kataku, lalu menyerahkan bawang yang selesei diiris dan segera digoreng oleh Ibu.

“Jangan lupa nanti antarkan makanan ini ke sawah. Bapakmu pasti sudah menunggu,” pinta Ibu. Aku mengangguk mengiyakan.

****

Satu Minggu kemudian. Hari ini aku bersiap-siap menuju tempat tes bersama teman-temanku. Selepas meminta izin pada Bapak dan Ibu. Aku segera berangkat menggunakan sepeda ontel milik Bapak.

Seusai keluar dari ruang tes. Hatiku serasa plong, namun juga harap-harap  cemas. Tetapi tidak secemas menunggu hasil UN. Karena kali ini aku sangat yakin. Aku segera pulang ke rumah. Berganti pakaian kemudian makan siang.

Satu bulan kemudian. Sebelum fajar tiba. Hasil seleksi bersama masuk perguruan tinggi telah keluar. Aku  bersama teman-teman menuju warung internet atau warnet, kebetulan warnetnya sudah buka. Membuka hasil tes mereka masing-masing. Tiba-tiba jantungku berdetak begitu kencang. Keringat dingin juga keluar. Entah mengapa rasanya lemas sekali saat membaca pesan “Selamat Anda di terima di Universitas Gadjah Mada, program studi Sosiologi”. Benarkah aku tidak bermimpi? Aku diterima di pilihan kedua. Mataku berkaca-kaca, mengucap syukur kepada-Nya.

Aku segera berlari menuju sawah. Ditengah rerumputan pagi menjelang matahari terbit, kubawa kabar gembira ini. “Bapak! Lihat ini pak!” teriakku.

Sontak Bapak melempar cangkul dan segera menghampiri diriku, diikuti Ibu yang tengah duduk di gubuk. Bapak segera memelukku. Terharu, tak percaya aku bisa.

“Maafkan Bapak nak, sudah menyepelekanmu. Bapak sangat Bangga kepadamu,” kata Bapak lalu memelukku lagi.

“Untung kau tidak terpengaruh oleh kalimat Bapakmu itu nak,” ucap Ibu menimpali, seraya melirik Bapak. Kami pun tertawa bersama. Berpelukan layaknya teletubies. Sungguh kebahagiaan ini benar-benar mengobati rasa sakitku yang tidak lolos verifikasi jalur undangan. Allah telah menggantinya dengan yang lebih baik. Dibawah senja di tengah sawah itu,  aku membuktikan kepada kedua orangtuaku.

#Cerita ini pernah dimuat dalam buku antologi cerpen Your My Edelweiss .

*Mahasiswa Unhasy Tebuireng Jombang.