Sebuah ilustrasi ayah dan seorang anak perempuannya. (sumber: akuratjabar)

Catatan Lukaku

Tentang
pilu
ketika kau berpaling darimu
tak ada penerimaan di sana
bahkan hanya untuk menatap saja
payah,

tentang
bagaimana menjadi engkau
utuh tanpa penyayatan
hidup tanpa penghakiman
tanpa pengkhianatan diri

merdeka lah
racauan itu hanya ilusimu
pun risau hanya apa yang kau karang

tak akan ada yang menyesali
sekalipun terjerembap ke dasar nestapa
hanya engkau
sang penyelamat

peluk lah
kau adalah engkau dengan sejatinya
adalah apa yang selalu istimewa
dan akan selalu menjadi apa yang dipuja
di kemegahan istana kita

hai diri, berbahagialah



Doa Seluruh

Setelah kepergianmu waktu itu
kuraba-raba kenangan yang lucut dari ingatan
yang basah dengan air mata
tumpah di sembarang luka

aku memukul detak
setiap waktu bertarung dengan takut
dan mirisnya tak kunjung selesai
lagi-lagi akulah yang kalah

dengan dunia yang sudah bukan milikku lagi

di belakang pundakmu
air mata dan doa menyeru
yang kupeluk adalah kita yang tak lagi punya waktu
dan kemiskinanku dari kasih bukan padaku

sampai kini, dunia masih begini
mempertanyakan
mengapa aku tak biasa tanpamu



Pelajaran Menulis Puisi dari Kehilangan

Setiap sebelum tertidur
ayah meminta aku menulis satu kata
tentang luka-luka hari
dan harapan di esok pagi

kata-kata berlarian di tangan mungilku yang lucu
dan tawa ayah renyah di hadapanku

setiap sebelum berangkat sekolah
ayah meminta aku menulis satu kata di telapak tangannya
doa agar ia kembali sebelum aku tidur lagi
menjadi kata terakhir yang tak bisa kulihat lagi

ayah pergi
tanpa kutahu puisi mana yang berhasil kutulis lagi

jika aku menulis puisi lagi, kini
barangkali aku telah lelah menyembunyikan air mata
yang menyayat hati

setiap sebelum aku tertidur
sebelum aku berangkat meninggalkan rumah lagi

puisi-puisi
datang dan pergi.



Penulis: Irsyaddiyani Mahyar
Mahasiswa KPI Unhasy.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online