KH. Fahmi Amrullah Hadzik menyampaikan sambutan atas nama qari’ kitab pengaian kilatan Ramadan dalam penutupan kegiatan Ramadan di Pesantren Tebuireng, Ahad (11/07/2017). (Foto: Kopi Ireng).

Oleh : KH. Fahmi Amrullah Hadzik

اَلْحَمْدُ لِلّهِ . نَحْمَدُهُ وَ نَسْتَعِيْنُهُ وَ نَسْتَغْفِرُهُ . وَ نَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَ اَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا أَمَّابَعْدُهُ. فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَي اللهِ . اِتَّقُوْ اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

Kaum Muslimin Rahimakullah

Marilah kita senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah. Haqqo tuqotihi dengan sebenar-benar taqwa, dalam artian berusaha menjalankan semua perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya, dan janganlah kita sekali-kali meninggalkan dunia ini, kecuali dalam keadaan beragama Islam dan khusnul khotimah.

Kaum Muslimin Rahimakumullah

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dalam buku The Great of Two Omar, diceritakan suatu hari khalifah Umar bin Khattab menyewa seekor unta yang digunakan untuk tunggangan bersilaturrahmi ke rumah salah seorang sahabat. Dalam perjalana, tanpa disadari serban khalifah kecantol pohon dan jatuh. Ketika diberitahu bahwa serban beliau jatuh, maka khalifah Umar pun menghentikan untanya kemudian beliau turun dan berlari untuk mengambil serban yang jatuh tersebut. Kemudian buru-buru kembali ke unta.

Melihat tingkah khalifah Umar, pemilik unta yang kebetulan ada disitu memberikan saran. “Wahai yang mulia, kenapa tidak anda putar balik saja unta itu menuju serban sehingga anda tidak perlu repot-repot turun dan berlari menuju tempat dimana serban itu jatuh?”. Mendengar pertanyaan tersebut, khalifah Umar pun menjawab, “Aku menyewa unta ini, saya gunakan untuk bersilaturrahmi ke rumah sahabatku. Tidak ada perjanjian atau akad, aku putar balik unta ini untuk keperluan-keperluan yang lain”.

Mendengar jawaban khalifah, pemilik unta tersebut bertanya lagi, “Kalau begitu, mengapa anda tidak menyuruh saya sebagai rakyat kepada khalifahnya untuk sekedar mengambil serban anda yang jatuh”. Khalifah Umar pun menjawab, “Serban ini milikku, bukan milikmu. Apakah engkau menyangka bahwa jabatan khalifah itu punya wewenang untuk menyuruh-nyuruh rakyatnya melakukan sesuatu yang tidak ada (hubungan) dengan tugas. Maka pemilik unta tersebut terdiam.

Kaum Muslimin Rahimakumullah

Begitulah karakter seorang pemimpin sejati, seorang Umar. Kisah ini memberikan pelajaran kepada kita beberapa hal. Yang pertama, seorang pemimpin itu hendaknya menjaga amanah dan menepati janji. Menjaga amanah ini berat. Amanah ini titipan. Amanah itu kepercayaan. Untuk menjaga amanah bukan perkara yang mudah. Sampai-sampai ketika amanah ini ditawarkan kepada langit, bumi, dan gunung, mereka enggan.

Sebagaimana dikisahkan di dalam surah al-Ahzab ayat 72,

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمانَةَ عَلَى السَّماواتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَها وَأَشْفَقْنَ مِنْها وَحَمَلَهَا الْإِنْسانُ إِنَّهُ كانَ ظَلُوماً جَهُولاً

“Sungguh Kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Mereka semua enggan untuk memikulnya, dan mereka khawatir untuk mengkhianatinya. Maka dipikullah amanah itu oleh manusia, sesungguhnya manusia itu amatlah zalim dan bodoh”.

Khalifah Umar memberikan contoh sederhana untuk menjaga amanah. Dengan tidak menggunakan unta yang disewanya ini untuk keperluan-keperluan yang lain. Hanya untuk mengantarkan beliau bersilaturrahmi ke rumah sahabat. Walaupun sesungguhnya ketika kita menyewa sesuatu, mobil atau kendaraan, tentu kita boleh menggunakan kendaraan itu semau kita. Selama masih dalam waktu yang ditentukan. Tetapi khalifah Umar tidak mau melakukan itu dan tetap menepati janjinya untuk menggunakan unta yang disewanya itu sesuai keperluan yang telah ditetapkan.

Banyak pemimpin-pemimpin sekarang ini yang mungkin aji mumpung. Kendaraan dinas, rumah dinas, biaya dinas, bisa jadi tidak digunakan untuk keperluan-keperluan dinas. Beginilah pemimpin zaman sekarang. Mungkin sekarang sudah tidak ada pemimpin, yang ada hanyalah pejabat. Kalaupun ada pemimpin, itu pun pemimpin yang bermental pejabat.

Yang kedua, pelajaran yang bisa kita petik. Pemimpin yang adil itu tidak mau merepotkan rakyatnya. Tidak mau membebani rakyatnya. Karena itu, pemimpin yang adil itu mendapatkan kedudukan yang tinggi kelak di sisi Allah Swt.

إِنَّ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ عَادِلٌ ، وَأَبْغَضَ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ وَأَبْعَدَهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ جَائِرٌ

“Sesungguhnya manusia yang paling dicintai di sisi Allah pada hari kiamat dan paling dekat kedudukannya adalah pemimpin yang adil. Orang yang paling dibenci oleh Allah dan paling jauh kedudukannya adalah pemimpin yang zalim/ menyeleweng”.

Maka khalifah Umar memberikan contoh yang sederhana. Kalau untuk sekedar mengambil serban yang jatuh, kenapa harus membebani rakyat. Semestinya pemimpin tidak membebani rakyatnya. Apalagi pemimpin tersebut punya kebijakan-kebijakan. Kalau hanya hal kecil seperti yang dilakukan khalifah Umar itu saja tidak mau membebani rakyatnya, apalagi untuk urusan-urusan yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak. Tidak menaikkan (harga) ini dan itu. Tidak mencabut subsidi ini dan itu. Pemimpin itu punya wewenang.

Maka, pemimpin kalau yang adil mendapatkan tempat yang mulia di sisi Allah. Maka sebaliknya, pemimpin yang menipu rakyatnya;

أَيُّمَا رَاعٍ غَشَّ رَعِيَّتَهُ فَهُوَ فِي النَّارِ

“Siapapun pemimpin yang menipu rakyatnya maka dia ada di neraka”.

Pelajaran ketiga yang bisa kita petik dari kisah Umar ini, hakikat seorang pemimpin sesungguhnya adalah pelayan.

سَيِّدُ الْقَوْمِ خَادِمُهُمْ

“Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.”

Karena pemimpin itu pelayan, maka harus lebih mengutamakan kepentingan rakyatnya. Khalifah Umar mengatakan, “Aku adalah orang yang pertama kali lapar dan paling akhir kenyang”. Dia tidak bisa makan dengan enak dan tidur dengan nyenyak ketika ada rakyatnya yang kelaparan.

Suatu ketika gubernur Azerbaijan, Utbah bin Farqad, disuguhi makanan yang paling lezat di Azerbaijan yang bernama Habish. Makanan yang terbuat dari minyak samin dan kurma, rasanya manis dan lezat. Ketika sang gubernur mencicipi, merasa nikmat dan enak. Dia punya pikiran, ‘seandainya makanan ini aku kirimkan ke khalifah Umar tentu dia akan merasa senang’.

Maka sang gubernur pun mengirimkan dan mengutus seseorang untuk mengantarkan habish ini kepada khalifah Umar. Ketika khalifah Umar membuka makanan itu dan mencicipinya, khalifah Umar bertanya. “Makanan apa ini?”. Sang utusan menjawab, “Ini habish Yang Mulia. Makanan paling lezat di Azerbaijan”. Kemudian khalifah Umar bertanya, “Apakah semua rakyatmu bisa menikmati makanan ini?”. Dengan bangga utusan itu mengatakan, “Yang Mulia, tidak semua rakyat Azerbaijan bisa menikmati makanan ini”.

Mendengar jawaban utusan tersebut, maka muka khalifah menjadi merah. Tanda marah. Maka beliau perintahkan untuk membungkus kembali makanan kiriman gubernur Azerbaijan, dan tidak lupa khalifah Umar mengirim surat. Yang berbunyi, “Makanan yang manis ini, tidak dibuat dengan uang ibu-bapakmu. Kenyangkan dulu rakyatmu, sebelum kau mengeyangkan perutmu”.

Kaum Muslimin Rahimakumullah

Begitulah karakter seorang pemimpin yang luar biasa, yang mungkin kita butuhkan di zaman sekarang ini. Ada pemimpin yang diibaratkan seperti Sayyidina Umar, tetapi tentu kita tidak menginginkan itu sekedar wacana-wacana saja. Semoga, Indonesia dianugerahi pemimpin yang seperti Umar ini. Pemimpin yang amanah. Yang menepati janji, sehingga mampu mewujudkan Indonesia ini menjadi negara baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur.

Semoga bermanfaat, khususnya bagi diri saya dan umumnya bagi jamaah semuanya.

إِنَّ أَحْسَنَ الْكَلَامِ كَلَامُ اللهِ الْمَلِكِ الْمَنَّانِ وَبِالْقَوْلِ يَهْتَدُ الْمُرْتَضُوْنَ . مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسآءَ فَعَلَيْهَا وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيْدِ . بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلأٓيَةِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِوَتَقَبَّلَ اللهُ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ وَاسْتَغْفِرُوْا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ