Tebuireng- “Memuliakan Tuhan, maka harus memuliakan ciptaan-Nya”, secuplik perkataan mutiara KH Abdul Muhaimin, Pengasuh Pondok Pesantren Putri Nurul Ummahat dan penggagas Jogjakarta the city of tolerans yang menjadi salah satu narasumber dalam seminar toleransi beragam di Auditorium UNHASY Tebuireng pagi hari tadi, Senin (12/05).
Acara yang bertemakan “Toleransi Beragama dalam Perspektif agama di Indonesia” diadakan oleh mahasiswa Pascasarjana UNHASY program studi Hukum Islam berkerjasama dengan Pusat Kajian Pesantren dan Demokrasi Pesantren Tebuireng. Diawali dengan pembukaan dan lantunan Kalam Tuhan oleh ……………………………. Disusul dengan sambutan-sambutan. Sambutan yang pertama perwailan oleh Ketua Panitia. Menurut Keta Panita acara ini diselenggarakan sebagai program wajib pasca sarjana serta sebagai bentuk partisipasi UNHASY dalam penegakan Toleransi di Indonesia. Program Studi Hukum Islam Pascasarjana diwakili oleh Drs. Makinuddin. Dalam sela-sela sambutanya, beliau bercerita pengalaman beliau dalam bertoleransi. Beliau sejak kecil bersinggungan dengan umat Katolik. Beliau juga mengatakan bahwa toleransi adalah hal yang tidak asing di Tebuireng. “Sudah biasa Tebuireng berhubungan dengan non-muslim, para pendeta, biksu. Wes biasa”, kata beliau dalam logat khas beliau.
Dalam acara inti, yaitu seminar toleransi, didatangkan moderator dan narasumber yang sudah tidak asing lagi tapi tidak kadaluarsa dan pas dalam diskusi-diskusi seperti ini. Dengan dimoderator Tebuireng kondang, Roy Murtado sekaligus direktur PKPD yang juga turut andil dalam penyelenggaraan acara ini.Narasumber pertama adalah Dr. KH. Ahmad Zahro, MA., Rektor Universitas Islam Darul Ulum(UNIPDU), Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya, dan Imam Masjid Agung al-Akbar Surabaya. Kemudian didatangkan pula dari Jogja, penggerak Toleransi di Jogjakarta, KH abdul Muhaimin, ada Juga Pendeta Romo Purhastanto, S.J., Ph.D., Graduet Program in Area Studies Shopia University Tokyo Jepang, dan ketua Gusdurian Jombang, Aan Anshori. Selain itu acara ini juga dihadiri oleh mahasiswa/I dan santri dari berbagai Kampus dan Pondok Pesantren di Jombang.
Dalam paparan materinya, Dr Zahro menyampaikan bahwa umat islam itu terlau banyak membahas ayat-ayat qital(peperangan),memahaminya secara tekstual. Padahal ayat-ayat tasamuh atau toleransi sangat banyak dijelaskan dalam a-Qur’an maupun sejarah Rasulullah termasuk dalam beberapa hadist. Menurut beliau ini menjadi salah satu pemicu wajah islam menjadi buruk dalam rapor toleransi. “Wajar saja kita mengaku benar, Tapi kalau ngaku benar dewe yo iku seng dadi masalah”, ungkap beliau dalam bahasa campuran Indonesia-Jawa.
KH. Abdul Muhaimin memceritakan kondisi inteleran yang terjadi di Jogja. Setelah menampung pengungsi Gempa Jogja yang didominasi oleh umat islam dalam gereja-geraja mereka, umat Katholik dihadang oleh Forum Jihad islam garis keras. Menurut beliau ini adalah sangat tidak sesuai dengan ide-ide islam sendiri. Membantu itu tidak dibatasi oleh agama. “Membantu anjing saja orang bisa masuk surga, menganiaya kucing orang bisa masuk neraka. Itu hewan, bagaimana dengan manusia?”, ungkapan beliau lalu menambah “Memuliakan Tuhan, Maka memuliakan juga ciptaanya”.
Romo Anto, panggilan akrab Romo Purhastanto memaparkan survey tingkat beragama masyarakat Jepang. Pria yang 14 tahun tinggal di Negeri Sakura itu, memaparkan bahwa di Jepang, lebih dari 60% warganya mengaku tidak beragama, 36% mengaku Budha, dan sisanya adalah Shinto, Kristen, Islam dll. Survey tingkat beribadah pula menunjukkan bahwa sebagian besar warga Jepang beribadah setahun sekali. Tapi dengan masyarakat yang irreligious people bisa menunjukkan high moral. Sebaliknya masyarakat Indonesia yang Religious People menunjukkan pada low moral sense. Beliau juga memaparkan sejarah toleransi dalam agama Katholik bahwa sebelum tahun 1965 gereja meniadakan keselamatan bagi non-katholik. Kemudian Paus Paulus VI kemudia mencetuskan keputusan besar dengan mengatakan bahwa keselamatan juga untuk orang-orang non-Katholik.
Paparan terakhir dari Kertua Gusdurian Jombang, Aan Anshory. Pria berkacamata ini selalu memaparkan data yang cukup memilukan. Kekerasan berkedok agama, tindakan intoleran baik dilakukan oleh masyarakat, ormas agama, bahkan aparatur negara.
Acara ini ditutup pada pukul 12.30 setelah sesi diskusi dan tanya jawab. Di akhir acara moderator menyampaikan bahwa PKPD dan Tebuireng akan siap menjadi media untuk kajian-kajian toleransi dan demokrasi di Indonesia. PKPD akan mengawal pejuang-pejuang toleransi untuk memujudkan itu di Negeri yang katanya berpancasila ini.(ABR)