PERTANYAAN
Memberikan pengajian di radio atau di televisi merupakan salah satu aktivitas dakwah yang mulia, karena dapat menyebarkan syiar Islam kepada jutaan pemirsa. Akan tetapi, tidak sedikit oknum pendakwah yang punya logika materi, sehingga memasang tarif atas pengajiannya. Bahkan ada yang tarifnya dihitung sesuai durasi waktu yang dilalui (per menit, per jam, dst.). Pertanyaan:
- Bolehkah menerima imbalan/bayaran dalam berdakwah?
- Bolehkah memasang tarif untuk dakwah di media massa?
- Kalau boleh kenapa, kalau tidak boleh kenapa, dan adakah dalil rujukannya?
JAWABAN
Persoalan ini mirip dengan masalah boleh dan tidaknya mengambil upah atas pengajaran Al-Quran dan ilmu-ilmu agama, karena dakwah termasuk ta’lim (pengajaran). Para ulama klasik berbeda pendapat. Pendapat pertama menghukumi tidak boleh, pendapat kedua menghukumi boleh. Mengenai hukum pasang tarif, kami belum menemukan dalil atau pendapat ulama yang membolehkan.
Argumentasi Pendapat Pertama
Pendapat pertama mengenai honor berdakwak, didasarkan alasan bahwa mengajarkan al-Quran atau ilmu agama merupakan perjuangan yang tidak boleh dibisniskan, hanya Allah Swt yang akan membalasnya. Sama halnya seperti mengajarkan tata cara shalat; tidak boleh diperjual-belikan. Ini adalah pendapat sebagian ulama Hanbali (dalam salah satu riwayatnya), juga pendapat Madzhab Syiah Zaidiyyah dan Ibadiyyah (menghukumi haram) serta Syiah Imamiyah (menghukumi makruh).
Pendapat pertama ini didasarkan pada sejumlah dalil, di antaranya surat Yusuf ayat 104:
وَمَا تَسْأَلُهُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ هُوَ إِلا ذِكْرٌ لِلْعَالَمِينَ
Dan kamu sekali-kali tidak meminta upah kepada mereka (atas dakwahmu), ini tidak lain hanyalah pengajaran bagi semesta alam.
Kemudian surat Shaad [38] ayat 86:
قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ
Katakanlah: “Aku tidak meminta upah sedikit pun kepadamu atas dakwahku; dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan.
Juga surat As-Syu’araa [26] ayat 109, 127, 145, 164, dan 180:
وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلا عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ
Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas dakwahku itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.
Kemudian, yang sangat penting diperhatikan adalah kandungan QS. al-Qalam ayat 46:
أَمْ تَسْأَلُهُمْ أَجْرًا فَهُمْ مِنْ مَغْرَمٍ مُثْقَلُونَ
Ataukah kamu meminta upah kepada mereka, lalu mereka diberati dengan berhutang.
Sebenarnya masih banyak ayat-ayat lain yang senada dengan ayat-ayat di atas, misalnya Al-Furqaan ayat 57, Yunus 72, Huud 29 dan 51, dan al-An’aam ayat 90. Yang jelas, semua ayat tersebut intinya menegaskan bahwa dakwah jangan dikomersilkan, karena balasan dari Allah jauh lebih besar, baik balasan di dunia maupun di akhirat. Seperti tersurat dalam surat al-Mu’minuun [23] ayat 72:
أَمْ تَسْأَلُهُمْ خَرْجًا فَخَرَاجُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
Atau kamu meminta upah kepada mereka? Padahal upah dari Tuhanmu juah lebih baik, dan Dia adalah Pemberi rezeki Yang Paling Baik.
Kemudian mengenai balasan akhirat dijelaskan dalam QS. al-Najm ayat 39:
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى*وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى*ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ الأوْفَى
Dan bahwasanya manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwa usahanya itu (di akhirat) kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna.
Dalil-dalil al-Quran di atas diperkuat oleh hadits riwayat Ubay bin Ka’ab dan Ubadah bin as-Shamit, bahwa Rasulullah SAW pernah memperingatkan seorang sahabat yang menerima upah atas pengajaran al-Quran yang dilakukannya. Rasulullah SAW bersabda: “Jika engkau ambil (upah itu), maka engkau telah mengambil satu kurung api neraka.”
Larangan di atas dipertegas oleh hadits riwayat Abdurrahman bin Syibl, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah engkau mencari makan darinya (Al-Quran) dan jangan pula mencari keuntungan (darinya).”
Argumentasi Pendapat Kedua
Pendapat kedua yang membolehlan mengambil upah dari mengajarkan al-Quran atau ilmu agama, merupakan pendapat mayoritas ulama. Namun, jika terjadi pemasangan tarif, menurut para ulama, hal itu dapat menghilangkan pahala dakwah. Ini merupakan pendapat ulama Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, sebagian ulama Hanbali, dan Daud al-Dzahiri.
Pendapat kedua ini berdasarkan dalil hadits riwayat Ibn Abbas, bahwa Rasulullah membolehkan seorang sahabat menerima upah membacakan ruqyah untuk warga yang terkena sengatan ular. Lalu Beliau bersabda: “Sesungguhnya upah yang paling pantas bagimu ialah upah atas al-Quran.”
Bahkan banyak sahabat yang memberikan upah bagi para pengajar al-Quran, seperti yang dilakukan Umar bin Khatab kepada para pengajar Al-Quran di Madinah. Begitu juga sahabat Saad bin Abi Waqash dan Amar bin Yasar, yang konon juga terbiasa mengupah para pembaca al-Quran selama Bulan Ramadhan. Imam Malik pun menegaskan bahwa menerima upah atas pengajaran ilmu agama dibolehkan.
Mengenai klaim bahwa pada masa awal Islam, mayoritas pengajar al-Qur’an dan ilmu syari’ah tidak menarik upah atas jasa mereka mengajar, hal itu memang benar. Namun, pemerintahan saat itu sangat memperhatikan nasib para pengajar al-Quran dan juru dakwah. Pemerintah memberikan tunjangan berkala dari Baitul Maal.
Namun, pada masa-masa selanjutnya, ketika Baitul Mal sudah tidak mampu lagi memberi santunan disebabkan banyaknya alokasi belanja akibat meluasnya kekuasaan Islam, maka para ulama memberikan fatwa dibolehkannya mengambil ongkos pengajaran. Hukum yang sama berlaku bagi imam shalat atau mu’adzin (juru azan) di sebuah masjid; mereka dibolehkan mengambil upah atas jasa mereka ‘menghidupkan’ rumah Allah.
Alasan lainnya; bila para mu‘allim itu hanya mencurahkan waktu untuk mengajar al-Quran saja, maka kewajiban rumah tangganya bisa terbengkalai. Sebaliknya, bila mereka menyibukkan diri dengan pekerjaan lain dan menomor-duakan al-Quran, maka al-Quran bisa ditinggalkan oleh masyarakat.
Kesimpulannya dari uraian tadi, menerima upah mengajarkan ilmu agama atau berdakwah hukumnya boleh, asalkan tidak memasang tarif. Jika terjadi pematokan tarif, maka pahala dakwah akan hilang dan hanya digantikan oleh honor itu saja. Padahal jika tidak terjadi pemasangan tarif, maka Allah Swt pasti akan memberi balasan yang lebih besar, baik balasan di dunia maupun di akhirat.
Berdasarkan deskripsi di atas, jawaban dari tiga point pertanyaan di atas adalah sebagai berikut:
- Mayoritas ulama membolehkan da’i menerima imbalan atas ceramah atau pengajaran ilmu agama yang diberikannya. Akan tetapi, imbalan tersebut jangan dijadikan tujuan utama. Tujuan utama tetaplah berdakwah menyampaikan risalah Allah Swt. Imbalan itu hanya penyempurna dakwah saja.
- Secara etika, sangat tidak etis meminta atau memasang tarif dakwah. Memang, mayoritas ulama membolehkan penerimaan upah dari pengajaran ilmu agama atau dakwah, akan tetapi tidak dengan cara mematok tarif.
- Dalilnya ada dan lengkap. Namun pemahamannya berbeda. Mengenai perbedaan hadits pertama (melarang menerima upah) dan hadits kedua (membolehkan), itu disebabkan perbedaan derajat hadits (shahih, hasasan, da’if) sehingga para ulama berbeda dalam menerima dan menolak hadits tertentu. Perbedaan situasi dan kondisi serta tradisi masyarakat, juga dapat mempengaruhi perbedaan hukum. Jadi yang berbeda bukan dalilnya, melainkan tradisinya. Ulama Ushul Fiqh menyatakan:
انه اختلاف عصر و زمان, لا اختلاف حجة وبرهان
Perubahan hukum itu hanya karena perbedaan waktu, bukan perbedaan dalil.
Komersialisasi dakwah dengan memasang tarif tertentu sangat dipengaruhi oleh media massa, terutama televisi. Tingkat rating menjadi alasan untuk menaikkan tarif dakwah. Padahal, cara semacam itu bisa merusak mental dai dan menghapus pahala dakwah. Wallaahu a’lam.
RUJUKAN
Abu Bakr bin Muhammad Taqiyuddin al-Hishni, Kitab al-Qawâid, Riyadh: Maktabah Al-Rusyd, 1997 M.
Abd al-Karim Zaydan, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Libanon: Mu’assasah al-Risalâh, 2001 M.
Jalal al-Din Abd al-Rahman as-Suyuthi, al-Asybâh wa al-Nazhâir, Beirut: Dâr al-Kitab al-‘Arabi, 1998 H.
Izzuddin ibn Abd al-Salam, Qawâid al-Ahkâm fi Mashâlih al-Anâm, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1999 M.
Ahmad Mubarok Yasin, Penanggung Jawab Rubrik Fiqh