Bung Karno diminta membubarkan PKI seperti membubarkan Masyumi dan PSI pada 1960 karena masyarakat luas, sejumlah besar partai, dan TNI yakin PKI di belakang kudeta Gestapu/PKI. Pembubaran tidak mungkin dilakukan karena Bung Karno pendukung PKI dan membutuhkan PKI sebagai mitra untuk mengimbangi TNI.
Kudeta itu dilakukan Dewan Revolusi untuk menangkap para anggota yang mereka sebut sebagai Dewan Jenderal. Pada 30/9/1965 pagi, Brigjen Soegandhi, ajudan senior presiden, menemui Bung Karno (BK) memberitahukan bahwa Dewan Jenderal itu tidak ada. BK tidak percaya dan menganggap penculikan itu biasa dalam revolusi.
Pergolakan politik karena BK tidak bersedia membubarkan PKI, membuat kedudukan BK menjadi goyah dan terpaksa mengeluarkan Supersemar pada 11/3/1966. Supersemar itu kini menjadi misteri sejarah, tetapi saat itu tidak ada yang mempersoalkan.
Bahkan, kini pun setelah mengetahui misteriusnya proses penerbitan Supersemar, banyak yang tetap menganggap pembubaran PKI itu tepat dilakukan. Pada 1967, MPRS melengserkan Bung Karno secara resmi.
Pak Harto jelas memandang peristiwa G-30-S tanggung jawab PKI. Para aktivis HAM dan keluarga korban pembunuhan yang dituduh sebagai anggota atau simpatisan PKI dan organisasi di bawah PKI, menganggap Pak Harto harus bertanggung jawab.
Peristiwa G-30-S/PKI memberi peluang emas kepada Pak Harto muncul sebagai tokoh nomor satu di TNI AD. Kesempatan itu digunakan sebaik-baiknya sehingga Pak Harto menjadi presiden RI selama 30 tahun.
Namun, kita juga perlu menghargai Pak Harto karena tidak ngotot bertahan sehingga tidak ada konflik sesama anak bangsa. Pak Harto dengan keterpaksaan mundur saat negara dihantam krisis ekonomi dan peristiwa Mei 1998.
BJ Habibie (BJH) tidak berada di Indonesia saat peristiwa G-30-S/PKI. Jadi BJH tidak punya keterlibatan emosi dengan peristiwa ini. BJH sempat membebaskan Serma Bungkus, yang dijatuhi hukuman karena terlibat penculikan para jenderal.
Sebagai orang yang tumbuh di Jerman, BJH mengetahui proses peradilan Nuremberg terhadap mereka yang dianggap sebagai penjahat Perang Dunia II. Saya menduga, BJH menginginkan ada rekonsiliasi dua kelompok yang sudah bermusuhan 30 tahun lebih. BJH tidak sempat berpikir lain kecuali mengatasi krisis ekonomi yang luar biasa memukul rakyat Indonesia.
Gus Dur (GD) juga tidak ada di Indonesia saat peristiwa G-30-S/PKI sehingga tidak punya hambatan emosi, untuk meminta maaf atas perlakuan warga NU terhadap warga PKI pada 1999. Bahkan, saat GD menjabat sebagai presiden sempat melontarkan gagasan mencabut Tap MPRS No XXV/1966.
Kontan gagasan itu menuai kritik, seperti TNI AD, Golkar, dan warga NU. GD tidak memahami dengan baik reaksi negatif akan muncul. Apalagi, presiden tidak punya wewenang mencabut Tap MPRS itu.
Anak muda NU saat GD menjadi presiden banyak yang mulai melakukan upaya rekonsiliasi dengan keluarga korban kasus 1965. Sikap itu tidak lepas dari sikap GD.
Anak-anak muda NU bahkan ada yang mendukung IPT 1965, tetapi generasi tua NU yang mengalami konflik dengan PKI pada 1964/1965 jelas tidak setuju. Kita juga patut menghargai GD, yang mencegah pengikutnya melakukan pembelaan secara fisik saat GD dilengserkan.
Megawati sebagai putri BK tentu tidak banyak berbeda dengan BK menyikapi peristiwa G-30-S yang oleh BK disebut sebagai Gestok. Berat sekali penderitaan Megawati bersama kakak dan adiknya, saat mereka mengalami perlakuan negatif pemerintahan Orde Baru.
Namun, sikap Mega tidak sekeras Sukma dan Rahma dalam mengkritik Orde Baru. Tekanan dan perlakuan negatif itu membuat kekuatan PDI di bawah Mega makin mengkristal sehingga muncul sebagai pemenang Pemilu 1999. Dalam era Mega sebagai presidenlah, UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) diundangkan.
SBY adalah jenderal TNI AD. Kekuatan politik yang punya sejarah panjang dalam konflik dengan PKI. Dengan sendirinya, SBY punya sikap negatif terhadap peristiwa G-30-S/PKI. Ditambah lagi, SBY adalah menantu Jenderal Sarwo Edhie, komandan RPKAD saat peristiwa G-30-S/PKI, pasukan terdepan menghadapi PKI.
Presiden SBY sudah menerima 42 calon untuk dipilih 21 orang menjadi anggota KKR. SBY lama sekali tidak mengambil keputusan sehingga terburu UU KKR dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada Desember 2006.
Saat SBY menjadi presiden, pernah muncul isu bahwa presiden akan meminta maaf, yang dilontarkan oleh Albert Hasibuan sebagai anggota Wantimpres. Para pensiunan jenderal langsung mengonfirmasi berita itu dan dibantah SBY.
Era Jokowi
Saat G-30-S terjadi, Joko Widodo masih berusia empat tahun. Bisa dianggap sikap Presiden Jokowi sama dengan generasi muda yang ingin menyelesaikan peristiwa G-30-S, dengan rekonsiliasi yang punya dasar hukum.
Kita menyaksikan Menko Luhut Pandjaitan bersama Agus Wijoyo, yang sudah diangkat menjadi gubernur Lemhannas menggelar simposium, dengan menghadirkan para korban peristiwa G-30-S. Simposium itu ditanggapi negatif para jenderal purnawirawan yang mengadakan simposium tandingan. Akhirnya, Presiden Jokowi tidak berani meneruskan langkah yang sudah diambil.
Kita bisa melihat, para presiden RI berbeda persepsi dan sikap menanggapi peristiwa G-30-S. Mereka juga berbeda sikap dalam ikhtiar menyelesaikan masalah, yang sudah menyandera bangsa selama puluhan tahun.
Namun, mereka harus menerima kenyataan tidak mampu melakukannya. Bahkan, hanya untuk meminta maaf terhadap korban dan keluarganya, bukan kepada PKI, tidak ada yang bisa melakukan.
IPT 1965 digelar di Den Haag pada November 2015 dan menyatakan, Indonesia bertanggung jawab atas 10 tindakan kejahatan HAM berat pada 1965-1966. Sepuluh kejahatan HAM berat itu adalah pembunuhan massal, pemusnahan, pemenjaraan, perbudakan, penyiksaan, penghilangan paksa, kekerasan seksual, pengasingan, propaganda palsu, keterlibatan negara lain, hingga genosida.
Pemerintah Indonesia menganggap putusan sidang IPT 1965 itu tidak mengikat. Abdul Hakim Garuda Nusantara menulis, dari segi normatif-teoretis terbuka jalan bagi penerapan yurisdiksi universal terhadap kasus ini.
Menko Polhukam Wiranto menyatakan, tindakan dan langkah negara pada Peristiwa G-30-S/PKI dapat dibenarkan secara hukum. Dari kajian hukum pidana, peristiwa ini masuk dalam kategori “the principle clear and present danger”, negara dapat dinyatakan dalam keadaan bahaya dan nyata.
Pemerintah akan membentuk sebuah badan terkait rekonsiliasi yang serupa dengan Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi. Perbedaannya, badan ini akan fokus pada penyelesaian kasus HAM masa lalu melalui jalur nonyudisial.
Pegiat hukum dan HAM ragu akan komitmen pemerintah menuntaskan kasus HAM berat masa lalu. Rencana pembentukan komisi rekonsiliasi dinilai bakal sia-sia, jika tak dibarengi upaya pengungkapan kebenaran peristiwa masa lalu itu.
Wiranto menjelaskan, dalam bedah kasus antara penyelidik Komnas HAM dan Kejaksaan Agung menemui hambatan umum, terutama menyangkut pemenuhan alat bukti yang cukup. Terdapat kesulitan memenuhi standar pembuktian, sebagaimana dimaksud dalam UU No 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM.
Penulis:Dr. Ir. KH. Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng
Publisher: M. Ali Ridho
Sumber:https://www.republika.co.id, dimuat pada 11 November 2016