BERMANDIKAN “AIR SORO” YAI KA’
Siapa bilang yang mitologis, irrasional dan metarasional itu hanya milik masyarakat agraris, tradisional dan underdevelop countries monopoli negara timur. Di Baratpun, laris dipelajari dan diparaktekkan ilmu megik, ilmu kanuragan atau berjenis seperti debus. Tak heran, bila silih berganti berdatangan orang orang bule belajar ilmu debus atau ilmu kanuragan.
Tak hanya di Banten, namun ada pula yang berguru ke Banyuwangi dan Cirebon. Walau hati hati dan tak boleh sembrono mencari guru untuk itu. Meski, agak sedikit berbeda, ada kejadian menggelikan menimpa seorang yang pernah nyantri di Tebuireng. Teman saya ini datang jauh jauh dari Jawa Timur hendak mencari “orang pinter” di Banten–info berdasarkan informan yang layak dipercaya–eh, begitu ketemu gak tahunya “orang pinter” yang direkomendasikan ternyata dulu temannya sendiri saat nyantri di Tebuireng yang “buka praktek” di Banten. Tak urung, keduanya berpelukan dan malah saling melepas kangen serta rak terbendung gojlokkanpun muncul. “Lho, dulu belajar kepada siapa di Tebuireng kok kamu menguasi ilmu begini ini”, teman saya terheran heran.
“Ya, tentu tak mungkin hasil ijtihad dan kreatifitas. Waktu di Tebuireng hanya saling tukar menukar ilmu yang serba sedikit saya miliki dengan teman teman yang dari Banten, Cirebon dan Banyuwangi”, akunya jujur. Ilmu-ilmu ini juga dikuasai oleh Yai Ka’. Seperti biasa, setiap penghujung tahun ajaran sekolah dihelat perandingan segi tiga : Tsanawiyah, SMA dan Aliyah. Sebelum pertandingan berlangsung, saya dan teman dari tim kesebelasan Tsanawiyah sowan Yai Ka’ selaku sesepuh guru di Tsanawiyah, ternyata kami diminta “mandi air soro”. Luar biasa sugestinya, melawan SMA dan Aliyah yang rata rata fisiknya lebih besar, nyali kami tak surut dan tak canggung melakukan body-charge. Usai pertandingan kami lapor Yai Ka’, sembari menunjukkan tak sedikitpun ada bekas “garesan” dan kaki tak bengkak. Saya sendiri tidak bertanya, dibacakan wirid apa “air soro” itu. Ya, ternyata Yai Ka’-pun mempunyai khazanah ilmu “air soro” yang nyata khasiatnya. Saya masih ingat betul, waktu itu santri yang “alim” dengan ilmu ilmu ini adalah : Syukur (Bawean), Abdurrazaq (Banyuwangi), Subroto (Banten), Hasyim dan Irfan (Cirebon) dan Hasan (Madura).
(Catatan: H. Cholidy Ibhar santri Tebuireng angkatan 1970-1980. Kini menjadi Dosen di IAINU dan Direktur Local Govermen Reseach dan Consulting, tinggal di Kebumen Jawa Tengah)