ALHAMDULILLAH, ALHAMDULILLAH

Ucapan hamdalah itu meluncur berulang kali dengan derasnya ketika Yai Ka’ diberi informasi bahwa santrinya yang pernah dididiknya “menjadi orang” atau bermanfaat bagi orang lain lingkungannya. Entah eksis sebagai apa dan kemudian menjadi siapa serta kedudukan apa. Apa kelak bisa mendirikan pesantren, menjadi kiai, PNS, politisi atau lainnya. Bagi Yai Ka’, kehadiran membawa makna untuk lingkungannya masing-masing, itulah takaran yang penting menurut beliau untuk menilai berhasil-tidaknya transmisi keilmuan dan sentuhan pendidikan penyadarannya.

Mansur : “Emangnya, apa yang membahagi akan seorang kiai pasca mendidik santrinya, yai ?”
Yai Ka’ : “Mendapati santri di daerahnya masing-masing bisa muncul dan bermanfaat bagi lingkungannya”

Barangkali serupa, bagaimana perasaan Imam Malik meluapkan kegembiraannya melihat keberhasilan Imam Syafi’i menjadi murid yang tak kalah ‘alim dari gurunya. Demikian pula, kebahagian tiada tara bagi Imam Syafi’i melahirkan murid sealim Imam Hambali. Tak berbeda dengan yang dirasakan syekh Cholil Bangkalan melihat keberhasilan muridnya yang luar biasa seperti hadlratusy Syekh Hasyim Asy’ari. Sehingga, beliaupun sempat berbalik menjadi muridnya ketika di bulan ramadhan mengikuti khataman kitab Shahih Buchari dan Shahih Muslim di pesantren Tebuireng yang qari’–nya tak lain adalah kiai Hasyim sendiri.

Akan halnya kiai Ali Ma’shum Krapyak dan kiai Chudlori Tegalrejo menyaksikan kehebatan muridnya yang bernama Gus Dur. Pun, begitu kiai Idris Kamali, yang dari model pendidikan “takhashus”–nya semua santri yang tersentuh didikan dari tangan dingin sosok berjejuluk “madinat al-‘ilm semuanya menjadi orang yang bermanfaat di lingkungannya masin- masing.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Tentu tak terkecuali bagi Yai Ka’. Tak sekali dua kali saya penyaksi beliau berkaca kaca mripatnya dan berbalut rasa haru yang teramat mendalam saat ada muridnya silaturrahim dan menyampaikan sebagai orang yang berhasil di tengah tengah masyarakat. “Nyok opo, sehat kabeh keluarga. Dek endi saiki awakmu ?”, itulah pertanyaan standard Yai Ka’ kepada murid muridnya yang datang sowan ke Kawah Condrodimuko. Begitu khabar “menjadi orang” didengarnya dari sang murid, masya Allah demikian sumringahnya Yai Ka’. Terpancar pula, gembira beraduk ekspresi keharuan. “Yo, yo, alhamdulillah, alhamdulillah”, reflek meluncur berulang ulang dari mulut beliau.

(Catatan:  H. Cholidy Ibhar santri Tebuireng angkatan 1970-1980. Kini menjadi Dosen di IAINU dan Direktur Local Govermen Reseach dan Consulting, tinggal di Kebumen Jawa Tengah)