BERBAIK SANGKA KEPADA SANTRI
Soal berbaik sangka kepada santri, ada kemiripan antara KH Abdurahman al-dakhil atau Gus Dur dengan Yai Ka’. Saya acapkali kebagian jemput dan nemani Gus Dur bila ada acara di Jawa Tengah, maklum teman-teman tahu saya alumni pesantren Tebuireng dan sempat turut menyimak saat Gus Dur membaca kitab Tafsir al-Jalalain dan Hikam.
Begitu banyak cerita mengesankan, mendengar joke yang mengundang tawa dan melihat kejadian langsung yang lucu. Di antara hotel yang menjadi langganan jika Gus Dur menginap di Semarang adalah hotel Santika. Seperti biasa, begitu masuk kamar, Gus Dur tak langsung rebahan dan berlanjut sare. Kendati terlihat kelelahan, namun masih asyik bercerita berikut joke nya mengalir begitu jauh.
Di sela sela jeda berkisah, saya sempatkan menggelitik memori Gus Dur dengan mengajukan pertanyaan, “Gus, mengapa kitab-kitab yang jenengan baca di pesantren Tebuireng seperti Tafsir al-Jalalain dan Hikam, semuanya tak ada yang sampai khatam ?”. Belum dijawab, Gus Dur sudah tertawa. “Lho, iling wae sampeyan”, kata Gus Dur. ” Itu bukan karena saya gak mau mengkhatamkan lho. Melainkan, saya sengaja agar santri meneruskan dan membaca sendiri secara tuntas. Di situ saya sesungguhnya menggabungkan metedonya al-Zarnuji dalam Ta’lim al-Muta’llim dan model pendidikan penyadarannya Paulo Freire. Itu penting”, tutur Gus Dur.
Dengan maksud yang serupa tetapi pola yang berbeda, apa yang dilakukan oleh Yai Ka’. Beliau tak memilih membaca kitab yang besar besar, namun sengaja melayani santri segala umur melalui khataman atau rutinan membaca kitab yang kecil. Pastilah–bila telaten memaknai kitab–usai mengikuti pengajiab Yai Ka’ para santri mampu membacanya sendiri. Karena beliau begitu jelas artikulasinya, terpulang pada konsentrasi dan kelincahan tangan santri “mengasahinya”.
Dengan pilihan model ini, Yai Ka’–pun berbaik sangka kepada santrinya. Lewat uswah hasanah, keteladanan dan membaca kitab secara tuntas, kelak santri bisa mengembangkannya sendiri. Kalau Gus Dur berbaik sangka kepada santri lewat kemampuan natural bawaanya seperti teori nativisme-nya Schopenhour, sedangkan Yai Ka’ berbaik sangka kepada santri tak ubahnya teori tabularasa atau empirismenya-John Locke.
(Catatan: H. Cholidy Ibhar santri Tebuireng angkatan 1970-1980. Kini menjadi Dosen di IAINU dan Direktur Local Govermen Reseach dan Consulting, tinggal di Kebumen Jawa Tengah)