YI KA’ ITU, YA YAI KA’

Tentu, Yai Ka’ memiliki persepsi sendiri tentang sosoknya. Sudah barang pasti, riya’ dan ananiyah menyebut diri sendiri sebagai “ini dan itu” dan “begini dan begitu”. Makanya, tak mungkin menemukan dalam narasi Yai Ka’ menyamakan dirinya dengan siapapun, walau sekaliber beliau mungkin disandingkan atau “diserupakan” dengan tokoh tokoh tertentu. Tidak “plek” sama, namun dalam sisi sisi tertentu memiliki kemiripan. Yang namanya “menyerupakan” seseorang dengan seseorang, pastilah subyektif, relatif dan nisbi. Seperti Yai Ka’ begitu bangga dengan nama “istana”–nya, Kawah Condrodimuko.

Banyak orang yang serta merta menafsirkan, Yai Ka’ meindentifikasikan diri beliau dengan Gatutkoco. Figur yang selalu menempa diri, meski bukan untuk berotot kawat berbalung wesi, melainkan munuju to be, menjadi alim, zuhud, wara’, istiqamah dan sederhana. Dalam bahasa lainnya, Yai Ka’ itu tak ubahnya ekspertis turats yang human, humble dan wise.

Ada pula yang mencoba menempelkan potret Ghazalian, Zarnuji-an, Nawawi-an dan Gus Dur-ian. Sekali lagi, menyerupakan Yai Kai seperti ini dan seperti itu boleh jadi tidak tepat, berlebihan dan dipaksaman. Entoh, bukan berarti tak ada gunanya atau tak memiliki daya tarik tersendiri. Lewat analisis menyandingkan figur Yai Ka’ dengan lainnya, kian tampak kekuatan guratan karakter yang melekat pada diri beliau. Bahkan kemudian, jati diri Yai Ka’ tak sekedar berkelebat dan berlalu lalang, tetapi keaslian sosoknya semakin hadir dan seolah berdiri di depan kita.

Rasanya tak salah bila mengatakan, Yai Ka’ itu, Ya Yai Ka’. Bukankah memang Yai Ka’ selalu menutup dirinya rapat rapat agar tak terpelanting ke dalam kubangan riya’ dan ananiyah, yang belakangan riya’ dan ananiyah sangat digandrungi banyak orang sebagai personal branding.

(Catatan:  H. Cholidy Ibhar santri Tebuireng angkatan 1970-1980. Kini menjadi Dosen di IAINU dan Direktur Local Govermen Reseach dan Consulting, tinggal di Kebumen Jawa Tengah)

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online