SANTRI HAKIKI, SANTRI MAJAZI

“Sak jane”, kata Yai Ka’, “umpomo santri gelem dadi santri sing hakiki. Gak perlu pontang-panting mikirno masa depane”. Ini ungkapan empiris dan terbukti secara praksis lewat mutakharrij pesantren Tebuireng. Lebih lebih, santri yang bersentuhan dengan hadlratusy syekh Hasyim Asy’ari. Begitu boyongan dari pondok dan menyebar di tengah tengah masyarakat, mereka eksis dan menjadi tokoh keagamaan di daerahnya masing masing.

Mengapa NU begitu pesat perkembangannya di tanah air ? Hal ini tak terlepas dari peran santri kiai Hasyim yang tak lama setelah NU didikler pada rahun 1926 bergegas kembali ke kampung halamannya dan mendirikan cabang NU di daerahnya. Pertanyaannya, mungkinkan santri “yang biasa biasa saja” berkemampuan mendirikan Cabang NU di daerahnya ? Tentu, bukan santri sembarangan. Santri yang berbekal memadai yang memungkinkan dihargai dan memiliki pengaruh mengajak orang lain.

Yai Ka’ mempunyai tesis dikhotomik membedakan tipologi santri : santri hakiki dan santri majazi. Menurut beliau, santri hakiki itu setali tiga uang dengan panduan etika belajar yang didedahkan al-Zarnuji dalam Ta’lim al-Muta’allim. Dengan enam indikator yang banyak ditembangkan oleh kalangan santri, meski minta ampun sulitnya mengaplikasikannya. Tak heran bila eksistensi santri belakangan tak sehebat pendahulunya, ya ilmunya, ya amaliyahnya, ya kharismanya, ya marwahnya.

Justru kebalikan dengan santri hakiki itulah, bersemburat di mana mana adanya santri majazi. Santri yang demikian jauh potretnya dengan panduan Ta’lim al-Muta’alim. Atau, mungkin stigma yang sesuai dengan bergelanyutnya budaya serba given, boleh jadi santri majazi itu bisa disebut juga dengan istilah santri instan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

(Catatan:  H. Cholidy Ibhar santri Tebuireng angkatan 1970-1980. Kini menjadi Dosen di IAINU dan Direktur Local Govermen Reseach dan Consulting, tinggal di Kebumen Jawa Tengah)