YAI, KOK KURUS AMAT SICH …

Siapa lagi yang berani mencandai dan berani bertanya–untuk ukuran umun dalam relasi santri-kiai di pesantren termasuk wilayah dianggap menyinggung hal yang sensitif dan tak laik–kalau bukan di antara santri yang sangat dekat dengan Yai Ka’, almarhum Mansur “kalpanak”. Di saat bak berhalaqah kami berkumpul di kamar beliau, menyeruak pertanyaan mengejutkan, kendati diajukan dengan mimik menggoda Yai Ka’, “Kenapa sich, kok Yai Ka’ kurus amat. Sengaja atau punya amalan terntu?”.

Sebagaimana pertanyaan yang menukik ke wilayah privacy beliau, kembali Yai Ka’ hanya tersenyum. Mungkin, walau mengajak Habermas dalam memaknai arti senyuman, rasanya tak mudah menafsirkan senyuman itu. Sangat multi tafsir. Entoh begitu, bisa saja tubuh kurus yang dimiliki Yai Ka’ bertali kelindan dengan gerusan akibat pencadu rokok jelas berat dan lek-lek-an di waktu malam. Meski beliau pecandu kuliner dan apalagi yang di publik dianggap kuliner top markhotob.

 Mestinya ilustrasi yang disebutkan terakhir mendorong kepada eksitensi fisik yang berisi. Dan, bila melihat sang adik Yai Ka’, ustadz Shodiq, beliau tak seharusnya kurus. Rupanya, kekurusan beliau bukan soal keturunan. Jadinya, mungkin saja, Yai Kai terpengaruh referensi kitab yang dibacanya. Ada bagian uraian dalam kitab Nashaih al-Ibad karya Imam Nawawisl-Bantani yang merupakan syarah al-Munabbihat ‘ala al-Isti’dat li Yaum al-Mi’ad karya Ibnu Hajar al-‘Asqalani, yang mencantumkan sabda Nabi, “Ahabbukum il-Allah Aqallukum thu’man wa Akhaffukum badanan”. “Di antara kalian yang paling disenangi Allah adalah siapa saja yang paling sedikit makannya dan paling ringan badannya”. Benarkah, ini yang menjadi sandaran Yai Ka’ ? Allah a’lam bi al-shawab.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online