TAK MENYUKAI POPULARITAS

Popularitas macam apa yang tak bisa diraih Yai Ka’ jika menghendakinya. Menjadi kiai sejuta umat menandingi KH. Zainuddin MZ? Berdakwah tiada henti, tiga hingga 4 kali sehari? Dikontak di TV nasional menjadi kiai selibritis? Mengisi kolom di media cetak khusus masalah keagamaan ? Rasanya, tak sulit meraih target itu bagi Yai Ka’. Apalagi seperti era sekarang, yang begitu mudah membangun citra dan melakukan personal branding. Yang tak jelas asal usulnya, tiba tiba bisa dipoles menjadi ustadz.

Sama sekali tak fasih berucap bahasa Arab, di dadanya disematkan tokoh agamawan. Zamannya zaman pemolesan, yang piawai menghela markert, ya populer. Nomor sekian yang namanya kualitas, mutu “mudah diatur”. Ada momentum, ada peluang dan ada pasarnya yang bisa melejitkan popularitas, namun Yai Ka’ bergeming, keukeuh dan istiqamah hanya mengambil space di Tebuireng.

Kalau toh beliau keluar, sebatas silaturrahim dengan santri santri-nya di luar daerah. Itupun dilakukan dalam rentang waktu yang tak terlalu sering, kalau malah tak boleh dikatakan jarang. Bahkan, seperti kitab kitab yang dibaca-pun. Yai Ka’ memilih yang enteng enteng dan tipis, Tafsir-pun dipilihnya Tafsir al-Jalalaian. Yang ditimbangnya besar kecilnya relevansi pilihan kitab itu dengan kebutuhan para santrinya. Langka, sosok berlaku mutashawif seperti Yai Ka’.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online