Ilustrasi: www.google.com

Oleh: Mutakim*

Garis pantai teraut dari langgam matamu
Ombak kecil menyapu kedip
Dan belalaknya seperti lentera
Di depan kemuning senja

Nyanyian pulau-pulau
Bergema senada gurindam
Sumpama lagi
Tiada pernah mau pergi

Lukisanmu masih menggantung di pojok rintih
Sesekali menangis dan hening
Menyirat semua tanya tanpa sepatah pun berkata
Dalamnya luka, diantara masa

Ingin kupeluk rindumu melewati surut gerimis
Agar peluh ini semakin jalar
Menghabiskan cerita
Membalut kaca-kaca di mata

Kak, dengarlah!
Segala degup menahan paksa gemuruh amarah
Tentang sketsa wajahnya
Tentang malam milik kita
Tentang mimpiku yang sirna

*Ditulis di Jombang, 27 Juli 2019.


Senja Sang Penyair


Pada sore itu kulihat kutilang-kutilang putih beterbangan di tajam bola matamu. Kupandang sekian lama, tergelar sebuah suasana yang palan-pelan memancing jenuh. Sepanjang jalan yang tak terhitung, pepohonan dan gugur daunnya, memerah kedipmu silau menyatukan arah masa yang membujur. Dan tenggelam.

Ke dadaku, batas gerimis bertengger dan mengadu. Begitu jauh ia memandang tangisnya sendiri. Menunggu reda. Suatu hari nanti di tempat yang sama, aku ingin menidurkan senja bersamamu. Menunggu malam dengan suar-suar kehangatannya. Dan terpadam.

Telah lama Sang Puisi mengikatmu dalam diam. Berbulan madu dengan pena, membagi gilanya dari setiap kata yang dipaksa melahirkan sengketa. Mungkin setumpuk umpama yang kukaitkan sia-sia belaka. Kau tetap terpenjara. Dan menjadi terbiasa.

*Jombang, 1 Mei 2019.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online