Nyai SolichahOleh: Ahmad Faozan*

Kiprah Nyai Solichah

Belajar bertahan hidup dengan kemampuan yang dimiliki memang harus dilakukan oleh siapapun. Sudah bukan menjadi rahasia umum, jika terlahir dari keluarga mapan dan terhormat terdengar suara nyaring sebuah adagium. “Tak perlu kerja keras seseorang cukup hidup santai menikmati semuanya.” Warisan harta kalau tak bisa mengelola dan main jual saja, tentu taka da yang bisa ia dapatkan, kecuali kepailitan. Bagi Nyai Solichah hal tersebut tidak masuk dalam kamusnya. Terus bekerja keras sembari memohon pertolongan Allah menjadi modal berharga.

Hidup di Ibukota, jakarta membuat Nyai Solichah tergerak hatinya untuk aktif dalam pergerakan sosial. Beliau ikut menghidupkan dan membesarkan Muslimat NU Wilayah Jakarta. Pengalamannya selama di Tebuireng Jombang menjadi bekal di kemudian hari. Seiring dengan berjalannya waktu,  kegiatan-kegiatan itu ikut serta membesarkan nama beliau. Pergaulan sosialnya dengan para tokoh nasional dari beragam kalangan, baik nasionalis maupun agamis amat luwes. Karena memang Sudah terjalin lama semasa sang suami hidup.

Peninggalan relasi dan jaringan yang luas dari Kiai Wahid menjadi modal penting juga. Faktor inilah yang membuat beliau terpilih menjadi anggota DPRD mewakili NU, kemudian menjadi anggota DPR Gotong Royong mewakili partai yang sama. Jam terbangnya mulai sibuk di luar rumah, tetapi tak mengurangi tanggungjawabnya mendidik anak. Jika waktu reses atau libur seringkali mengunjungi Jombang.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Selain itu, beliau tak mau membedakan yang ditemui. Masyarakat dari lapisan atas hingga lapisan menengah kebawah bisa saja menemui beliau. Sejak NU melebur dengan PPP beliau masih aktif menjadi politisi, tapi tak terlalu kentara. Beliau memang kurang suka menonjolkan diri sebagai politisi. Menurutnya, bermain di panggung politik adalah semata-mata untuk niat beribadah bukan mencapai kekuasaan tertentu. Sosoknya pun lebih kental sebagai seorang aktivis muslimat ketimbang politisi.

Posisi beliau sebagai politisi memang untuk menarik gerbong kaum perempuan di muslimat NU. Kegiatan sosialnya di NU sudah mendarah daging. Menurut beliau, jika segala urusan sudah menyangkut NU, maka akan menyerahkan segala milik beliau. Kata beliau darahnya berwana hijau selayaknya lambang muslimat (baca “Muslimah di Garis Depan, Sebuah Biografi).

Pada waktu Muktamar NU di Purwokerto, sang mertua, Kiai Hasyim memberikan wejangan kepada beliau untuk tidak menjabat sebagai ketua Muslimat NU. Walaupun demikian, beliau tetap aktif dan memberikan kontribusi di NU. Mungkin saja, Kiai Hasyim beranggapan bahwa beliau belum matang dan siap. Sebuah organisasi muslimat yang awalnya bernama NOM itu tak bisa ditinggalkan. Di situlah tempat Nyai Solichah menyalurkan ide-ide perjuangan. Baginya aktif di Muslimat NU bukan untuk mencari jabatan atau kepentingan lainnya, tetapi semata-mata ibadah dan mengabdi.

Seiring dengan berjalannya waktu, karirnya terus naik daun, sehingga mulai konggres ke-4 hingga ke-9 beliau menjabat posisi strategis. Bahkan posisi-posisi it uterus beliau jabat hingga kongres ke-11 dan 12. Lebih dari 20 tahun lamannya mengabdikan diri di muslimat NU, bahkan bisa dikatakan sepanjang hayatnya.

Terlibat Penumpasan PKI

Selama aktif di NU, Nyai Solihah tulus mengabdikan dirinya. Ketulusannya dalam mengabdi dan pengalamann beliau dalam berorganisasi menjadikan beliau kaya akan pengalaman. Sedikit perempuan yang mampu menjadi perempuan hebat karena kerja keras di zaman beliau. Yang masih terekam dalam memori publik mengenai kiprah Nyai Solichah di Muslimat NU adalah saat di mana beliau terlibat dalam penumpasan gerakan PKI.

Sebagai tokoh perempuan yang dekat dengan orang nomor satu dan pejabat di bawahnya, serta perwakilan NU yang berada di garis terdepan, beliau tak tahan jika negaranya di obok-obok oleh mereka yang mencoba berbuat tak pantas. Jika dirunut kemari saat kasus PKI mencuat kembali, pendapat beliau seakan kontras dengan anak lanang beliau, Gus Dur, tapi sama diamini oleh sikap Gus Sholah. Lagi-lagi perbedaan di antara ibu, bapak, dan anak anaknya, sudah biasa.

Mendamaikan Dua Kubu NU

Selanjutnya, beliau juga ikut serta mensosialisasikan program keluarga berencana. Gerbongnya sebagai wadah kaum perempuan membuat pemerintah beriringan menggandeng beliau. Terakhir, Nyai Solichah ikut mendamaikan kelompok NU yang bersebrangan. Dalam perjalanannya, di tubuh NU pernah mencuat dua kubu, kubu Cipete dan Kubu Sitobondo. Tajamnya perbedaan menyebabkan NU terbelah menjadi dua kelompok besar.

Munculnya kedua belah kubu tersebut membuat beliau gusar. Amat disayangkan jika NU pecah. Akhirnya beliau mendatangi kedua kubu tersebut. Pertemuan pun terwujud dirumah Kiai Hasyim Latif, karena di Matraman kedua belah pihak tidak mau hadir. Keduanya pun lantas mau bertemu dan tidak memaksakan kehendaknya. Konon saat anaknya, Gus Dur bersebrangan politik dengan pamannya, KH. Yusuf Hasyim, Nyai Solichah juga yang mendamaikan. Keduanya hampir tak bisa akur dalam hal politik. Bagaiamanapun juga Kiai Yusuf Hasyim sering diminta untuk mengalah kepada Gus Dur oleh Nyai Solichah.

Perbedaan politik wajar, dan hubungan keluarga tetap akur. Bani Hasyim tetap kuat dan solid. Nah, ini kadangkala sering dimaknai berbeda oleh orang yang tak tahu. Dalam hal ini, saya hanya mendengar saja bukan sok tahu persisnya seperti apa. Saya melihatnya, Demokrasi di keluarga Tebuireng memang berjalan dinamis dari dahulu. Tokohnya banyak yang ikut partai yang beda-beda. Namun, kalau sudah urusan keluarga atau ketebuirengan semuanya sama mau memikul bersama, indah bukan?

Peristiwa kubu-kubuan di tubuh NU kini terjadi lagi di muktamar 33 di Jombang. Sayang, hingga hari ini memakan waktu lama. Saling kukuh berjalan di tempatnya masing masing. Hilangnya tokoh yang dapat merangkul kesemuanya, menjadikan NU benar-benar krisis tokoh kharismatik, baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan. Tentunya tak ada yang menginginkan hal ini. Lantas, apakah harus sampai menunggu munculnya tokoh sekaliber Nyai Solichah Wahid?


*Direktur Penerbit Tebuireng