Hj Khoiriyah hasyimOleh: Ahmad Faozan
“Sewaktu hidup bersama suaminya, Kiai Haji M.Makshum bin Ali, pengarang kitab Amtsilatu Tasrifiyah pernah bersama mendirikan pesantren Seblak, dan memimpin pesantren tersebut selepas di tinggal suaminya, ‘wafat’ kurang lebih lima tahun”. Selanjutnya setelah beliau di dipersunting kiai Muhaimin, Lasem, aktif di dunia pendidikan, mendirikan lembaga pendidikan bagi kaum perempuan di Makkah, Madrasatul Banat.Selain sebagai penggerak pendidikan bagi kaum perempuan di luar negeri maupun dalam negeri, Nyai Khairiyah Hasyim juga seorang Desainer handal. Salah satu karya yang dijadikan kebanggaan santriwati seblak, yakni kerudung rubu. Hingga kini pun menjadi identitas santri seblak.” Hebat, bukan?
Dalam lingkungan kita sering terdengar Kaum perempuan pesantren hanya sebagai orang yang selalu berada dalam bayang_bayang lelaki, suaminya. Tiga istilah populer, konco wingking, dapur, sumur, dan kasur. Pendidikan didalam keluarga juga banyak diutamakan anak laki laki. Perempuan cukup tamat ini,…toh nantinya ikut Si suami. Bagi yang Neng, putri kiai, kiprah mereka kurang begitu terdengar kencang. Paling banter ngimammi santri putri dan menggelar pengajian bagi kaumnya, dalam lingkungan NU Muslimatan namanya.
Diluar itu waktunya banyak dihabiskan didalam rumah. Dalam kajian kitab kuning posisi perempuan juga sering di tafsirkan dengan pandangan kaum laki laki. Misalnya, larangan menjadi hakim menurut sebagian ulama(baca kontroversi Hakim perempuan, Djazimah Muqadas, Lkis). Bila melihat sejarah kebelakang lagi selalu dijadikan tumbal di masyarakat sebelum Islam. Nasibnya kurang baik. Tak hanya di Islam, sebenarnya. Tapi, itu dulu.
Namun, mengapa mereka kaum perempuan selalu saja tersisihkan dalam kancah sosial dan politik. Datangnya Islam memberikan angin segar, meskipun sebagian memang masih kurang. dominasi kaum laki laki lebih dominan. Padahal dalam al qur an tersirat jelas ada pemuliaan bagi kaum perempuan, misal keberadaan surat an nisa. Kini insyaallah jauh lebih terpandang. Dalam konteks masyarakat Indonesia tokoh perempuan yang disembulkan masih sebatas sosok Kartini. Padahal pejuang perempuan lainnya selain Kartini juga yang masih banyak jika mau dimunculkan.
Apakah benar demikian adanya, gambaran umum mengenai kaum perempuan pesantren, yang terkesan amat sempit dan gerakannya kurang luwes? Anda boleh memandangnya dari berbagai sudut pandang yang berbeda, monggo! Pesantren Tebuireng sebagai salah satu lembaga pendidikan keagamaan memiliki beberapa tokoh besar, misalnya, pendirinya Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari yang juga merupakan pendiri NU, KH. Wahid Hasyim, dan lainnya. Dari kalangan perempuan juga tak kalah hebatnya dan layak dijadikan inapirasi, yakni Nyai Khoiriyah Hasyim.
Setidaknya menjadi inspirasi bagi kaum santriwati dimanapun menyantri. Harus bangga jadi santri, intinya begitu. Masih minimnya tokoh perempuan pesantren membuka peluang besar bagi Anda para santriwati. Tapi, itu urusan nanti, terpenting sekarang berproses menjadi santri dahulu. Menjadi manusia pintar, berkarakter dan berkepribadian mulia membutuhkan proses yang tidak instan. Nyai Khairiyah Hasyim lahir di Tebuireng, pada tahun 1906.
Beliau merupakan putri Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari pembesar NU. Mbaknya KH. A. Wahid Hasim sejak kecil mendapatkan pendidikan langsung dari ayahnya. Acapkali mengikuti pengajian ayahnya dari balik satir. Tak seperti saudara laki_lakinya yang mendapatkan kesempatan menimba ilmu diluar rumah. Kendati demikian, tak mengurangi semangat belajar keilmuan dan akhlak yang terpuji. Selain belajar ilmu Al-Qur’an juga belajar kitab kuning. Beliau memiliki ketekunan dan kemandirian dalam hal belajar, juga keberanian bilamana tak paham dengan apa yang dipelajari.
Jika menemui kesulitan dalam belajar maka dengan segera bertanya langsung kepada ayahnya. Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari merupakan pembimbing utamanya. Baik dalam hal keilmuan, kepribadian, dan hal lainnya. Tentu saja, ibunya juga ikut serta berkontribusi. Terlahir dari keluarga terdidik dan agamis begitu juga dengan lingkungannya, ikut serta mendorong Nyai Khoiriyah dalam belajar dan bergaul. Tentu hal itu menjadi istimewa. Tak semua orang bisa senasib dengannya. Kata sebagian orang beda nasab beda nasib. Tapi tidak juga, banyak orang nasab kurang baik tapi bisa melampui.
Entahlah, yang benar yang mana. Anda bisa berpendapat dan memiliki pandangan tersendiri. Putri Kiai Hasyim ini, tidak manja dan selalu mau berjuang keras untuk belajar dan hidup mandiri. Sehingga dasar pengetahuan agamanya berhasil diraihnya dengan sangat baik. Dengan begitu, cara pandang dan perilaku memiliki perbedaan tajam dengan mereka yang kurang bekal’ilmu’. Sebagaimana petunjuk kitab suci baik al qur an maupun al hadis, orang berpengetahuan akan mendapatkan derajat tinggi dan mulia.
Pada umur 13 tahun Nyai Khoiriyah Hasyim sudah terlihat dewasa. Maka dari itulah ayahnya lantas menikahkan dengan salah seorang santrinya yang pandai dan alim, yakni; KH. Ma’sum Ali, santri asal Maskumbambang, Gresik. Beliau merupakan salah satu santri senior Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng. Suami Nyai Khoiriyah dikenal pandai dan alim. Ahli dibidang ilmu falak, ilmu sharaf, dan ilmu lainnya. Kitab Amtsilatu Tasrifiyah yang selalu menjadi pegangan dan pedoman para santri di seluruh pesantren di Indonesia merupakan karya suami Nyai Khoiriyah. Konon kitabnya cetak pertama kai diluar negri.
Mendapatkan suami yang pandai dan alim tentu menjadikan beliau sangat bahagia dunia dan akhirat. Beliau pun banyak mengaji langsung kepada suaminya sebagai upaya untuk mengembangkan pengetahuan yang selama ini diperoleh dari ayahnya, beberapa kitab kuning yang dipelajari; kitab fiqh, hadis, Tafsir jalalain, Fathul Muin, Tahrir Asymuni, Jauhar Maknun Alfiyah, Jamiul Jawami, al-Hikam, dan lainnya. Setelah menikah dengan KH. Maksum Ali, Nyai Khoiriyah Hasyim menempati rumah sederhana di dusun seblak.
Jaraknya sekitat 300 Meter ke arah barat dari Pesantren Tebuireng. Ayahnya mendorong keduanya untuk mendirikan sebuah pesantren. Maka di atas tanah yang ditinggali berdirilah sebuah pondok pesantren. Kondisi desa tersebut sama seperti daerah Tebuireng tempo dulu, dimana masyarakatnya belum tercerahkan. Keamanan juga belum sepenuhnya dapat dirasakan. Namun tak merasa terusik sedikitpun dan mengurangi keharmonisan dalam perjalanan kehidupan keluarga saban harinya. Susah senang dan berjuang bersama membangun keuarga dan pesantrennya dijalani dengan ikhlas, tanggungjawab dan mandiri .
Pada tahun 1930 membuka Madrasah Salafiyah Syafiiyah, TK Ibtidaiyah yang masih tingkatan sifir awal dan tsani. Jika para santri ingin belajar lebih tinggi maka disuruh melanjutkan di Pesantren Tebuireng. Kiai Maksum Ali meski memiliki pesantren sendiri namun masih ikut mengajar di Tebuireng. Konon beliau juga pernah menjadi lurah pondok pesantren Tebuireng seperti KH. A. Wahab Hasbullah selama menyantri dibawah asuhan kiai Hasyim Asy’ari. Kehidupan Nyai Khoiriyah dengan suaminya berjalan penuh dengan keharmonisan.
Dikarunia dua putri, Abidah dan Jamilah. Keduanya inilah calon penerus perjuangan orangtuanya di Pesantren Seblak. Perjalanan pernikahan yang dibangun dengan Kiai Maksum Ali tiba_tiba roboh. Suaminya yang begitu dicintainya wafat. Tentu menjadi pukulan berat bagi Nyai Khoiriyah Hasyim. Beliau pun menggantikan suaminya menjadi pengasuh pesantren. Amat langka di zaman itu, perempuan menjadi pengasuh pesantren. Pesantren Seblak dalam kendalinya. Dari mulai urusan pengajian hingga pembinaan santri.
Beban yang berat dijalani dengan penuh keikhlasan dan semangat. Maka semua itu dapat terlewati dengan baik. Sepertinya hidup menyendiri tak membuatnya bertahan lama. Meskipun mampu menjalani semuanya, namun tetaplah butuh pendamping hidup. Suratan takdir menetapkan beliau mendapatkan teman hidup kembali. Jika suami pertama terkenal dengan orang alim dan ahli ilmu. Dan reputasinya tak ada yang meragukan, maka kalaupun menikah pastinya mendapat orang yang tak kalah cakapnya. Atau lebih baik setia sama satu orang walau si suami telah meninggal dunia. Ah, itu hanya keinginan atau pendapat kita, benarkah demikian? Semua tergantung orangnya. Wilayah privat, jika Anda berkomentar berlebihan bisa menyebabkan hal tak baik.
Pada tahun 1938 Nyai Khoiriyah Hasyim di persunting oleh KH. Muhaimin. Seorang kiai yang cakap ilmu dan alim. Beliau berasal dari Lasem Jawa Tengah. Suaminya merupakan kepala Madrasah Darul Ulum di Makkah. Setelah menikah maka Nyai Khoiriyah pun meninggkalkan kampung halaman. Beliau tinggal di Makkah bersama suaminya. Selama di Makkah, beliau melibatkan diri dalam dunia pendidikan. Bahkan, mendirikan lembaga pendidikan bagi kaum perempuan yakni, Madrasatul Bannat. Tentunya menjadi salah satu sosok perempuan pesantren pertama yang menjadi orang besar dan berpengaruh di tanah suci. Jika dari golongan laki_laki sudah sering kita dengar  dari Nusantara yang menjadi guru besar di tanah arab, seperti Syekh Yasin al fadani. Pertanyaan yang kemudian mengganggu pikiran kita, kenapa namannya kurang familiar dikalangan masyarakat Indonesia, bahkan mungkin masyarakat pesantren, kontras dengan Kartini. Seorang tokoh perempuan dari Jepara yang selalu di peringati pada bulan April dalam saban tahunnya.
Meskipun demikian, tak perlu berkecil hati Anda para santriwati. Jika ingin seperti beliau, sangat bisa. Lebih_lebih para santriwati yang hidup di zaman sekarang, dimana akses buat kaum hawa semakin terbuka luas. Dimana banyak jabatan strategis di negeri ini pernah dan sedang di tempati kaum perempuan. Tapi itu semua, tak perlu di besar_besarkan, belajar di pondok harus diniati semata mata mencari ilmu, bukan mencari yang lainnya. Bila Anda ingin jadi orang besar bukan di Pesantren. Lo sekedar kepingin ndak masalah. Terpenting berproses mengisi dan menghiasi diri dengan ilmu. Jika tidak akan menodai dan mengotori niat suci para santriwati yang belajar di Pesantren dan membawa diri kearah gagal fokus.
Di Makkah kehidupan Nyai Khoriyah Hasyim kembali menemui jalan pahit dan getir. Dimana suami yang begitu dicintai dan disayangi kembali meninggalkannya. Dua lelaki hebat yang pernah bersanding dengannya selalu diambil sang Maha Hidup lebih dahulu. Setelah, Kiai Muhaimin wafat pada tahun 1956 Nyai Khairiyah pun tetap sabar menerima semuanya dengan ikhlas. Mengingat, semua adalah milik Allah. Kapanpun dan dimanapun seseorang harus siap terhadap segala apa yang dipunyai akan diambil yang Maha Kuasa cepat atau lambat. Selama 20 tahun lebih beliau hidup di Makkah, tentu bukan waktu yang singkat. Kepulangannya ke tanah kelahirannya, Indonesia berkat ajakan Presiden Soekarno. Beliau selaku orang nomor satu di republik ini, membutuhkan sosok orang hebat untuk diajak berjuang bersama membangun negeri ini, maka Putri Hadrtussyaikh ini mau pulang. Sejak kepulangannya dari tanah suci, beliaupun menuju Jombang. Dimana keluarga berkumpul disana.
Intelektualitas Nyai Khairiyah Hasyim tidak ada yang meragukan. Baik terhadap penguasaan terhadap kitab kuning, manajemen pendidikan, ketrampilan, dan lainnya. Di lingkungan Nahdliyin pun mendapat tempat yang strategis. Di komisi batsul masail, tempatnya kiai beradu argumen mengenai banyak permasalahan. Yang aktual dan faktual. Di dalam pesantrennya juga menguji para imam shalat bagi kaum laki laki. Perempuan cakap ini tentunya amat dibanggakan dalam kalangan masyarakat pesantren. Minimnya perempuan hebat dari pesantren, baik dari segi keilmuan dan luasnya pengalaman menjadikan kita sangat tidak berlebihan, jika menjulukinya sebagai tokoh perempuan pesantren.
Selain ahli ilmu Nyai Khoiriyah Hasyim juga memiliki ketrampilan, yakni mendesain dan membuat kerudung buat kaum perempuan, bernama Rubu’. Karyanya tersebut dilatari oleh salah satunya fenomena kerudung yang saat itu dipandangnya kurang elegan. Desainer Perempuan dari pesantren Seblak pun menjadikan seragam wajib bagian atas bagi para santrinya. Hingga kini pun kerudung rubu menjadi identitas santriwati Seblak.
Dalam Islam ada beberapa perempuan yang layak dijadikan inspirasi. Seperti, Khadijah, Aisyah, Adawiyah, dll. Nyai Khairiyah merupakan salah satu representasi dari kaum hawa yang berasal dari pesantren. Beliau tak kalah hebat dengan orang_orang hebat di zamannya baik yang dari kalangan laki laki maupun perempuan. Sampai kapanpun, namanya akan selalu harum. Layak, bagi anda para kaum perempuan yang sedang berproses belajar utamanya santriwati yang ada di Pesantren.
Untuk mengukir kesuksesan di zamannya. Munculnya stigma miring terhadap kaum perempuan tak perlu disikapi emosional atau berlebihan. Terpenting adalah memupuk semangat belajar. Hanya dengan ilmu engkau dan kita bisa meraih apapun. Perempuan hebat seperti beliau membantu membukakan mata kita untuk tidak sebelah mata terhadap kaum perempuan. Jika para santriwati memiliki kesempatan yang sama utamanya dalam pendidikan misalnya, bukan mustahil jika mereka bisa menjadi orang hebat di zamannya. Menghiasi diri dengan ilmu kunci utamanya.

*Direktur Penerbit Tebuireng
Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online