Nyai Farida Salahuddin Wahid, ceritakan kisah hidup bersama ayah, KH. Saifuddin Zuhri, kepada para santri Tebuireng dalam acara bedah buku menjelang Hari Santri Nasional 2018, Jumat (19/10/2018). (Foto: Kopiireng)

Tebuireng.online- Nyai Hj. Farida Salahuddin Wahid  berbagi cerita tentang sosok Prof KH Saifuddin Zuhri, dalam acara bedah buku ”Mendidik Kader Bangsa Nasional Religius” yang diselenggarakan oleh Penerbitan Tebuireng. Pada kesempatan itu, Nyai Farida begitu antusias menceritakan masa kecilnya bersama sepuluh saudaranya dalam didikan orangtua kepada para santri dan undangan.

Jumat (19/10/2018) di aula KH Yusuf Hasyim itu, Nyai Farida menceritakan dengan detail kisah hidup serta perjalanan sang ayah. Dalam ceritanya, remaja Saifuddin Zuhri merupakan komandan Laskar Hizbullah Jawa Tengah, mengingat waktu tersebut Saifudin sekeluarga tinggal di Purworejo lalu pindah ke Semarang. KH. Saifuddin Zuhri mempunyai tanggung jawab besar di samping tanggung jawab keluarga.

“Sosok KH. Saifuddin Zuhri juga merupakan penulis, mulai dari harian sampai sehari-harinya menulis,” ungkap istri KH Salahuddin Wahid ini.

Nyai Farida sudah dididik oleh Ayahnya dengan sarana Kliping yang pada saat itu sang Ayah berlangganan koran ANTARA. Di samping kliping, Nyai Farida juga dituntut untuk menulis. Dalam pemaparan ceritanya, kalimat yang diingat oleh Nyai Farida atas perintah ayahnya adalah, “kamu harus bisa!”. Atas hal itu, Nyai Farida diberi tugas untuk kliping. 

Selain itu, ungkap Nyai Farida di samping pendidikan tulis-menulis, orangtua juga terbiasa mengajarkan komunikasi yang diawali dalam keluarga. Ada yang unik dalam keluarga besar ini, karna jumlah anggota keluarga yang mencapai dua belas orang, KH. Saifudin Zuhri sampai membeli dua set meja makan untuk keluarganya. Kesepuluh anak ini harus duduk sesuai urutan kelahirannya, pada waktu malam keluarga ini terbiasa makan dengan lauk tahu atau tempe, namun waktu makan malam ini sungguh berharga hingga memakan waktu satu jam lebih.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Apa yang kamu kerjakan dalam satu hari? Dari mulai bangun tidur hingga sekarang ini, mulai dari yang paling besar dulu,” tanya KH Saifudin Zuhri kepada anak-anaknya pada waktu makan malam, ungkap Nyai Farida pada santri dengan penuh kenang.

“Saya menyadari betul hal itu mengajarkan komunikasi buat kami, nggak boleh egois gitu,” imbuhnya.

Dari kesekian anak, ada tiga anak yang eksklusif diajar mengaji langsung oleh KH Saifudin Zuhri, termasuk Nyai Farida. Masa remaja Nyai Farida seringkali memprotes sang Ayah tentang untuk apa belajar fikih, nahwu, dan lain-lain. Namun, hal itu tetap diajarkan dengan kepercayaan bahwa ilmu itu akan bermanfaat. Pada masa SMA Nyai Farida dimasukkan dalam dunia pesantren di yayasan Khadijah dengan sistem mu’allimat. Dalam perjalanannya mencari ilmu, Nyai Farida remaja menyadari bahwa suatu saat ia akan menjadi guru dan panutan bagi anak-anaknya nanti.

Keluarga besar tersebut memiliki satu orang pembantu yang hanya ditugasi berbelanja, sementara urusan bersih-bersih menjadi bagian anak-anak yang sudah mempunyai tugas masing-masing. Kebebasan bercita-cita diberikan KH. Saifudin Zuhri kepada anak-anaknya, di mana hal itu merupakan tanggung jawab masing-masing individu. Ketika masuk sebagai keluarga pesantren Tebuireng dengan nilai-nilainya, hal itu sudah menjadi kebiasaan bagi Nyai Farida karena didikan sang Ayah.


Pewarta: M. Falikh

Editor/Publisher: RZ