Ilustrasi oleh: Dzikron

Oleh: KH. Salahuddin Wahid

Seorang kawan dekat saya alumnus ITB yang amat peduli terhadap persatuan Islam berkirim pesan melalui WA tentang kerisauannya saat mendengar bahwa ada dua tokoh NU yang akan maju dalam Pilgub Jawa Timur (Jatim) 2018. Saya menjawab, sejak 2008 banyak tokoh NU maju Pilgub Jatim.

Saat itu PKB di bawah komando Gus Dur mencalonkan Ahmadi dan Soehartono, Ali Maschan Moesa (ketua PW NU Jatim) menjadi cawagub dari Soetjipto (PDIP), Khofifah berpasangan dengan cawagub Mujiono, dan Saifullah Yusuf menjadi cawagub dari Soekarwo. Jadi, dari 5 pasangan calon, ada 4 tokoh NU.

”Keretakan” atau pertentangan di kalangan NU terkait dengan pemilihan langsung terjadi sejak Pilpres 2004. Saat itu ada empat tokoh dari NU yang maju, yakni Hasyim Muzadi, Hamzah Haz, Jusuf Kalla, dan Salahuddin Wahid. Yang aktif dalam organisasi dua, yaitu Hasyim Muzadi dan Salahuddin Wahid. Munculnya dua nama terakhir itulah yang memulai ”tradisi” munculnya dua tokoh NU dalam pemilihan langsung. Ironisnya, dua nama tersebut justru tidak terpilih.

Kondisi tidak ideal itu adalah fakta yang harus kita terima. Tidak ideal karena NU bukanlah organisasi politik, tetapi dipaksa terlibat politik praktis akibat tindakan tokoh-tokohnya. Kalau pada 2004 hanya ada satu tokoh NU yang muncul dalam pilpres, mungkin kondisi ideal bisa kita wujudkan dalam setiap pemilihan langsung oleh rakyat.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pilpres 2004

Pada akhir Oktober 2003 saya sowan ke rumah Rais Aam Syuriah PBNU KH Sahal Mahfudz di Kajen, Pati. Saat itu saya sampaikan bahwa NU akan menghadapi masalah besar terkait dengan Pilpres 2004. Beliau bertanya ada urusan apa NU dengan pilpres, kan NU bukan parpol. Saya sampaikan bahwa ada kemungkinan dua tokoh NU berpotensi maju dalam Pilpres 2004, yaitu Gus Dur dan Hasyim Muzadi. Kalau itu terjadi, warga NU terbelah.

Hasyim didorong banyak pengurus NU di tingkat nasional dan daerah untuk maju sebagai cawapres. Dalam pandangan umum pada Konbes NU (2002), sudah ada tokoh NU daerah yang mengusulkan Hasyim menjadi cawapres. Bahkan, ada konferensi persnya.

Saya usulkan kepada Rais Aam untuk memanggil Gus Dur dan Hasyim serta ketua umum PKB untuk mengantisipasinya. Saya sampaikan bahwa hanya boleh ada satu tokoh NU yang maju sebagai capres. Itu pun harus melalui PKB. Kalau Gus Dur bisa menjadi capres, kita harus mendukung Gus Dur. Kalau Gus Dur tidak memenuhi syarat capres, tidak otomatis ketua umum PBNU menjadi capres PKB. PBNU bersama PKB memilih capres dari PKB yang diambil dari beberapa nama dari NU atau PKB yang punya potensi.

Rais Aam menjawab, sesuai khitah, NU tidak boleh berpolitik praktis. Karena itu, beliau menolak usul saya. Saya sampaikan bahwa melibatkan PBNU dalam kegiatan yang mengantisipasi ”perpecahan” di NU bukanlah tindakan masuk ke dalam politik praktis. Kita seperti mencegah bahaya yang mengancam rumah kita. Tetapi, Rais Aam tetap pada pendirian. Seandainya beliau menyetujui usul saya, PBNU bisa mengawali tradisi membuat mekanisme memilih satu tokoh NU dari sekian banyak pilihan.

Hasyim, yang sejak cukup lama melakukan kontak intens dengan Megawati, akhirnya menjadi cawapres, mendampingi Megawati. Saya, yang pernah berusaha mencegah munculnya dua calon dari NU, ternyata juga menjadi cawapres, mendampingi Wiranto. Saya sungguh tidak pernah menduga terjadinya hal itu. Selama 2003 sampai April 2004, saya tidak pernah kontak dalam bentuk apa pun dengan Wiranto terkait dengan masalah tersebut. Satu-satunya kontak dengan Wiranto saat itu berkaitan dengan masalah dugaan pelanggaran HAM berat.

Pilgub Jatim 2013

Sekitar 7 bulan sebelum Pilgub Jatim 2013, bersama sejumlah kiai saya menemui pihak PWNU Jatim untuk mencegah munculnya dua tokoh NU dalam pilgub sebagaimana pilgub 2008. Kami mengusulkan agar PWNU Jatim mempertemukan Khofifah dan Saifullah Yusuf untuk tujuan tersebut. Ternyata, PWNU Jatim tidak bisa melakukan apa yang diharapkan. Masalah itu dibawa ke PBNU dan ternyata PBNU juga tidak bisa melakukan apa-apa.

Kalau pada 2013 PWNU Jatim dan PBNU gagal mencegah Saifullah untuk menjadi cawagub mendampingi Soekarwo melawan cagub Khofifah yang merupakan ketua umum Muslimat NU, jelas pada 2018 PWNU dan PBNU tidak akan mampu mencegah Saifullah untuk menjadi cagub. Juga, memang PBNU dan PWNU Jatim tidak perlu melakukan tindakan itu. Tetapi, kedatangan ketua umum PBNU ke rumah Megawati menemani Saifullah perlu dipertanyakan. Sebab, tindakan itu merendahkan marwah NU.

Faktanya, ada dua tokoh NU yang akan maju dalam Pilgub Jatim 2018. Yang perlu dijaga, jangan sampai perbedaan pilihan itu berdampak di internal NU, yang kini sudah mulai tampak gejalanya. Para tokoh NU Jatim harus bisa menahan diri dalam membantu calon yang didukung. Tidak bisa diterima alasan bahwa mereka bertindak atas nama pribadi. Jabatan itu melekat pada dirinya.

Harus dihindari kampanye negatif yang menjelekkan atau menyerang lawan, apalagi kampanye hitam yang memfitnah. Para tokoh NU dari kedua kelompok perlu bertemu dan membahas etika kampanye. Warga dan tokoh NU harus bisa mewujudkan persaingan internal yang sehat. Jangan sampai tokoh NU yang selalu bicara tentang moderatisme justru tidak moderat terhadap sesama tokoh NU. (*)


*Tulisan ini telah dimuat di Harian Jawa Pos pada Sabtu, 11 November 2017, dimuat ulang untuk kepentingan pendidikan