Rika Iffati Farihah, salah satu narasumber yang bergelut di bidang psikologi, memaparkan materi di Konferensi Pemikiran Islam Indonesia yang digelar di Museum Islam Indonesia Hasyim Asy'ari (MINHA), Sabtu (24/08/2024).
Rika Iffati Farihah, salah satu narasumber yang bergelut di bidang psikologi, memaparkan materi di Konferensi Pemikiran Islam Indonesia yang digelar di Museum Islam Indonesia Hasyim Asy’ari (MINHA), Sabtu (24/08/2024).

Tebuireng.online- Di Konferensi Pemikiran Islam Indonesia yang digelar di Museum Islam Indonesia Hasyim Asy’ari (MINHA), Sabtu (24/08/2024), Rika Iffati Farihah, salah satu narasumber yang bergelut di bidang psikologi mengaku prihatin dan kaget dengan adanya berita yang beredar terkait pelecehan seksual pada santri di kalangan pesantren. 

Menurut aktivis Fatayat NU DIY ini, hal demikian merupakan sesuatu yang bertentangan dengan agama Islam, karena hal demikian bertentangan dengan apa yang diajarkan dalam pesantren, yang mana terdapat penghormatan yang sangat besar terhadap perempuan, juga cerita bagaimana perlakuan Nabi yang menjunjung tinggi kehormatan perempuan pada zaman itu. 

Alumnus magister sains psikologi UGM ini, saat diwawancarai, mengatakan bahwa, faktor yang paling banyak memicu terjadinya pelecehan seksual adalah relasi kuasa yang timpang, di mana oknum tersebut menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan apa yang diinginkan. Menurutnya, selain lingkungan pesantren seperti pada berita yang marak beredar, permasalahan demikan hampir paling banyak terjadi di dunia perkuliahan. Dicontohkan seperti ketika di kampus terdapat dosen dengan kuasanya mengancam memberi nilai buruk pada mahasiswa yang tidak menuruti keinginannya. 

Oleh karena itu, Rika juga menekankan bahwa perempuan memiliki hak untuk kritis, serta melakukan perdebatan jika mengalami ketidakadilan. 

“Padahal seperti yang kita dengar perdebatan atau kritis, protes itu boleh banget, kalau kita melihat ada ketidakadilan atau keliru, boleh banget kita ngomong bahkan ke orang yang kita hormati,” jelasnya. 

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ia menilai, kejadian demikian membutuhkan gerakan yang lebih kuat dari kalangan baik sesama kaum perempuan, sesama santri, Ibu Nyai, dan sebagainya, untuk keterbukaan mengatasi permasalahan demikian. Sebab tidak jarang korban memiliki ketakutan dan kebingungan bagaimana harus menceritakan permasalahannya. 

“Baik kita laki-laki atau perempuan harus mempunyai kepercayaan diri, agency untuk melakukan sesuatu, kalau bahasa sekarang speak up,” kata kakak dari Ning Ema Terbuireng itu. 

Selain itu, jika dirasa lingkungan tidak mendukung atau sedang berada di lingkungan yang toxic, menurut Rika kita bisa menghubungi teman lain atau pihak lain seperti dengan menghubungi hotline yang telah banyak tersebar di setiap daerah untuk menuntaskan permasalahan tersebut. Tidak hanya itu, di zaman digital ini, menurut Rika, kita dapat dengan lebih mudah menyadarkan ke banyak orang, khususnya perempuan agar lebih waspada. 

“Kalau zaman sekarang tidak harus pintar menulis di media massa, asal punya akses gadget ya, kita bisa tetap bisa menyuarakan kegelisahan kita,” ucapnya. 

Adapun kiat-kiat yang dapat dilakukan adalah mempelajari ilmu pengetahuan, informasi tempat pelaporan jika terjadi hal demikian, kemudian apa saja yang merupakan bentuk pelecehan, sebab bentuk pelecahan sendiri tidak harus saling bersentuhan, namun dari ucapan ataupun humor seksis sudah masuk kategori pelecehan verbal. 

“Nah, kalau kita membekali diri kita dengan ilmu pengetahuan, informasi-informasi, insyaAllah lebih mudah untuk menghindari hal hal seperti itu,” pungkasnya. 

Baca Juga: 3 Karakteristik Perempuan yang Hadir dalam Sejarah

Pewarta: Ilvi Mariana