Oleh: Ustadz Muhammad Idris & Ustadzah Nailia Maghfirah*
Sering kali ta’aruf dikenal seperti pacaran, maka bagaimanakah yang dinamakan ta’aruf itu? Lalu adakah batas-batasnya dan apa saja hal-hal yang diperbolehkan dalam ta’aruf?
Rifqy – Probolinggo
Terima kasih kepada penanya yang dirahmati Allah. Mudah-mudahan senantiasa mendapat limpahan hidayah dan rahmat dari-Nya. Amiin yaa rabbal ‘alamiin. Adapun jawabannya sebagai berikut ini:
Dewasa ini, bukanlah hal yang baru lagi ketika kita melihat pasangan pemuda pemudi di pinggir jalan, di kafe, jembatan, atau di tempat-tempat publik lainnya. Mereka nampak asyik mengumbar kemesraan, menunjukkan betapa bahagianya mereka saling memiliki satu sama lain di balik sebuah jalinan hubungan yang kita kenal dengan istilah pacaran.
Dalam Islam, hubungan yang menimbulkan aktivitas semacam ini sangatlah jelas tidak diperbolehkan, sebab sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW berikut ini;
عَنْ أَبِي مَعْبَدٍ، قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ، يَقُولُ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَقُولُ: «لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ، وَلَا تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَم
“Tidak boleh antara laki-laki dan wanita berduaan kecuali disertai oleh muhrimnya, dan seorang wanita tidak boleh bepergian kecuali ditemani oleh muhramnya.”(HR. Muslim)
Diantara penyebab syari’at mengharamkan aktivitas semacam ini ialah dikarenakan hal tersebut merupakan sebuah langkah menuju perzinaan. Karenanya, Allah SWT berfirman dalam Al Quran bahwasannya yang diharamkan ialah bukan hanya berzina, namun mendekatinya pun tidak diperbolehkan.
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk (Q.S. Al-Isra: 32)
Dalam Islam sendiri, hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram telah dicover dalam sebuah syari’at yang disebut pernikahan. Rasulullah Muhammad SAW dalam sabdanya juga telah menganjurkan kepada para umatnya yang telah mampu untuk menikah agar sesegera mungkin menikah, sebagai bentuk penjagaan diri dari berbagai fitnah yang menuntun menuju kemaksiatan.
قَالَ لَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاء
“Rasulullah sallallahu alaihi wasallam mengatakan kepada kami, “wahai para pemuda siapa di antara kamu yang memiliki kemampuan, maka menikahlah. Karena sesungguhnya nikah itu dapat menahan/memelihara pandangan (dari maksiat) dan menjaga kemaluan (dari hubungan seksual yang diharamkan) dan barang siapa yang belum mampu, hendaknya ia berpuasa karena itu menjadi pengendali baginya”.
Terkait dengan konsep hubungan antara pemuda pemudi tidak dikenal adanya konsep lain selain pernikahan, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW di atas yang menjelaskan pentingnya sebuah pernikahan.
Adapun yang cukup sering kita kenal dengan istilah ta’arruf(perkenalan) antar lawan jenis ialah sebuah proses perkenalan antara dua insan manusia yang biasanya berada dalam rangkaian tahap pencarian kecocokan menuju kehidupan berkeluarga yang dikenal dengan pernikahan, dan hukum ta’aruf ini boleh selama sesuai koridor syari’at, yakni dengan dua cara yaitu; pertama, mengirimkan utusan wanita untuk kemudian melihat dan mensifati wanita tersebut. kedua, melihat sendiri dengan batasan wajah dan kedua telapak tangan. Sebagaimana keterangan yang terdapat dalam kitab al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu berikut ini;
والشرع أباح التعرف على المخطوبة من ناحيتين فقط الأول عن طريق إرسال امرأة يثق الخطيب تنظر إليها وتخبره بصفتها – إلى أن قال – وللمرأة أن تفعل مثل ذلك بإرسال رجال فلها أن تنظر إلى خاطبها فإنه تعجبه منه ما يعجبه منها . الثانية النظر مباشرة من الخاطب للمخطوبة للتعرف على حالة جمال وخصوبة البدن فتنظر إلى الوجه والكفين والقامة.
Dalam redaksi di atas menerangkan bahwa syara’ memperbolehkan ta’aruf atas wanita yang ingin dinikahi dari dua arah saja, pertama: dari arah seseorang itu mengirimkan seorang perempuan yang adil pada wanita yang ingin dinikahi, untuk melihatnya dan memberitahu sifat-sifatnya. Kedua: seorang tersebut melihat langsung pada wanita yang hendak dia nikahi untuk ta’aruf (mengetahui) kecantikannya dan kesuburan badannya, maka dia melihat pada wajah dan telapak tangannya serta postur tubuhnya.
Adapun, yang di luar dari dua hal tersebut maka tidak diperbolehkan. Hal ini mengingat konsekuensi yang ditimbulkannya seperti nadhor (memandang lawan jenis), khalwah (berduaan dengan lawan jenis), dan terjadinya fitnah. Sebagaimana kaidah Fiqih yang kita kenal; dar’ul al mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al mashalih (Menolak kerusakan-kerusakan didahulukan daripada mengambil kemaslahatan).
Sementara pacaran, baik yang diteruskan ke jenjang pernikahan maupun yang tidak, meski di mata masyarakat sekelompok orang dianggap wajar, tetapi secara syariat sulit dipertanggungjawabkan. Karena itu syariat tidak membolehkan pacaran sebagaimana dipraktikkan kalangan muda saat ini, yang lazimnya tidak hanya saling memandang, tapi lebih jauh lagi, dengan bersolek-menyolek, berpegangan, bahkan makin banyak yang sampai berhubungan seksual.
Dengan demikian, pacaran dalam praktiknya mendorong pada penyimpangan yang sudah tentu tidak bisa dibenarkan. Makin maraknya kasus hamil di luar nikah, aborsi, dispensasi nikah akibat hamil duluan, menegaskan makin mengkhawatirkannya praktik pacaran. Untuk keperluan pernikahan, syariat memberikan solusi dengan istilah khitbah yang bertujuan agar calon pasangan suami-istri bisa saling mengenali, memahami karakter, dan sifat-sifat secara mendalam.
Sekian jawaban singkat dari tim redaksi kami. semoga bermanfaat dan bisa dipahami dengan baik. Wallahu ‘alam bisshowab.
*Penulis adalah Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.