Sumber foto: https://joglosemarnews.com/2018/05/kemenag-sudah-keluarkan-200-nama-mubalig-yang-bisa-mengisi-ceramah-berikut-ini-nama-nama-mereka/

Oleh: Yuniar Indra Yahya*

Semua agama, dalam lingkup masing-masing pasti ada kewajiban bagi setiap pemeluknya untuk menyebar agamanya. Kristen misalnya, Matius 28:19-20 : Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman[1]. Di TV para pendeta membuka majelis-majelis yang mempertontonkan kesaktiannya dalam menyembuhkan umat Kristen yang sakit.  Atau yang pernah dilakukan oleh Ordo Yesuit (1539-1550) dengan cara membentuk a military company of Yesus. Pada saat itu salah satu pengikutnya, Fransiscus Xaverius mendirikan sekolah-sekolah di Ambon sebagai upaya kristenisasi[2].

Tak hanya Kristen, penyebaran agama Islam (tauhid) atau biasa disebut dakwah juga mendapat posisi penting dalam agama Islam. Terbukti pada ayat Al-Quran:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ اُمَّةٍ رَّسُوْلًا اَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَۚ فَمِنْهُمْ مَّنْ هَدَى اللّٰهُ وَمِنْهُمْ مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلٰلَةُ ۗ فَسِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَانْظُرُوْا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِيْنَ

Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah, dan jauhilah Thagut[3]”, kemudian di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula yang tetap dalam kesesatan. Maka berjalanlah kamu di bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan (rasul-rasul). (Surat An-Nahl:36).

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Setiap masa pasti diutus oleh Allah seorang Rasul yang bertugas menyerukan keesaan  Allah. Berawal dari anak-anak Adam yang mulai membuat berbagai kerusakan di muka bumi ini. Akhirnya, Allah mengutus Nuh sebagai Rasul untuk memperbaiki mereka. Tak hanya kepada manusia, Nuh juga ditugaskan berdakwah kepada para jin[4]. Tujuannya hanya satu, yakni menunjukkan bahwa tiada Sang Pencipta selain Allah, Fa’lam Anna La Ilāha Illa Allah (ketahuilah bahwa tiada Tuhan selain Allah). Sampai pada nabi paling akhir Muhammad SAW. Untuk kemudian diteruskan oleh para ulama’ sebagai penerus dakwah para Nabi.

Namun, beberapa waktu lalu penulis sedikit miris ketika ada sebuah majelis dakwah tapi malah isinya jauh dari pada Fa’lam Anna Lā Ilāha Illa Allah. Betul tampilan mereka bak orang yang mengikuti kanjeng Nabi, atas putih bawah putih. Tapi isinya hanya ujaran kebencian kepada pemerintah. Lebih dari sebuah kritik, mereka mencaci beberapa pemimpin-pemimpin negara. Kelihatannya mereka hanya berlindung di balik selimut agar tidak terkena obrak-obrak  polisi.

Bayangkan saja, salah seorang jamaah meminta waktu satu menit untuk berbicara di depan majelis. Ia mendoakan agar presiden diberi umur pendek. Mungkin itu hanya pendapat pribadi salah satu oknum saja. Dilihat sekilas saja itu sudah bentuk penghinaan terhadap pemerintah. Yang notabenenya adalah wasilah antara syariat Islam dengan sebuah negara. Penghinaan terhadap pemimpin juga termasuk tindakan yang tidak dibenarkan dalam Islam.

مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللهِ فِي الأَرْضِ أَهَانَهُ اللهُ (رواه الترمذي

Barang siapa yang menghina pemimpin maka ia akan dihinakan oleh Allah.

Yang menjadi sorotan saya bukan ucapannya. Namun tindakan mereka telah menyalahgunakan nama mereka sebagai pembela Islam. Untuk mengkritik pemerintah dengan cara-cara yang kurang bijak. Akhirnya nilai-nilai Fa’lam Anna Lā Ilāha Illa Allah tidak tersampaikan. Kajian-kajian fikih juga dikesampingkan.

Kembali Ngaji Kitab

Penyebab fenomena tersebut tak ayal disebabkan oleh penceramah-penceramah yang hanya berpidato di atas panggung tanpa mengkaji kitab-kitab ulama’. Akibatnya, alur pembicaraan yang mereka sampaikan tidak tentu arah. Majelis dakwah yang seharusnya sebagai ladang kaum muslimin memperoleh ilmu. Malah digunakan untuk panggung olok-olok kelompok lain.

Kalaupun memang yang dikatakan mereka ada benarnya. Tak sepatutnya mereka menyampaikan kritik dengan cara seperti itu. Ada cara yang lebih sopan dan elegan jika mereka mau membuka kitab-kitab ulama’. Dalam Ihya’ Ulumiddin mengkritik perbuatan seseorang itu ada empat tahapan: 1) Memberikan pengertian (التَعْرِيْفُ) 2) menasihati dengan kata-kata yang baik (الوَعْظُ) 3) berkata kasar (التَخْشِيْنُ فِي القَوْلِ) 4) mencegah dengan paksa (المَنْعُ بالقَهْرِ). Namun untuk mengkritik kinerja pemerintah kita hanya diperbolehkan dua poin pertama, yakni Al-Ta’rīf dan Al-Wa’dhu[5]. Itu pun harus dilakukan secara tertutup oleh pejabat dan pengkritik. Karena bagaimanapun juga, kita harus menjaga kewibawaan para pemimpin kita.

Nah, metode-metode seperti ini tidak mungkin kita mengerti hanya dengan mendengarkan para mubalig berbicara tanpa ada teks kitab atau bacaan. Kita harus ngaji kepada para mubalig yang memang sangat menghargai ilmu. Paling tidak mereka ini bisa membaca kitab kuning. Atau majelisnya juga mengkaji kitab kuning. Dengan ngaji model begini lambat laun dakwah-dakwah sembrono akan terkikis.


[1] https://tuhanyesus.org/ayat-alkitab-tentang-memberitakan-injil, diakses pada 19 November 2020

[2] Djohan Makmur, Pius Suryo Haryono, Sukri Musa, Hadi S. Sejarah Pendidikan di Indonesia Zaman Penjajahan hal 5-7.

[3] Dalam Tafsir Ibnu Kastir Thaghut berarti manusia yang berperilaku setan, kata Imam Mujahid. Atau semua yang tidak menyembah Allah SWT, kata Imam Malik.

[4] Tafsir Ibnu Kastir, juz 4 hal 489.

[5] Abu Hamid Al-Ghazali. Ihya’ Ulumiddin. Juz 2, hal 243.


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari