Oleh: Luluatul Mabruroh*
Selayaknya kewajiban seorang anak merawat dan mengasihi ibunya. Begitu pula merupakan keniscayaan bagi putra-putri bangsa yang senantiasa wajib merawat, mencintai, dan memajukan Ibu Pertiwinya. Bangsa tak boleh sekarat oleh karena pertikaian antar saudara yang beda ras, suku, maupun agama. Nasionalisme adalah jawaban untuk bisa menyatukan semua perbedaan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nasionalisme adalah kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan sebuah bangsa, atau juga yang dibahasakan dengan semangat kebangsaan.
Seyogyanya, nasionalisme terpatri dalam sanubari tiap anak bangsa demi menjaga semangat mempertahankan, siap berkorban, dan berjuang demi bangsa, sehingga tetap lestari dalam hal kemajemukan masyarakat Indonesia baik dalam agama, suku, dan budaya yang dapat mewujudkan kekuatan yang riil dalam tubuh bangsa dan memperkokoh kedaulatannya.
Globalisasi dan era milenial yang menjadi kran transformasi dalam berbagai aspek kehidupan membuka peluang yang memiliki dampak positif meski tantangannya pun tak kalah berat. Faktanya, seringkali didapatkan bahwa semangat nasionalisme diruntuhkan oleh perbedaan sekterianisme, agama maupun suku. Saat mendapati nilai-nilai agama tidak sehaluan dengan nilai kebangsaan sehingga merusak tatanan kehidupan beragama serta mencabut akar kecintaan terhadap bangsa. Tampaknya kondisi seperti ini nyata menimpa sebagian anak negeri.
Dalam potret sejarah, banyak didapati bahwa Rasulullah memberikan teladan untuk mencintai negeri dengan sepenuh hati:
“Ketika Rasulullah SAW pulang dari bepergian dan melihat dinding kota Madinah, beliau mempercepat laju ontanya, dan bila mengendarai tunggangan (seperti kuda), maka beliau gerak-gerakkan karena cintanya pada Madinah.” (HR. Al-Bukhari)
Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menegaskan:
“Dalam hadits tersebut terdapat petunjuk atas keutamaan Madinah dan disyari’atkannya mencintai tanah air serta merindukannya.”
Bahkan Sayyidina Umar bin al-Khatab Ra menekankan:
اولا حب الوطن لخرب بلد السؤ، فبحب الأوطان عمرات البلدان
“Seandainya tidak ada cinta tanah air, niscaya akan semakin hancur suatu negeri yang terpuruk, maka dengan cinta tanah air, negeri-negeri termakmurkan.”
Sementara itu, menurut pakar hadits, Syaikh Ismail bin Muhammad al-Ajluni, cinta tanah air bisa diimplementasikan dengan menyambung tali persaudaraan, mebantu para dhu’afa, fakir, dan miskin.
Oleh sebab itu, tidak ada lagi alasan untuk mempertentangkan Nasionalisme. Sebab secara nyata nasionalisme menjadi media pengejawantahan ajaran-ajaran Islam serta pemersatu berbagai perbedaan ras, suku, budaya dan idealisme dalam satu tubuh yang sama, yaitu Indonesia. Hubbul wathon minal Iman.
*Mahasiswa PBA Unhasy dan santri Pondok Pesantren Putri Walisongo Cukir Jombang.