sumber ilustrasi: nu.or.id

Nasab Bukanlah Jaminan

Oleh: KH. Fahmi Amrullah Hadziq

اِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه لا نبي بعده

اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى سيّدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن

يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Marilah kita senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada Allah dengan sebenar-benarnya. Melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dan janganlah sekali-kali meninggalkan dunia ini, kecuali dengan keadaan Husnul Khotimah.

Dikisahkan suatu hari Imam Ali ibn Husein, cicit Rasulullah Saw., tampak murung, gelisah, seperti orang yang sedang berduka. Melihat keadaan Imam Ali ibn Husein seperti ini, maka seorang sahabatnya yang bernama Thowus memberanikan diri untuk bertanya;

“Wahai putra Husein yang cucu Ali ibn Abi Thalib, cicit Rasulullah. Apa yang menyebabkan engkau tampak murung?” Ali ibn Husein menjawab, “Saudaraku janganlah kau bawa-bawa ayah ibuku, kakekku. Aku sedang memikirkan nasibku sendiri kelak ketika meninggalkan dunia ini. Apakah aku selamat atau tidak. Ingatlah, kelak pada hari kiamat, tidak ada pertalian nasab. Tidak ada yang bisa menyelamatkan kita. Bukan keturunan, jabatan, kekayaan, tetapi amal kita masing-masing. Dalam surah Al-Mukminun Allah berfirman.

فَإِذَا نُفِخَ فِی ٱلصُّورِ فَلَاۤ أَنسَابَ بَیۡنَهُمۡ یَوۡمَئذࣲ وَلَا یَتَسَاۤءَلُونَ

Apabila sangkakala ditiup, maka tidak ada lagi pertalian keluarga di antara mereka pada hari itu (Hari Kiamat), dan tidak (pula) mereka saling bertanya. (Al-Mu’minun: 101)

Imam Ali ini adalah cicit Rasulullah, orang yang sangat dekat dengan Rasulullah, generasi ke-4. Walau demikian Imam Ali tidak pernah membanggakan nasabnya, beliau lebih memikirkan dirinya sendiri. Sedangkan sekarang ini banyak orang yang berpolemik tentang nasab. Membenturkan antara habaib dan kiai. Mereka tidak sadar ada yang lebih penting dari nasab, yakni nasib. Ada oreng yang nasabnya bagus, tapi nasibnya tidak baik. Maka nasab tidak ada artinya. Ada orang mungkin nasibnya bagus, tapi nasabnya tidak. Mungkin ini bisa lebih beruntung dari orang sebelumnya.

Banyak orang yang membangga-banggakan nasab ketika di dunia. Padahal kelak di hari kiamat bukan ayah, ibu, kakek, kita yang bisa menyelamatkan.

فَإِذَا جَاۤءَتِ ٱلصَّاۤخَّةُ (33) یَوۡمَ یَفِرُّ ٱلۡمَرۡءُ مِنۡ أَخِیهِ (34) وَأُمِّهِ وَأَبِیهِ (35) وَصَـٰحِبَتِهِۦ وَبَنِیهِ (36)

Pada hari itu manusia lari dari saudaranya, dan dari ibu dan bapaknya, dan dari istri dan anak-anaknya. (‘Abasa: 33-36)

Saat tiupan sangkakala yang kedua, orang-orang lari dari saudaranya, lari dari ayah ibunya, lari dari istri dan anaknya. Karena mereka sibuk memikirkan dirinya masing-masing.

لِكُلِّ ٱمۡرِئࣲ مِّنۡهُمۡ یَوۡمَىِٕذࣲ شَأۡنࣱ یُغۡنِیهِ

Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang menyibukkannya. (‘Abasa: 37)

Maka Allah menjamin orang masuk surga itu bukan karena nasabnya.

إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىكُمۡۚ

Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. (Al-Hujurat: 13)

Kita ini anak siapa, “bin/binti” siapa, semuanya sudah jelas. Dan tak ada pilihan bagi kita. Tetapi kita bisa menentukan nasib kita, dengan menjalani ketaatan kepada Allah. Inilah yang menentukan nasib kita nanti. Surga itu dipersiapkan untuk siapa saja.

الجَنَّةُ لِمَنِ اتَّقَى وَلَوْكَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا والنَارُ لِمَنْ عَصَي وَلَوْكَانَ سَيِّدًا قُرَيْشِيًا

Surga itu dipersiapkan untuk orang yang bertakwa, meski dia hanya budak Habasyiah—seperti Bilal ibn Rabbah. Sedangkan neraka dipersiapkan bsgi orang durhaka, walau dia pemimpin Quraisy—seperti Abu Lahab dan Abu Jahal.

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Marilah kita untuk selalu memperbaiki diri kita. Siapa pun kita, keturunan siapa, bagaimanapun nasab kita. Karena yang dilihat oleh Allah bukan fisik kita.

وَعَنْ أبي هُريْرة عَبْدِ الرَّحْمن بْنِ صخْرٍ رضي الله عَنْهُ قَالَ: قالَ رَسُولُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم: “إِنَّ الله لا يَنْظُرُ إِلى أَجْسامِكْم، وَلا إِلى صُوَرِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وأعمالكم “رواه مسلم.

Dari Sahabat Abi Hurairah ‘Abdurrahman bin Shakr mengatakan: Rosululloh bersabda:

“Sejatinya Allah tidak melihat pada tubuh atau jasad kalian, juga tidak melihat pada wajah kalian, tetapi Dia melihat pada hati kalian dan amal kalian” [HR Muslim]

Semoga kita dijadikan Allah sebagai hamba yang memperbaiki diri kita sendiri. Tidak menggantungkan nasib kita terhadap nasab kita.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ

وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ

وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Transkip: Yuniar Indra Yahya