Sumber gambar: https://www.republika.co.id

Oleh: Fitrianti Mariam Hakim*

Menjaga kesucian lantai untuk salat memang sedikit merepotkan. Lantaran tidak hanya kita yang melewati lantai. Anak-anak dan anggota keluarga lainnya juga akan lalu lalang di lantai yang sama. Bahkan, hewan peliharaan juga bergabung di lantai yang sama. Lantas bagaimana barometer kesucian lantai kita?

Salat adalah sarana untuk membuktikan bahwa kalau kita adalah hamba Allah. Oleh sebab itulah, kesucian dzahir dan bathin sebelum salat menjadi harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Nabi bersabda, “Kesucian adalah kunci dari salat.” Artinya, tanpa suci salat tidak akan sah. Suci badan, pakaian, dan tempat adalah syarat utama sebelum menunaikan ibadah salat.

Adapun kesucian badan dan pakaian adalah hal yang mudah terdeteksi oleh indera kita, lantaran kita sendirilah yang akan menjaga kesuciannya. Karena ke mana pun kita berada, badan dan pakaian akan selalu ikut kita. Akan tetapi, untuk masalah tempat, memiliki sedikit masalah untuk mengetahui kesucian dan kemutanajjisannya, setiap waktu, kita tidak dapat mengontrolnya.

Di rumah misalnya, kita pasti tidak hidup sendiri. Selain berkumpul dengan anggota keluarga, kita juga terkadang dikerumuni dengan hewan-hewan peliharaan kita, semisal kucing atau ayam. Bagi keluarga yang memiliki momongan bayi atau balita, tentu masalah kesucian tetap menjadi prioritas utama. Bayi atau anak yang bisa berjalan dan berlari, tentu akan senang keluar masuk rumah atau kamar mandi. Mereka masih anak-anak hingga tidak tahu pentingnya memakai alas kaki demi menjaga kesucian. Akhirnya, lantai rumah pun berbekas kaki-kaki pertama. Entah apakah lantai suci atau tidak dalam kondisi seperti ini.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Selain bayi, tak jarang pula hewan peliharaan kita naik turun lantai. Bahkan setelah peliharaan tersebut buang kotoran. Hal ini tentu akan menyisakan persoalan di benak kita. Bagaimana kita harus menyikapinya dari sisi fikih. Apakah dengan kasus tersebut kita harus membersihkan/menyiram lantai setiap hari? ataukah kita harus meyakini bahwa lantai suci setiap saat?

Dalam khazanah fikih, mengenai najis ada satu istilah yang sudah tidak asing lagi, yakni umumu al-balwa, secara bahasa berarti syumul al-imtihan aw al-ikhtibar (cobaan ujian yang sudah menyebar dan melingkupi). Sedangkan secara istilah, umumu al-balwa adalah sebuah keadaan yang umum terjadi pada manusia dan manusia sulit menghindarinya. Contohnya debu-debu yang berterbangan yang mengandung najis, asap-asap dari pembakaran najis dan hal-hal lain sebagainya yang tentunya sulit dihindari manusia. Ketentuan hukum umumul al-balwa ini masuk kategori najis ma’fuanhu, yaitu najis yang bisa di tolerir keberadaannya.

Imam Suyuthi memberikan contoh semisal kotoran burung merpati yang begitu banyak di masjid maka tidak apa-apa salat di masjid tersebut. Beliau mencontohkan kotoran burung merpati dimungkinkan itu sudah terasa menimpa di masjid di daerahnya dan sulit dihindari. Kalau di sekitar mungkin yang terjadi adalah sandal kita diinjak-injak oleh sandal orang lain. Dan ini, tentu sulit di hindari dan umum terjadi. Keterangan ini dijelaskan dalam kitan al-Asybah wa Al-Nadzha’ir, hal. 160.

Lebih lanjut, Ibnu ‘Abidin mengomentari tentang illat (alasan) contoh-contoh di atas, yaitu kondisi umum yang tidak bisa dihindari inilah illat-nya. Jadi seperti kondisi najis yang mengandung unrus najis dan sulit untuk dihidari.

Beliau mencontohkan seekor lalat yang bisa hinggap kesana kemari. Terkadang ia hinggap di kotoran hewan, lalu di baju, atau ke makanan. Lalat ini tentu susah untuk dihindari sehingga kondisi seperti ini dapat dimaafkan. Sebagaimana keterangan yang didapat dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, hal. 1108 juz 2.

Ketentuan tentang umumul al-balwa dibangun dari kaidah

المشقة تجلب التيسير

Kesulitan dapat mendatangkan kemudahan

Dan sebuah kaidah,

وإذا ضاق الأمر اتسع وإذا التسع ضاق

Apabila sebuah perkara sempit (sulit) bisa menjadi lapang (mudah), dan apabila telah lapang maka sempit (sulit lagi)

Lantas apa hubungannya dengan pembahasan kita kali ini? Paradigma di atas menjadi acuan, apakah kasus yang dibahas ini masuk kategori umumul al-balwa  atau tidak? Kalau sekiranya masuk pada kategori umumul al-balwa maka semisal kejadian naik turunnya seorang anak tanpa alas kaki atau hewan peliharaan ke dalam rumah tidak menjadi masalah. Dalam arti, kita tetap sah salat di lantai kita.

Kalau secara umum, kasus di atas memiliki kesamaan atau peluang untuk di masukkan di kategori umumul al-balwa. Lantaran hal tersebut sudah biasa dan sulit dihindari. Coba kita bayangkan bagaimana mungkin kita mencegah anak-anak keluar masuk rumah tanpa sandal. Kita juga mustahil mengawasi mereka keluar masuk kamar mandi dengan hati-hati. Jelas ini tidak bisa dihindari. Begitu pula dengan hewan peliharaan semisal kucing. Yang seenaknya naik turun dari rumah atau asrama kita tanpa kehati-hatian najis. Itu semua lantaran hewan yang tidak berakal.

Dari analogi di atas, satu persoalan telah terjawab. Yaitu bahwa kesucian di lantai rumah atau asrama akan tetap suci bila memang biasa dilalui hewan atau anak kecil yang naik turun tanpa alas kaki. Alasannya karena hal tersebut sulit dihindari.

Imam Ahmad berfatwa dalam kitan al-Mughni hal 768 juz 2, kalau kita bercampur dengan hewan, maka kita tidak usah mengkhwatirkan tentang kesuciannya selama najis tidak benar-benar terlihat oleh kita.

Disarikan dari Buletin Tanwirul Afkar bagian-1

*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.