Oleh: Fitrianti Mariam Hakim*
Meneruskan dari artikel pertama terkait dengan menjaga kesucian lantai yang sedikit merepotkan. Lantaran tidak hanya kita saja yang melewati lantai, namun anak-anak bahkan hewan peliharaan juga ikut lalu lalang di lantai yang sama. Kini kita berlanjut pada persoalan kedua yaitu bagaimana kalau jelas-jelas balita atau hewan tersebut sudah menginjak najis dan naik ke lantai, apakah masih bisa dimaafkan?
Untuk menjawab hal ini tentu harus kembali pada kaidah yang melatarbelakangi munculnya konsep umumul al-balwa yaitu dua kaidah al-masyakkah dan idza dlaqa, sebagai berikut;
المشقة تجلب التيسير
Kesulitan dapat mendatangkan kemudahan.
Dan sebuah kaidah yang menghendaki adanya kemudahan (dispensasi) ketika keadaan sulit, namun ketika keadaan menjadi mudah/jelas maka kemudahan hilang alias kembali ke hukum semula. (dispensasi tidak berlaku lagi);
وإذا ضاق الأمر اتسع وإذا التسع ضاق
Apabila sebuah perkara sempit (sulit) bisa menjadi lapang (mudah), dan apabila telah lapang maka sempit (sulit lagi).
Dengan demikian, apabila sudah jelas-jelas kita mengetahui bahwa si balita atau hewan membebaskan najis/kotoran di lantai maka wajib bagi kita menyucikannya. Karena keadaan sulit berupa kesamaran najis sudah bisa dihindari. Yang harus dilakukan dalam hal ini yaitu dengan cara menyiraminya bila ada di tepi lantai, lalu menyiram dan mengelapnya.
Akan tetapi di sebagian kasus, ada juga orang-orang yang berhati-hati sekali dengan kondisi semacam ini. Sehingga mereka menduga bahwa apa yang disisakan oleh anak kecil atau hewan sudah mutanajjis. Hal ini menimbulkan kesan bahwa anak kecil selalu menbawa najis. Oleh sebab itulah, mereka sengaja menyediakan sandal khusus lantai ketika akan salat. Padahal najis belum tentu ada. Sikap semacam ini sebenarnya tidka masalah demi kewaspadaan dan kekhawatiran dalam menjaga kesucian. Namun, yang perlu diperhatikan bahwa ia tidak boleh meyakini kemutanajjisan lantai bila tidak benar-benar nyata ada najis. Karena jika sudah pada tingkatan yakin, maka sudah seharusnya ia menyucikan lantainya. Bukan malah membiarkannya.
Kalau di atas hanya menduga, lalu ada kasus lain yang sering terjadi berkenaan terhadap keradaaan balita dan hewan yang sering naik-turun rumah. Yaitu ketika seseorang yakin pada keberadaan najis di lantainya tapi tidak diketahui di mana letaknya, misalnya tahu lantaran diberitahu orang lain. Maka dalam hal ini menurut Ulama’ Syafi’iyyah berpendapat, tergantung bisa di indera atau tidakkah najis tersebut. Kalau najis tersebut tidak bisa di indera lantaran terlalu sedikit atau kecil maka seluruh tempat tersebut dihukumi suci. Sedangkan Ulama’ Hanabilah berpendapat lain, mereka menghukuminya berdasarkan luas dan sempitnya tempat. Jika tempatnya luas seperti masjid atau lapangan maka dihukumi suci seluruhnya. Tapi jika tempatnya sempit seperti rumah maka harus disucikan semuanya. Keterangan ini diambil dari kitab al-Mughni, hal. 767 jus 1.
Dalam hal ini, nampaknya solusi Syafi’iyah lebih ringkas dan mudah untuk dilakukan. Lantaran solusi ini memang sesuai dengan kenyataan, sebagimana argumen Syafi’iyah yang mewajibkan hanya menyucikan najis yang tampak oleh mata bukan yang samar-samar atau tidak jelas sama sekali.
Disarikan dari Buletin Tanwirul Afkar bagian-2
*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.