Menengok karya-karya tulisnya, Imam Bukhari sebenarnya tidak hanya sekedar tokoh ahli hadis seperti dikenal selama ini. Tetapi beliau ini dikenal juga sebagai sejarawan (muarrikh), ahli fikih, dan lain sebagainya. Meskipun beliau menulis beberapa kitab hadis atau ilmu hadis, namun yang membawa namanya terkenal sampai hari kiamat nanti adalah kitabnya yang berjudul “al-Jami’ al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar min Umur Rasul Allah Shalla Allahu ‘alaihi wa Sallam wa sunanihi wa Ayyamihi” yang lazim disingkat dengan “al-Jami’ al-Shahih” dan populer dengan sebutan “Shahih al-Bukhari”. Sehingga barangkali dapat dikatakan bahwa tanpa “Shahih al-Bukhari”, Mohammad bin Ismail tidak akan menjadi Imam Bukhari seperti sekarang ini.

Motivasi Kodifikasi Kitab al-Jami’ al-Shahih

Meski sudah termasuk luar biasa dalam bidang hadis dan ilmu hadis, tampaknya Imam Bukhari tidak begitu saja membukukan hadis-hadis nabawi. Beberapa faktor yang mendorong untuk menulis kitab itu menunjukkan bahwa penulisnya tidak berangkat dari kemauannya sendiri semata. Karenanya, wajar apabila keikhlasan beliau itu menjadikan kitabnya sebagai rujukan yang paling otentik sesudah al-Quran.

Faktor-faktor yang mendasari pembukuan kitab tersebut adalah;

Pertama, pada akhir masa tabi’in dimana para ulama sudah menyebar ke berbagai penjuru negeri Islam, hadis-hadis Nabi mulai dibukukan. Tersebutlah orang-orang yang melakukan hal ini antara lain: al-Rabi’ bin Shabih (w. 160 H), Said bin Abu Arubah (w. 156 H), dan lain-lain. Metode penulisan mereka terbatas pada bab-bab yang menyangkut masalah tertentu saja.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kemudian datang ulama periode berikutnya dimana mereka menulis hadis lebih lengkap daripada cara penulisan sebelumnya. Mereka menulis hadis-hadis yang menyangkut masalah-masalah hukum secara luas. Seperti Imam Malik bin Anas yang menulis kitab al-Muwatta di Madinah, Ibnu Juraij di Makkah, dan al-Auza’I di Basrah. Hanya saja tulisan-tulisan mereka masih bercampur dengan fatwa-fatwa sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in.

Pada awal abad II para ulama bermaksud menulis hadis secara tersendiri tanpa dicampuri fatwa sahabat dan tabi’in. Maka muncul penulis-penulis hadis seperti Ubaidullah al-Kufi, Musaddad al-Bashri, Asad al-Umawi, dan Nu’aim al-Khuza’i.

Metode penulisannya berbentuk “musnad” dimana disebutkan dahulu nama sahabat kemudian hadis-hadis yang diriwayatkan darinya. Metode ini diikuti oleh tokoh-tokoh sesudahnya seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawah, Utsman bin Abu Syaibah, dan lain-lain.

Ada pula yang menggabungkan antara metode bab-bab dan metode musnad, seperti yang dilakukan Abu Bakar bin Abu Syaibah. Namun hadis-hadis yang mereka tulis masih campur aduk antara hadis-hadis sahih, hasan, dan dlaif.

Dari sinilah kemudian Imam Bukhari punya inisiatif untuk mengumpulkan hadis-hadis yang shahih saja sehingga tidak membingungkan orang. Ternyata, Ishaq bin Rahawaih, salah seorang guru Imam Bukhari, mendorong maksud itu. Imam Bukhari menuturukan, “Ketika saya berada di kediaman Ishaq, beliau menyarankan saya agar saya menulis kitab yang singkat, yang hanya memuat hadis-hadis shahih saja. Saran beliau itu sangat mendorong saya hingga kemudian saya menulis kitab al-Jami’ al-Shahih.

Kedua, dorongan moral seperti yang beliau tuturkan sendiri sebagai berikut: “Saya bermimpi bertemu Nabi Muhammad Saw. saya berdiri di hadapan Nabi seraya mengipasinya. Setelah itu saya menemui ahli-ahli ta’bir mimpi untuk menanyakan arti mimpi saya itu. Jawabnya, ‘Anda akan membersihkan pembohongan-pembohongan yang dilontarkan kepada Rasulullah’. Itulah yang mendorong saya untuk menulis al-Jami’ al-Shahih.”

Kandungan Shahih al-Bukhari

Ibnu Shalah, begitu pula Imam Nawawi menuturkan bahwa Shahih Bukhari berisi 7275 hadis dengan pengulangan, dan apabila tanpa pengulangan jumlah itu hanya 4000 hadis saja. Jumlah ini diseleksi dari 600.000 hadis yang diperolehnya dari 90.000 guru.

Koleksi Shahih Bukhari ditulis selama 16 tahun, berisi lebih dari 100 kitab dan 3450 bab. Lamanya penulisan ini karena Imam Bukhari sangat cermat dalam menyeleksi hadis. Bahkan beliau tidak mau menulis satu hadis pun sebelum mandi lalu shalat istikharah dua rakaat dan yakin bahwa hadis yang ditulisnya itu benar-benar shahih.

Jumlah kitab yang menyarahi (mengomentari secara lengkap) Shahih Bukhari mencapai 57 kitab, diantaranya ada yang sangat populer yaitu “Fath al-Bari” karangan Ibnu Hajar (w. 853 H) dan “Umdah al-Qari” karangan al-Aini (w. 855 H)

Jumlah kitab ta’liq (komentar pada bagian-bagian tertentu) ada lima buah. Sedangkan mukhtasar (resume)nya ada tiga buah, yang populer adalah “al-Tajrid al-Sharih” karangan al-Zubaidi (w. 893 H). Ada juga empat buah kitab lain yang masih membahas Shahih Bukhari, di samping kitab-kitab mukhtasar dari beberapa kitab syarah di atas.


*dikutip dari tulisan Prof. Ali Mustafa Ya’qub

**MSA

Referensi:

Kasyf al-Dhunun ‘an Asami al-Kutub wa Mutun karya Haji Khalifah

Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits karya Nur al-Din ‘Itr

Hady al-Sari karya Ibnu Hajar al-Asqalani