ilutrasi: www.google.com

Oleh: Qurratul Adawiyah*

Perutnya yang teramat besar menjadi semakin membesar. Kulitnya sudah banyak terkelupas. Terdapat banyak biru lebam akibat benturan keras dengan batu saat ia memutuskan melompat dari ketinggian sekitar sebelas meter. Mengakhiri hidupnya, melayangkan nyawanya. Tak peduli jika dalam perutnya masih ada calon manusia yang sedang bertapa di rahimnya. Ia lebih memilih membuang hidupnya pada jurang kematian.

Kerudung yang tak lagi berwarna merah cerah masih tetap lekat di kepalanya yang entah berapa kali terhantam batu-batu tajam air terjun. Wajahnya sudah tak secantik dulu saat ia memoleskan berbagai macam bedak kecantikan. Kini, wajah itu penuh lebam. Penuh kesedihan. Penuh keputusasaan pula.

Mayat perempuan hamil itu hanya ditatap dengan mata penuh kebencian. Duka, luka, dan jijik. Setiap orang yang datang melihat mayat perempuan itu mesti menjepitkan jarinya pada hidung. Ada pula yang sengaja membawa masker. Siapa pun tak akan tahan dengan bau bangkai yang menguak dari tubuh mayat perempuan itu. Hingga seminggu kemudian, mayat itu hilang tak berbekas.

                                                                ********

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Akan selalu saja terdengar jelas bisik-bisik pemuda desa Panaongan yang membicarakan kecantikan Sumiati yang alim. Bila Sumiati lewat, acapkali para pemuda itu melemparkan siul dan dekak pada perempuan yang tengah melewati mereka. Sumiati hanya menunduk. Pun tak pernah mencuri pandang siapa saja yang sering menunggu dia pulang dari surau, hanya untuk melihatnya yang masih lekat dengan mukena putihnya. Dan itu sudah menjadi ritual wajib bagi pemuda sepantaran Sumiati yang mengagumi dan mencandui kecantikan Sumiati.

Namun, pada malam yang tiba-tiba lengang. Angin seperti enggan berkesiur walau pelan. Suara binatang malam pun tak terdengar. Pada malam itu, Sumiati benar-benar mengutuknya. Mengutuk hidupnya. Mengutuk tuhan. Mengutuk segala takdir yang tersurat.

Malam itu, sebuah tangan kekar membekap erat mulut Sumiati, hingga ia hanya meronta-ronta ketika tubuhnya digotong oleh para pemuda yang biasa menunggunya pulang dari surau. Matanya ditutup erat kain. Setelah sekian lama Sumiati digotong entah ke mana, ia merasa diletakkan pada sebuah kasur yang entah di mana sekarang ia berada. Sumiati masih tak berhenti meronta. Tangis sedu sedan Sumiati yang mengotori langit-langit gubuk itu tak sekali pun didengar oleh pemuda-pemuda jahanam itu.

Entah sudah pemuda ke berapa yang telah merampas kesucian Sumiati. Hanya sumpah serapah yang terlempar dari mulut Sumiati. Sekali lagi, para pemuda itu telah menyetel budek telinga mereka. Sumiati telah menanggalkan kealimannya dengan terlemparnya sumpah serapah dari mulutnya.

Malam itu, Sumiati mengutuknya. Bersamaan dengan munculnya calon manusia yang bertapa dalam rahimnya. Sumiati tak sadari itu. Ia terlalu lupa untuk menceritakan jahanamnya para pemuda yang kini tak lagi menungguinya pulang dari surau, kepada Ayah dan Ibunya. Dia terlalu larut pada kesedihan. Pada kebencian. Kutukan pada tuhan.

Hari dihempas minggu, lalu terhempas kembali dengan bulan. Perut Sumiati semakin hari semakin buncit. Terdengar desas-desus para tetangga yang begitu menyakitkan.

“Dia kan belum menikah?”

“Dasar perempuan munafik. Jalang. Jahanam.”

“Percuma pakai kerudung.”

“Apa dia kena sihir?”

Masih teramat banyak gunjingan para tetangga yang membuat Ayah dan Ibu Sumiati hanya tertunduk malu menghadapi cecar pertanyaan dari berbagai macam mulut. Membuat wajah mereka terlihat merah setiap kali pertanyaan meluncur dari mulut-mulut para tetangga. Teramat sangat terpukul dengan kenyataan anaknya yang dikenal alim bisa hamil sebelum menikah.

Tiba pada suatu waktu, para warga kalap ingin mengusir Sumiati dari desa Panaongan. Mereka merasa desa mereka ternodai kesuciannya dengan dalih karena ada perempuan yang hamil di luar nikah.

“Usir saja pelacur itu!”

“Betul! Atau, bunuh saja!”

“Kita bisa bicarakan ini baik-baik bapak. Ibu.”

“Alah. Sudah jelas kali jika dia hanya sok alim.”

“Orang tuanya tak becus ngurus satu anak saja.”

Dan lemparan sumpah serapah merajai langit desa Panaongan. Mencipta duka. Menjelma luka. Sampai Sumiati tiba-tiba berlari ke arah barat, saat senja menunjukkan warna saga. Semua para warga pun ikut mengejarnya. Tak terkecuali Ayah dan Ibu Sumiati. Berbagai macam teriakan dilempar di langit senja. Para warga seperti menikmati alunan busuk teriakan mereka sendiri. Semua warga berhenti pula saat Sumiati berhenti di bibir jurang dekat air terjun. Sumiati berbalik memandang warga, Ayah dan Ibunya yang berada paling depan.

“Saya diperkosa oleh sebagian anak lelaki kalian beramai-ramai, saat saya pulang dari surau. Akan ada banyak kisah sama setelah saya menjadi mayat.” ucap Sumiati dengan pandangan tajam menatap semua warga. Pun Ayah dan Ibunya.

Sumiati berbalik kembali menghadap jurang di depannya. Dia meloncat. Sebagian warga histeris menyaksikan adegan yang mengerikan itu. Sebagian masih ternganga dalam keterkejutan. Pun Ayah dan Ibu Sumiati yang hanya menangis tersedu tanpa berniat menggagalkan rencana bunuh diri anaknya sendiri. Tak ada sejarah orang yang bunuh diri di desa Panaongan. Hanya Sumiati. Ya, Sumiati adalah orang pertama melakukan itu.

Para warga menengok ke arah jurang untuk melihat tubuh Sumiati yang telah menjadi mayat. Ada pula yang langsung pulang setelah puas menonton adegan demi adegan yang dramatis. Tanpa merasa bersalah sedikit pun.

Hingga keesokan harinya masih ada banyak orang dan sanak famili Sumiati yang melihat mayatnya. Namun, kali ini para warga kembali riuh dengan kabar, Sumiati selalu digigit buaya putih besar, penunggu air terjun Panaongan. Hanya menggigit, tak memakannya. Apalagi menelannya.

Buaya putih itu berturut-turut mendatang mayat Sumiati dan kembali menggigit segala tubuhnya. Singkat sekali. Hanya beberapa detik lalu buaya putih itu menghilang, kembali ke peraduannya yang tak pernah ditemukan warga desa Panaongan. Namun, warga masih tetap mengernyit heran bila mengingat munculnya buaya putih yang menggigit mayat Sumiati. Biasanya buaya putih itu hanya muncul ketika menjelang hari raya Idul Adha. Hanya untuk mengitari sungai dan kembali lagi ke air terjun lalu hilang pulang ke peraduannya.

Para warga kini tak ambil pusing dengan kejadian itu. Mereka hanya menerka-nerka sebab-musabab buaya putih itu muncul.

                                                                     ********

Sampai akhirnya ada dua buaya putih yang mengitari sungai hingga ke air terjun menjelang hari raya Idul Adha. Dan para warga pun hanya menerka-nerka. “Mungkin itu mayat Sumiati yang menjelma siluman buaya putih.”

Mereka akan menceritakannya dengan tawa yang terbahak. Menceritakannya secara turun-temurun pada anak-cucunya hingga menjadi cerita legenda buaya putih dan matinya Sumiati.

 

*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.