
Oleh: Rara Zarary*
Assalamualaikum, Gus
Aku menulis dengan bahasa sederhana, hati terbuka, dan tentu mata yang berkaca-kaca
adalah kalimat pesapa, untuk guru bangsa yang hari ini bumi sedang memperingati dengan begitu khidmat dan ramai dengan doa-doa
aku bukan siapa-siapa, bukan anak pejabat, bukan anak kiai, apalagi dari kalangan pegawai negeri, bukan
aku sebatas perempuan pengaku santri, yang saat ini kebetulan berdiam diri di bumi Tebuireng.
aku belum pernah bertemu denganmu, Gus.
namun cerita orang-orang, membuatku jatuh berkali-kali pada kata penasaran dan cinta.
Terima kasih, telah pernah hidup begitu berharga untuk kami di hari ini, besok, lusa, dan pada zaman-zaman setelah kami akan melahirkan generasi ke generasi
Terima kasih, Gus
telah menjadi teladan bagi kami untuk kembali menengok ke belakang tentang caramu yang begitu pandai membuat bangsa ini damai, caramu yang begitu asyik membuat Indonesia hari ini baik-baik saja dengan terus berusaha damai, damai, dan damai. Selalu tergaung “TOLERANSI” di antara gaduh gemuruh dan panas kondisi bangsa ini
Gus, fatihah dan doa adalah bukti kami masih ingat dan terus berterimakasih padamu, selebihnya adalah semua yang telah kau lakukan, akan kami jadikan pembelajaran hingga ke depan.
Kau benar, menjadi manusia harus bermanfaat.
sebuah pesan yang sampai kapanpun tak akan pernah mengenal akhir dan tak akan pernah mati.
Terima kasih, Gus. Telah pernah ada untuk menciptakan sejarah berharga. Kenangan tak terlupa. Dan kesan begitu mulia.
Tuhan, sampaikan salam kami.
Sepuluh tahun, Gus Dur menghadap Tuhan.
*Penulis adalah alumni Pesantren Annuqayah Sumenep Madura.