sumber ilustrasi: kabar24.bisnis.com

Oleh: Viki Junianto*

Virus corona datang tidak hanya membawa kegelisahan serta kekhawatiran. Di samping itu, ia juga membawa hal-hal negatif yang terpaksa harus dirasakan. Akibat merebaknya virus ini, kaum muslimin dipaksa untuk berdiam diri seraya melakukan aktivitas agamanya di rumah. Majelis shalawat, majelis taklim, walimatul ursy (ini juga ibadah), bahkan shalat Jumat pun  untuk sementara ditiadakan guna menutup sarana penularan virus ini. Hal ini sesuai dengan instruksi pemerintah yakni kegiatan yang melibatkan orang banyak untuk sementara ini ditiadakan guna menutup jalan bagi penularan corona.

Timbul pro-kontra tentang kebijakan ini. Setiap kubu punya hujjah masing-masig yang sama-sama kuatnya. Kali ini penulis tidak akan masuk dalam perdebatan tersebut. Penulis lebih memilih untuk memberi pandangan baru tentang topik ini dari sisi yang sedikit berbeda, yaitu dari perspekstif tasawwuf.

Merujuk pada hikmah ke-8 Ibnu Athoillah.

إذا فتح لك وجهة من التعرف فلا تبال معها ان قل عملك فإنه ما فتحها لك إلا وهو يريد أن يتعرف إليك الم تعلم إن التعرف هو مورده عليك

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Jika Tuhan ingin membuka diri (melalui penderitaan yang menimpamu) untuk engkau kenal, maka (bergembiralah, bersuka citalah dan) jangan bersedih jika ibadah-ibadah dhohirmu berkurang (karena musibah itu). Sebab, Dia tak akan membuka diri seperti itu kecuali memang agar engkau bisa mengenalNya lebih dekat. Apakah engkau tidak tahu bahwa perkenalan itu adalah sesuatu yang Dia anugerahkan pada dirimu, sementara amal-amalmu adalah sesuatu yang engkau persembahkan kepadaNya? Bagaimana mungkin engkau akan membandingkan persembahanmu dengan anugerahNya?”

Ibnu Athoillah mempunyai sikap yang anti mainstream dalam menyikapi sebuah musibah (dalam konteks sekarang adalah corona). Murid dari Abu Abbas al-Mursyi ini menyadari bahwa, berkurangnya ibadah-ibadah dhohir (yang bersifat ibdah sunnah) dari seorang hamba yang sedang ditimpa musibah adalah sesuatu yang wajar dan tak dapat terelakkan. Tidak bisa bersilaturahmi, majelis shalawat, majelis taklim, makan-makan di walimah adalah hal yang tak dapat terelakkan bagi seorang yang sedang terkena dampak virus seperti sekarang ini.

Dalam hikmahnya Athoillah mengatakan:

فلا تبال معها ان قل عملك

“Janganlah bersedih bila amalmu berkurang (karena musibah tersebut).” Mengapa demikian? bukankan ini adalah hal yang aneh?.

Ibnu al-Abbad ar-Rundi dalam Syarh Hikam memberikan alasan yang sangat rasional terhadap hikmah Ibnu Athoillah ini. Ar-Rundi menjelaskan, jika seorang hamba terkena musibah maka ia akan dihadapkan dengan dua ibadah, yaitu ibadah dhohir (ibadah yang dilakukan fisik yang dalam konteks ini adlh ibadah sunnah) dan ibadah batin (ibadah yang dilakukan oleh hati seperti sabar, husnudzon terhadap Allah dan selalu bermuhasabah).

Menurut Ar-Rundi, ibadah yang paling utama dari dua ibadah tersebut adalah ibadah batin, yaitu sabar dan tetap husnudzon dalam menghadapi musibah. Tidak apa ibadah kita berkurang karena musibah, asal sabar dan husnudzon terhadap Allah tetap terpatri dalam hati kita. Hal ini karena karena ibadah dhohir belum tentu selamat dari afaatul ibadah (resiko ibadah riya, sombong, ujub) sedangkan ibadah batin pasti selamat darinya.

Bukanlah hal jarang bukan, kita menemui orang yang selalu getol melakukan ibadah dhohir akan tetapi dia selalu mengeluh karena adanya virus corona ini. “Aduh, kapan virus ini hilang, gara-gara virus ini saya jadi tidak bisa bersosialisasi dan tidak bisa beraktivitas seperti biasanya.” Sangat ironi bukan, ini adalah bentuk ketidaksabaran yang entah dirasa atau tidak.

Ya, tentu yang paling utama adalah melakukan keduanya, ibadah dhohir dan batin. Tapi hal itu adalah sesuatu yang sulit dilakukan. Maka sebagai pilihan akhirnya, kita lebih mengutamakan ibadah batin dari pada dhohir.

*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.