Pesantren merupakan lembaga tertua yang ada di Indonesia. Lembaga ini dirintis pertama kali oleh Sunan Maulana Malik Ibrahim atau yang terkenal dengan pangilan Syaikh Maghribi, berasa dari Gujarat, India. Beliau yang mengutus mubalig-mubalig Islam untuk menyebarkan agama suci hingga ke seluruh Jawa.

Janganlah mengira pesantren-pesantren yang didirikan oleh wali-wali itu adalah perguruan yang modern, pesantren yang sudah mempunyai daftar pengajar, pembagian kelas, pemeriksaan dan ujian. Sama sekali tidak demikian. Biasanya murid-murid itu tinggal di rumah guru yang sangat dihormatinya dan dengan demikian sedikit demi sedikit dialirkanlah ke dalam hatinya rahasia pembelajaran.

Maka terjadilah ikatan hidup yang kukuh antara guru dengan murid, menjadi suatu kehormatan bagi murid mengikuti pelajaran-pelajaran rahasia dari gurunya sampai ia mendapatkan ijazah dan menjadi kepercayaan dari gurunya yang dianggap arif bijaksana.

Pesantren mungkin identik dengan beberapa pelajaran dalam bahasa Arab. Pelajaran itu terdiri dari Al-Qur an,  Nahwu, Shorof, dan dalam Fiqh misalnya Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Minhaj, Badjuri, Budjainmi, dan Iqna,  atau kitab-kitab yang tingkatannya lebih tinggi dari itu seperti Fathul Wahab dan Tuhfud dan di bidang tafsir serta hadits tentunya.

Namun yang terpenting dalam pembangunan pesantren atau apa yang disampaikan di pesantren bukan perihal belajar agama atau ilmu pengatahuan saja namun ada hal yang menjadi pembeda dari lembaga pendidikan lainnya, yaitu pendidikan kehidupan sebagaimana pondok pesantren adalah miniatur kehidupan kita di dunia mau pun tabungan di akhirat nanti.

Di pesantren kita serba hidup dengan kemandirian, makan sendiri, nyuci baju sendiri, dan mengurus hal-hal yang lain sendiri. Bahan-bahan keperluan hidupnya, seperti ikan, beras dan lain sebagaimana dibawa dari rumah.

Patut kita ketahui bahwa peran pesantren dan para kiai untuk NKRI sangatlah besar dan tidak terhitung lagi hingga saat ini kita dapat menikmati buah atas perjuangan para kiai dan pesantren, semoga para kiai-kiai kita yang telah mendahului kita bisa menikmati surga-Nya.

Dalam perjalanannya pesantren tidak begitu saja ada dan besar. Namun ada peran masyaikh untuk membangun pesantren mulai dari mengusir makhluk halus dari hutan untuk nantinya dijadikan langgar (mushola) untuk pengajian warga. Hingga melawan penjajah belanda dan antek”nya.

Setalah membaca buku ini kita akan lebih dalam memahami kekerabatan antara pesantren dan ternyata pesantren satu dan yang lainnya masih memiliki kerabat dekat atau masih satu kakek. Saya menemukan juga beberapa pendiri pondok dengan guru yang sama.

Sekilas pada masa modern saat ini pun, pesantren saling menguatkan dan membantu. Tidak sedikit yang mengirim santrinya ke pesantren yang baru atau mengirimkam fasilitas-fasilitas seperti lemari, kasur, dan lain-lainnya.

Kisah-kisah dalam buku ini sangat menarik untuk kembali kita refleksikan dan mengenang para guru, masyaikh yang telah mendahului kita. Buku ini baik dibaca dihalayak umum terutama bagi kalangan santri, perlu diketahui buku ini terdapat 3 edisi.

Semoga kita masih dalam bingkai doa sang kiai aamiin. Al fatihah…

Judul Buku : Napak Tilas Masyaikh
Penulis: M. Solahuddin
Tebal: 178 halaman
Penerbit: Zam-zam
Cetakan: keempat, Februari 2017
Pengulat: Wahyu (siswa “Sekolah Membaca” Majalah Tebuireng)

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online